NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:337
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Benteng Lilin dan Tepuk Tangan

Langit di luar jendela perlahan berubah warna, dari abu-abu pucat menjadi ungu lebam, seolah-olah cakrawala baru saja dipukuli. Matahari mulai tenggelam, menarik sisa-sisa cahaya terakhir dari pegunungan, meninggalkan Villa Edelweiss sendirian dalam kegelapan yang lapar.

"Kita nggak bisa diem di sini," suara Rian memecah keheningan di ruang tengah. Dia berdiri membelakangi piano itu—benda terkutuk yang kini seolah menyeringai ke arah mereka. "Tulisan itu bilang 'Saat matahari tenggelam'. Kita punya waktu kurang dari setengah jam."

"Terus kita mau ngapain?" tanya Bobi, suaranya naik satu oktaf. "Lari ke hutan? Mati beku. Diam di sini? Mati ketakutan. Pilihan hidup gue kenapa begini amat ya Tuhan."

"Kita bentengi diri," putus Rian tegas. Sifat pemimpinnya mengambil alih kepanikan. "Kita kumpul di satu kamar. Kamar yang tadi malam. Itu satu-satunya tempat yang punya kunci pintu masih berfungsi baik, walaupun kuncinya tua. Kita bawa semua perbekalan ke sana."

"Setuju," Sarah langsung berdiri, naluri bertahan hidupnya menyala. "Gue ambil sisa makanan dan air di dapur. Bobi, lo cari apapun yang bisa dijadiin senjata atau penerangan. Lilin, senter, korek."

"Siap, Komandan," sahut Bobi, meski kakinya gemetar. Dia menyambar sebuah tongkat besi pengaduk perapian. "Ini Excalibur gue mulai sekarang."

"Elara," Rian beralih ke gadis yang masih duduk lemas di sofa itu. Dia berjongkok di hadapan Elara, menatap lekat manik mata cokelatnya yang masih menyiratkan trauma sisa 'kerasukan' tadi. "Kamu bisa jalan? Aku gendong kalau perlu."

Elara menggeleng pelan, memaksakan senyum tipis yang rapuh. "Aku bisa jalan, Yan. Cuma... kepalaku masih berdenging. Rasanya kayak ada stasiun radio rusak di dalam otakku."

"Pegang tanganku. Jangan lepas," kata Rian. Dia membantu Elara berdiri. Genggaman tangan Rian kuat dan hangat, jangkar realitas bagi Elara yang merasa jiwanya separuh melayang.

Mereka bergerak cepat seperti tim taktis yang amatir.

Di dapur, Sarah menyapu bersih isi lemari: sekotak biskuit, beberapa bungkus mie instan (yang entah bagaimana cara masaknya nanti di kamar), dan empat botol air mineral.

Di gudang kecil bawah tangga, Bobi menemukan harta karun: satu pak lilin besar sisa dekorasi Natal tahun lalu dan dua lampu badai (lentera minyak) yang untungnya masih ada isinya.

"Lumayan buat romantic dinner sama setan," gumam Bobi sambil memeluk barang-barang itu.

Mereka membawa semuanya ke lantai dua, ke kamar utama di bagian belakang. Begitu masuk, Rian langsung memberi instruksi untuk memindahkan lemari pakaian berat guna memalang pintu dari dalam.

"Satu, dua, tiga... dorong!"

Suara gesekan kayu berat melawan lantai parket terdengar nyaring. Lemari jati besar itu kini berdiri kokoh menutupi pintu masuk. Benteng mereka sudah jadi.

"Oke," Rian menghembuskan napas lega, menyeka keringat di pelipisnya. "Sekarang kita aman. Setidaknya secara fisik, nggak ada yang bisa masuk tanpa ngehancurin pintu atau lemari ini."

Sarah menyusun lilin-lilin di sekeliling ruangan, menciptakan lingkaran cahaya yang cukup terang namun berkedip-kedip dramatis. Bayangan mereka berempat tercetak besar di dinding, bergoyang-goyang setiap kali ada angin yang menyusup dari celah jendela.

Elara duduk bersandar di kepala tempat tidur, memeluk lututnya. Rian duduk di sebelahnya, sementara Bobi dan Sarah duduk di karpet di kaki ranjang, membuka bungkus biskuit.

"Jam berapa sekarang?" tanya Elara lirih.

Sarah mengecek jam tangannya. "Lima lewat lima puluh. Matahari harusnya udah turun sepenuhnya."

Hening.

Mereka menunggu. Menunggu "Babak Kedua" yang dijanjikan oleh tulisan darah di partitur tadi.

Satu menit berlalu. Lima menit. Sepuluh menit.

Hanya ada suara angin di luar. Tidak ada piano yang berbunyi. Tidak ada gedoran pintu.

"Mungkin..." Bobi mulai berani bicara dengan mulut penuh remah biskuit. "Mungkin hantunya nge-prank? Atau jam hantunya beda zona waktu? WIB? Waktu Indonesia Bagian Bawah Tanah?"

Sarah melempar bantal ke wajah Bobi. "Jangan mancing-mancing, bego."

"Gue serius, Sar. Sunyi banget. Biasanya di film horor, sunyi itu tanda bahaya, tapi ini sunyinya kelewatan. Jangan-jangan kita udah mati terus ini api penyucian?"

"El," bisik Rian, mengabaikan ocehan Bobi. Dia menoleh ke Elara. "Gimana perasaan kamu? Masih kerasa... kehadirannya?"

Elara memejamkan mata, mencoba merasakan atmosfer di sekitarnya. "Dinginnya beda, Yan. Tadi di bawah, dinginnya menusuk dan penuh amarah. Di sini... rasanya sepi. Sedih."

"Maafin aku ya," kata Rian tiba-tiba.

Elara membuka mata, menatap Rian bingung. "Kenapa minta maaf?"

"Karena ngajak kalian ke sini. Karena nggak percaya sama firasat kamu pas pertama kali kita sampai. Harusnya aku putar balik mobil pas kamu bilang jangan masuk."

Elara melihat penyesalan yang dalam di mata Rian. Tanpa sadar, tangannya terulur menyentuh pipi Rian yang sedikit kasar karena belum bercukur. "Hei, ini bukan salah siapa-siapa. Kita terjebak badai. Dan soal firasat... aku sendiri juga ragu kok."

Sentuhan tangan Elara membuat Rian terdiam. Ada arus listrik halus yang mengalir di antara mereka, sebuah momen slow burn di tengah kepungan teror. Rian memiringkan wajahnya sedikit, menikmati kehangatan tangan Elara.

"Janji sama aku, El," bisik Rian. "Apapun yang terjadi malam ini, kamu jangan dengerin suara apapun selain suaraku. Jangan biarkan 'dia' masuk lagi ke kepala kamu."

"Aku janji," bisik Elara.

Tepat saat kata itu terucap, nyala api pada lima batang lilin di ruangan itu serentak mengecil. Hampir padam, berubah menjadi biru redup, sebelum kembali membesar dengan nyala yang tidak wajar.

Bukan oranye. Api lilin itu kini berwarna hijau pucat.

"Anjir! Lilinnya kenapa jadi warna neon?!" teriak Bobi, mundur sampai punggungnya menabrak lemari penghalang.

Suhu di kamar itu anjlok drastis. Uap napas mereka terlihat mengepul putih di udara.

Dan kemudian, suara itu terdengar.

Bukan dari dalam kamar. Bukan dari koridor.

Suara itu datang dari lantai bawah. Dari ruang tengah yang tepat berada di bawah kamar mereka.

Plok. Plok. Plok.

Suara tepuk tangan.

Tepuk tangan yang lambat, satu per satu, namun keras dan bergema. Seolah-olah ada satu orang yang berdiri di tengah kegelapan ruang tengah, memberikan apresiasi sarkastik.

Plok. Plok. Plok.

"Ada orang di bawah..." desis Sarah, wajahnya seputih kertas. "Siapa yang tepuk tangan?"

Tepuk tangan itu semakin cepat.

Plok-plok-plok-plok!

Lalu berubah menjadi riuh.

Suaranya bukan lagi satu orang. Melainkan puluhan. Ratusan. Seolah-olah ruang tengah di bawah sana tiba-tiba dipenuhi oleh penonton konser yang tak kasat mata. Suara tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai gembira membahana menembus lantai kayu, menggetarkan kaki-kaki mereka di atas.

"Gila! Itu suara banyak orang!" seru Bobi menutup telinganya. "Mereka pesta?! Di bawah ada pesta hantu?!"

Di tengah keriuhan tepuk tangan gaib itu, terdengar suara MC (pembawa acara) yang samar namun jelas, seolah berbicara melalui microphone tua yang berdesing.

"Hadirin sekalian, selamat datang di pertunjukan terakhir malam ini. Mari kita sambut... bintang utama kita!"

Dan seketika, tepuk tangan itu berhenti total. Hening yang memotong seperti pisau.

Kemudian, piano di bawah sana mulai bermain.

Bukan denting sumbang seperti sebelumnya. Kali ini, piano itu dimainkan dengan virtuoso. Cepat, agresif, penuh emosi, dan... sempurna. Melodi klasik yang indah namun mencekam, seolah jari-jarinya menari di atas tuts dengan kecepatan iblis.

"Itu..." Elara tercekat, matanya membelalak. "Itu lagu 'Sonata untuk Elena'. Lagu yang partiturnya ada di piano tadi."

"Tapi siapa yang main?" tanya Rian tegang.

Elara menatap Rian dengan tatapan ngeri. "Bukan siapa yang main, Yan. Tapi siapa yang nggak main."

Elara menunjuk ke sudut kamar mereka.

Di sana, tergeletak tas ransel Rian yang terbuka. Dari dalam tas itu, menyembul ujung foto polaroid yang mereka temukan semalam.

Foto itu melayang keluar dengan sendirinya, jatuh ke lantai dengan posisi gambar menghadap ke atas.

Gambar di foto itu berubah lagi.

Di foto itu, Adrian (yang mirip Rian) sedang duduk di

depan piano, tangannya terangkat tinggi siap menekan tuts. Tapi kepalanya menoleh ke belakang, menatap lurus ke arah kamera, ke arah mereka berempat di masa kini.

Dan mulut Adrian di foto itu bergerak.

Sebuah suara bisikan muncul tepat di samping telinga Rian, padahal tidak ada siapa-siapa di sana.

"Turunlah, Adikku. Giliranmu bermain duet denganku."

Rian tersentak hebat, memegangi telinganya. "Dia... dia bicara padaku."

"Apa katanya?" tanya Sarah panik.

"Dia minta aku turun," jawab Rian, wajahnya berubah keras. Dia menatap pintu yang terhalang lemari. "Dia mau aku main piano itu."

"JANGAN!" teriak Elara, mencengkeram lengan Rian sekuat tenaga. "Itu jebakan, Rian! Kalau kamu turun, kamu nggak akan pernah naik lagi!"

Namun, musik piano di bawah sana semakin kencang, semakin gila, hingga lantai kamar mereka bergetar hebat. Dan di antara nada-nada piano itu, terdengar suara jeritan wanita yang menyayat hati, jeritan Elena meminta tolong.

"Tolong aku... sakit... Adrian, sakit..."

Suara itu merobek pertahanan mental Elara. Dia menutup telinganya dan menjerit, "BERHENTI! HENTIKAN!"

Tapi musik itu tidak berhenti. Babak Kedua baru saja dimulai, dan para penonton tak kasat mata di bawah sana sedang menunggu aktor utama mereka untuk turun panggung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!