“Sadarlah, Kamu itu kunikahi semata-mata karena aku ingin mendapatkan keturunan bukan karena cinta! Janganlah menganggap kamu itu wanita yang paling berharga di hidupku! Jadi mulai detik ini kamu bukan lagi istriku! Pulanglah ke kampung halamanmu!”
Ucapan itu bagaikan petir di siang bolong menghancurkan dunianya Citra.
“Ya Allah takdir apa yang telah Engkau tetapkan dan gariskan untukku? Disaat diriku kehilangan calon buah hatiku disaat itu pula suamiku yang doyan nikah begitu tega menceraikan diriku.”
Citra meratapi nasibnya yang begitu malang diceraikan oleh suaminya disaat baru saja kehilangan calon anak kembarnya.
Semakin diperparah ketika suaminya tanpa belas kasih tidak mau membantu membayar biaya pengobatannya selama di rawat di rumah sakit.
Akankah Citra mampu menghadapi ujian yang bertubi-tubi menghampiri kehidupannya yang begitu malang ataukah akan semakin terpuruk dalam jurang putus asa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4
“Assalamualaikum, Mbak Citra.” ucap seseorang perempuan yang sangat dikenal oleh Citra.
Suara lembut itu terdengar dari pintu bangsal. Citra refleks menolehkan kepalanya ke arah sumber suara dan detik itu juga napasnya tercekat.
Tubuhnya seperti membatu, punggungnya otomatis tegak, tangan yang memegang selimut bergetar hebat karena mendapatkan shock terapi.
Matanya membesar, pupilnya mengecil, dadanya naik turun cepat seolah seluruh oksigen disedot keluar dari ruangan.
Tenggorokannya kering seolah dia belum pernah menyentuh air putih beberapa jam lamanya, jantungnya berdegup kacau antara sakit dan perasaan tercekik yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata.
Perutnya mendadak mual, bukan karena obat, bukan karena luka jahitan, tapi karena sosok yang tidak pernah ia bayangkan akan muncul di hadapan orang banyak seperti ini.
Dan di sebelah ranjang, dua wajah yang sudah sangat ia kenal tampak jelas menikmati keterkejutannya.
Arni menyilangkan tangan di dada sambil tersenyum miring. Ardila menatapnya dari atas ke bawah, puas, seolah adegan ini adalah hiburan yang mereka tunggu-tunggu selama ini.
Mantan mertuanya yang berkerudung merah hanya tersenyum tipis, dingin, penuh ejekan dan hinaan hanya melalui sorot matanya tanpa kata-kata.
Arni yang pertama membuka suara, nadanya pelan tapi tajam menusuk.
“Loh kenapa kaget begitu, Mbak? Baru lihat orang datang jenguk malah kayak lihat malaikat pencabut nyawa.” sindirnya Arni.
Ardila langsung menimpali cepat ucapan kakaknya, nada suaranya manis tapi isinya penuh racun yang menyayat hati dan jiwa raga bagi yang stok kesabarannya sangat tipis.
“Hadeh, sabar mi, Mbak. Jangan terlalu kaget begitu. Kita datang baik-baik kok walaupun kayaknya ada yang malu sendiri lihat keadaan begini.”
Arni tertawa miring melihat reaksinya Citra yang sudah dia prediksi akan seperti ini.
“Iye, siapa suruh terlalu tinggi hati dulu? Sekarang lihat toh yang paling merasa menang, sekarang justru paling jatuh.” cibirnya.
Ardila mencondongkan tubuh sedikit, matanya menyipit sinis.
“Kasihan juga sih sebenarnya, tapi yah, begini mi mungkin kalau orang terlalu banyak gaya sok paling suci dan paling disayang padahal nyatanya dibuang dan dicampakkan juga,” sarkasnya Ardila.
Arni menatap Citra yang masih terdiam, suaranya dibuat selembut mungkin, tapi justru paling kejam.
“Makanya, Mbak hidup itu jangan merasa paling benar. Allah cepat sekali balasnya kalau gini kan!?” ejeknya.
Sementara itu, senyum mantan mertuanya semakin lebar. Diam, tapi jelas menikmati setiap detik Citra tercekat menahan luka dan keterkejutan dalam waktu yang bersamaan.
“Syukurlah kamu sudah bangun, Citra,” katanya dengan nada manis padahal niatnya ingin menjatuhkan moral dan psikologisnya mantan menantu yang tak pernah diinginkannya itu yang dinikahi oleh anak pertamanya.
Batinnya Citra langsung runtuh ketika melihat perempuan berperut buncit itu melangkah masuk ke bangsal.
“Ya Allah… bukan dia… kenapa dia datang dan kenapa saat ini dia tengah hamil sedangkan dia belum menikah,” batinnya hampir pecah, suaranya tercekik di dalam dada.
Ia tak pernah membayangkan bahkan dalam mimpi terburuk sekalipun bahwa perempuan itu, dengan perut besar menandakan kehidupan yang sedang tumbuh, akan muncul tepat di hadapan dirinya di saat ia baru saja kehilangan calon bayinya sendiri.
Rasanya seperti ada tangan tak terlihat yang menampar, lalu meremas seluruh hatinya tanpa ampun.
Seketika kakinya berkeringat dingin, pandangan matanya mengabur dan dalam benaknya bertanya-tanya apa tujuan dan maksudnya perempuan yang sangat dikenalnya.
Perempuan yang menemaninya pertama kalinya menginjakkan kakinya di ibu kota Jakarta datang berkunjung ke rumah sakit menjenguknya padahal sudah hampir sembilan bulan putus komunikasi.
“Kenapa dia di sini? Kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan mereka…?”
Hatinya menjerit, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Tubuhnya ingin meringkuk, bersembunyi, menghilang andaikan di dunia ini berlaku pintu Doraemon mungkin Citra akan menghilang dari dalam ruangan tersebut asalkan saja tidak harus menghadapi kenyataan itu.
Di saat luka jiwanya masih menganga, Tuhan seakan menampakkan ironi paling pahit tepat di depan wajahnya.
Dan yang lebih menyakitkan, ia melihat senyum puas di wajah Arni dan Ardila, seolah kedatangan perempuan hamil itu adalah pukulan terakhir yang mereka tunggu untuk menjatuhkannya semakin dalam.
“Yaa Rabb… kuatkan aku… kuatkan hatiku jangan biarkan aku hancur di depan mereka…” batinnya memohon sambil menahan napas yang terasa sesak.
Citra masih terperangah melongok tak percaya melihat siapa orang yang baru saja datang ke dalam kamar perawatan bangsalnya bersama kedua adik iparnya Arni, Ardila dan ibu Etty.
Ardila dan Arni tersenyum bahagia melihat mantan kakak iparnya terkejut setengah hidup karena inilah tujuan awalnya ingin menghancurkan mental batinnya Citra yang teramat dibencinya.
Ardilla langsung memeluk tubuh perempuan hamil itu, “perkenalkan Mbak Rose istri Mas Ardian yang baru. Dan sebentar lagi melahirkan keponakan pertama kami.”
“Ups!” Ardila tiba-tiba menutup mulutnya pura-pura lupa. “Maaf kayaknya nggak perlu diperkenalkan kalian pasti sudah saling kenal iya kan. Mbak Rose kan adik sepupunya Mbak Citra yang berasal dari Makassar dan masalah kenapa Mbak Rose adalah istri ke enamnya mas Ardian nantilah kami jelaskan, karena bukan saatnya menjelaskan apa alasannya yang paling penting Mbak Citra sadar diri saja sih.”
Citra merasakan seluruh tubuhnya melemas seketika, seperti lantai di bawahnya runtuh.
Telinganya berdengung, ujung jarinya mati rasa. Pandangannya sedikit berkunang-kunang seakan-akan tekanan darahnya menurun drastis.
Ia hanya mampu menatap perempuan hamil itu dengan wajah yang bergetar, seolah dunia sedang memukulnya bertubi-tubi tanpa henti.
“Mbak Citra, saya meminta maaf udah dinikahi oleh mas Ardian delapan bulan lalu tanpa sepengetahuan dan meminta ijin terlebih dahulu kepada Mbak. Awalnya saya menolak, tetapi karena mas Ardian terus mendekatiku dan memaksaku untuk menjadi istrinya sehingga saya tak tegaan menolaknya terus-terusan,” ngaku Rose yang raut wajahnya terlihat sedih penuh penyesalan padahal faktanya dia sangat bahagia.
“Kami sebenarnya nggak ada niat untuk membuat Mbak sedih ataupun terkejut melihat Mbak Rose tapi sejujurnya memang kami sengaja memilih mbak Rose sebagai istri ke enam mas Ardian karena kriteria Dia lebih cocok mendampingi hidupnya mas Ardian. Rose lebih penurut dan lebih pantas jadi istri keenam daripada Mbak yang keras kepala.”
Sementara di pojok pintu, sosok yang sedari tadi memperhatikan Citra diam-diam mengepalkan tangannya makin keras.
Kali ini rahangnya juga mengeras, sudah terlalu jauh. Citra merasa tubuhnya melemas, seperti kehilangan seluruh tenaganya.
Tepat saat itu, di balik tirai pintu, sosok yang sedari tadi memperhatikan kembali muncul kali ini langkahnya sedikit maju, wajahnya memperlihatkan amarah tertahan.
Sosok itu mengepalkan tangannya yang iba dan kasihan melihat Citra diperlakukan semena-mena oleh mantan keluarga suaminya.
Sudah cukup jangan ada lagi yang menyakitinya. Tetapi ia masih menahan diri, belum membuka suara dan belum saatnya.
“Bersabarlah dek, setelah semua ini akan baik-baik saja,” gumamnya.
Perempuan berperut buncit itu dalam hati tersenyum puas sambil sesekali mengusap perut buncitnya,” haha! Sungguh ini pertunjukan yang sangat luar biasa.”
“Ada apa dengan Mbak? Apa Mbak baik-baik saja? Apa butuh kami panggilkan dokter secepatnya!?” Tanyanya Arni yang berpura-pura prihatin dan perhatian kepada Citra padahal niatnya yang sesungguhnya adalah menjatuhkannya.
Ardila mengambil tissue dari dalam tas pouchnya dan mengusap peluh keringat bercucuran di kening dan pelipisnya Citra yang seolah Ardila perhatian padahal niatnya sudah jelas.
“Ya Allah… sepertinya Mbak Citra shok melihat istri keenam mas Ardian yang tak lain adalah adik sepupunya sendiri. Maafin kami, Mbak.” Ujarnya Ardila yang tersenyum mengejek.
Citra berusaha untuk tenang seperti sebelumnya dan menekan egonya yang terkejut.
Dia tidak ingin direndahkan oleh mereka sehingga berjuang untuk tidak memperlihatkan sisi lemahnya di hadapan adik sepupunya yang tak pernah disangka-sangka adalah wanita yang menjadi orang ketiga di dalam rumah tangganya.
Citra menutup mata sejenak, menarik napas yang tidak pernah terasa sedalam itu sebelumnya.
Dulu dan sebelumnya mungkin, ia pasti sudah menangis, panik atau jatuh tersungkur. Namun kali ini entah dari mana datangnya kekuatannya, ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk tumbang di hadapan mereka yang telah menghina dan menjatuhkannya sedemikian rupa disaat dia terpuruk kehilangan calon bayi kembarnya.
Pelan-pelan ia membuka mata, menegakkan punggung yang tadi sempat melemas.
Tangan yang tadi bergetar kini ia satukan di atas selimut, berusaha menahan sisa gemetar yang tersisa.
Wajahnya masih pucat, matanya masih sembab, tetapi tatapan yang muncul sekarang bukan tatapan wanita kalah, bukan tatapan wanita yang direndahkan.
Ada ketegasan halus di sana.
Ada kesabaran yang bahkan tidak mereka duga. Dengan suara pelan namun stabil, Citra berkata.
“Alhamdulillah saya masih diberi kekuatan untuk duduk di sini. Dan kalian datang tentunya saya terima. Saya tidak marah. Saya juga tidak akan membalas apa pun yang kalian sampaikan.”
Arni dan Ardila spontan saling melirik. Ini bukan reaksi yang mereka harapkan.
Citra menoleh pelan ke arah Rose sepupunya sendiri yang pura-pura menunduk sedih.
“Rose adikku kalau benar kau menikah dengan Mas Ardian, itu sudah jalan dan takdirmu. Saya tidak punya hak lagi untuk menahan siapa pun. Allah sudah menentukan takdir saya dengan caranya sendiri yaitu diceraikan oleh Mas Ardian.”
Nada suaranya lembut, namun justru kelembutan itu membuat Rose kehilangan senyumnya yang tadi menjelaskan sangat puas.
Ardila mendengus kecil, namun Citra justru tersenyum tipis bukan senyum membalas, tapi senyum seseorang yang sudah terlalu lelah untuk membenci.
“Saya hanya mohon satu hal jangan sakiti diri kalian sendiri dengan kebencian. Kalau memang kalian bahagia melihat saya seperti ini, silahkan. Tapi saya tidak ingin menyimpan dendam, karena dendam hanya memperberat langkah saya ke depannya.”
Bu Etty memiringkan kepala, tampak tidak percaya Citra bisa berbicara sepanjang itu tanpa menangis atau memohon.
Citra melanjutkan, kali ini suaranya semakin stabil. “Saya sudah kehilangan banyak hari ini. Kehilangan anak saya itu sudah cukup membuat hati saya remuk. Jadi, saya memilih untuk tidak kehilangan akhlak saya juga.”
Arni menggigit bibir bawahnya, tampak tersinggung karena ucapannya seolah memantul kepada dirinya sendiri.
Citra kembali menatap mereka satu per satu dengan tenang, walau matanya masih terlihat basah sisa-sisa cairan bening.
“Kalau kalian datang ingin melihat saya hancur maaf, saya tidak bisa memenuhi keinginan itu. Saya masih belajar mengikhlaskan semuanya perlahan tapi pasti.”
Ruangan itu mendadak sunyi bukan karena mereka kehabisan kata-kata yang sangat menohok dan jahat, tapi karena sikap Citra membuat semuanya terasa sia-sia untuk dilontarkan.
Dan yang paling menyakitkan bagi mereka bukanlah teriakan Citra dan juga bukan tangisannya. Tapi keteguhan Citra yang tidak mereka duga.
Ketenangan yang membuat semua hinaan tiba-tiba tampak kecil dan murahan.
Sementara sosok di balik tirai mengepalkan tangan lebih kuat bukan karena marah lagi, tapi karena kagum.
“Alhamdulillah… dia kuat…” gumamnya lirih.
Citra menutup kalimatnya dengan lembut dan senyuman simpul.
“Semoga Allah jaga hati kita masing-masing. Saya tidak ingin jadi penyebab keburukan siapa pun. Kalau memang ini jalan yang kalian pilih, saya tidak akan menghalangi saya ikhlas.” imbuhnya.
Ucapan itu jatuh seperti palu yang membungkam semua mulut pedas yang ada di hadapannya.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka masuk Arni, Ardila, Bu Etty, dan Rose tidak tahu lagi harus berkata apa.
Wanita yang begitu tega merebut suaminya diam-diam dan kebenarannya Rose sudah menikah dengan pria yang beberapa jam lalu menjatuhkan talak tiga langsung untuknya, setelah kehilangan calon bayinya dalam kandungannya yang berusia delapan bulan.
itu suami kayak bagaimana ya ga ada perasaan dan hati nurani kpd istrinya yg baru saja keguguran.