Untuk membalaskan dendam keluarganya, Swan Xin menanggalkan pedangnya dan mengenakan jubah sutra. Menjadi selir di Istana Naga yang mematikan, misinya jelas: hancurkan mereka yang telah membantai klannya. Namun, di antara tiga pangeran yang berebut takhta, Pangeran Bungsu yang dingin, San Long, terus menghalangi jalannya. Ketika konspirasi kuno meledak menjadi kudeta berdarah, Swan Xin, putri Jendral Xin, yang tewas karena fitnah keji, harus memilih antara amarah masa lalu atau masa depan kekaisaran. Ia menyadari musuh terbesarnya mungkin adalah satu-satunya sekutu yang bisa menyelamatkan mereka semua.
Langkah mana yang akan Swan Xin pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Jebakan Gaun Sutra.
Botol porselen putih itu terasa dingin di telapak tangannya, kontras dengan kulitnya yang masih hangat karena ketegangan perjamuan tadi. Swan Xin menatap wajah pelayan yang ketakutan itu, mencari jejak kebohongan, tetapi yang ia temukan hanyalah teror murni.
“Istana Naga merusak kecantikan,” ulang Swan pelan, lebih pada dirinya sendiri. “Hanya itu pesannya?”
“I-iya, Nona,” gagap pelayan itu. “Hamba bersumpah, hanya itu. Hamba tidak menambahkan atau mengurangi satu kata pun.”
“Kenapa dia mengirimimu? Kenapa bukan kasim pribadinya?” tanya Swan lagi, matanya menyipit, menguji gadis itu.
“Hamba… hamba tidak tahu, Nona,” isak pelayan itu, air matanya mulai menggenang. “Hamba hanya bekerja di dapur obat. Tiba-tiba saja salah satu pengawal Pangeran Bungsu datang dan menyuruh hamba mengantarkan ini pada Anda. Hamba tidak berani menolak.”
Swan menghela napas. Gadis ini hanyalah pion. Takut dan tidak berguna. “Baiklah. Kau boleh pergi.”
“Terima kasih, Nona! Terima kasih!” Pelayan itu membungkuk berkali-kali sebelum berbalik dan lari terbirit-birit, seolah dikejar hantu.
Swan menutup pintu dan menyandarkan punggungnya di kayu yang dingin itu. Ia menatap botol kecil di tangannya. Obat tidur. Sangat kuat. Sebuah ancaman? Peringatan? Atau… sebuah petunjuk? San Long bersikap seolah ia membenci pelanggaran aturan, tapi tindakannya sendiri melanggar seratus protokol istana. Mengirim obat tidur kepada seorang selir melalui pelayan rendahan adalah sebuah skandal jika ketahuan.
Ia berjalan ke meja riasnya dan meletakkan botol itu di sana. Ia tidak akan meminumnya. Ia tidak cukup bodoh untuk memercayai apa pun dari Pangeran Bungsu yang bengis itu.
“Bibi Lan,” panggilnya lembut.
Kepala pelayannya yang setia itu muncul dari kamar sebelah. “Ya, Nona?”
“Besok pagi, aku mau kau menyebar gosip,” kata Swan, matanya menatap pantulan dirinya di cermin.
“Gosip, Nona?” Bibi Lan tampak bingung.
“Katakan pada semua pelayan yang mau mendengar,” lanjut Swan, senyum tipis yang dingin mulai terbentuk di bibirnya. “Katakan bahwa Kakekku, Guru Besar Wen, baru saja mengirimiku hadiah paling istimewa. Segulung Sutra Awan Ungu dari perbatasan barat. Sutra yang sangat langka, warnanya berubah-ubah di bawah cahaya yang berbeda. Katakan aku sangat senang dan akan membuat gaun baru darinya.”
Bibi Lan mengerutkan kening. “Tapi, Nona… kita tidak menerima kiriman apa pun.”
“Justru itu intinya,” bisik Swan. Ia membuka salah satu petinya, mengeluarkan segulung sutra berwarna nila polos yang ia bawa dari pondok gunung. “Gunakan ini sebagai ‘buktinya’ kalo ada yang bertanya.”
“Hamba tidak mengerti tujuan Anda, Nona,” kata Bibi Lan ragu.
“Kau tidak perlu mengerti,” jawab Swan. “Kau hanya perlu memastikan ceritanya terdengar meyakinkan. Terutama… pastikan gosip itu sampai ke telinga para pelayan dari Paviliun Anggrek Emas.”
Paviliun Anggrek Emas. Kediaman Selir Agung.
Keesokan harinya, taman kekaisaran ramai dengan bisikan. Swan berjalan dengan sengaja di sepanjang jalan setapak utama, pura-pura mengagumi bunga-bunga krisan yang baru mekar. Ia bisa merasakan mata-mata mengawasinya dari setiap sudut, mendengar gumaman namanya dan ‘Sutra Awan Ungu’ terbawa angin.
Akhirnya, targetnya muncul. Seorang pelayan muda bernama Xiao Ju, salah satu pelayan pribadi Selir Agung yang ia perhatikan tadi malam. Gadis itu sedang memetik beberapa bunga untuk vas majikannya, tapi matanya terus-menerus melirik ke arah Swan dengan tatapan iri yang tidak disembunyikan.
Swan menjatuhkan saputangan bersulamnya, seolah-olah tidak sengaja. Tepat di dekat kaki Xiao Ju.
“Oh, ya ampun,” keluh Swan dengan nada terkejut yang dibuat-buat.
Xiao Ju ragu-ragu sejenak, lalu membungkuk untuk mengambil saputangan itu. “Ini milik Anda, Selir Xin.”
“Ah, terima kasih banyak!” Swan tersenyum hangat, senyum yang sama sekali berbeda dari ekspresi arogannya di hari pertama. “Aku ini ceroboh sekali. Namamu siapa, ya?”
“Xiao Ju, Nona,” jawab gadis itu, sedikit terkejut dengan keramahan Swan.
“Xiao Ju. Nama yang cantik,” puji Swan. Ia mendekat sedikit. “Bolehkah aku meminta pendapatmu? Menurutmu, warna benang emas atau perak yang lebih cocok untuk dipadukan dengan Sutra Awan Ungu?”
Mata Xiao Ju langsung berbinar. Jadi gosip itu benar. “Sutra Awan Ungu, Nona? Hamba dengar itu sutra paling indah di seluruh kekaisaran.”
“Memang indah,” sahut Swan dengan nada sedikit sombong. “Tapi aku jadi bingung mau dibuat model seperti apa. Di tempat asalku, kami tidak terbiasa dengan kain semewah ini.” Ia menghela napas, memasang wajah sedih. “Jujur saja, aku agak kesepian di sini. Aku tidak punya teman untuk diajak bicara soal hal-hal seperti ini.”
Xiao Ju langsung merasa kasihan. “Selir Agung… beliau tidak membantu Anda, Nona?”
“Selir Agung?” Swan tertawa kecil yang terdengar getir. “Beliau sangat sibuk. Aku tidak mau merepotkannya dengan masalah sepele seperti ini.” Ia menatap Xiao Ju dengan tatapan memohon. “Aku lihat kau punya selera yang bagus. Apa kau mau membantuku?”
Wajah Xiao Ju memerah karena tersanjung. “Tentu saja, Nona! Suatu kehormatan bagi hamba!”
“Bagus sekali!” seru Swan gembira. “Bagaimana kalau kau datang ke paviliunku sore ini? Aku akan tunjukkan sutranya, dan kita bisa minum teh sambil membicarakan desainnya. Nanti aku akan berikan sisa kainnya untukmu sebagai ucapan terima kasih.”
Tawaran itu terlalu menggiurkan untuk ditolak. Sisa Sutra Awan Ungu bisa dijual dengan harga yang sangat mahal, atau dijadikan hiasan yang akan membuat semua pelayan lain iri setengah mati.
“Hamba… hamba harus minta izin Selir Agung dulu, Nona,” katanya ragu.
“Oh, soal itu jangan khawatir,” kata Swan sambil mengedipkan sebelah matanya. “Bilang saja aku ingin belajar cara menyeduh teh kesukaan Selir Agung darimu. Beliau pasti senang mendengarnya.”
Tepat sebelum matahari terbenam, Xiao Ju datang ke Paviliun Bunga Peoni. Wajahnya berseri-seri karena antusias. Bi Lan menyambutnya dengan ramah dan menghidangkan teh melati terbaik.
“Ini dia sutranya!” kata Swan, membentangkan kain sutra nila polos itu di atas meja. Dalam cahaya lentera yang temaram, warnanya memang tampak sedikit keunguan.
“Luar biasa,” desah Xiao Ju, jemarinya mengelus kain itu dengan penuh kekaguman.
Mereka menghabiskan setengah jam berikutnya membahas model gaun. Swan terus memancing Xiao Ju dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Selir Agung.
“Selir Agung sepertinya wanita yang sangat teliti, ya?” tanya Swan.
“Oh, sangat, Nona,” jawab Xiao Ju, bersemangat untuk menunjukkan pengetahuannya. “Semuanya harus sempurna. Bahkan surat-surat pribadinya harus ditulis di atas kertas paling mahal dengan tinta wangi.”
“Pasti banyak sekali surat yang harus beliau urus,” timpal Swan.
“Benar, Nona. Apalagi akhir-akhir ini,” sahut Xiao Ju, suaranya sedikit berbisik seolah membagikan rahasia. “Beliau sedang menunggu balasan surat yang sangat penting. Katanya nasib Yang Mulia Pangeran Sulung bergantung pada surat itu.”
Jantung Swan berdebar lebih cepat. Ini dia.
“Oh, ya? Surat dari siapa, kalo boleh tahu?”
“Hamba tidak tahu pasti, Nona. Tapi kurirnya datang dari Perbatasan Timur. Beliau memerintahkan hamba untuk langsung membawa surat balasannya ke paviliun arsip timur begitu tiba. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya.”
Sempurna. Informasi dari Jiang Long dan dari pelayan ini saling menguatkan. Surat itu pasti sangat penting.
Saat itulah Swan ‘secara tidak sengaja’ menyenggol cangkir tehnya. Cairan panas itu tumpah, sebagian besar mengenai gaun seragam Xiao Ju.
“Astaga! Maafkan aku!” pekik Swan panik. “Aku benar-benar ceroboh! Cepat, lepaskan gaun luarmu biar Bi Lan bisa langsung mencucinya sebelum nodanya membekas!”
“Tidak apa-apa, Nona, sungguh…”
“Aku memaksa!” potong Swan.
Dengan canggung, Xiao Ju melepaskan jubah luarnya yang basah. Di balik pakaiannya, tergantung sebuah kantong kain kecil di pinggangnya, tempat para pelayan biasa menyimpan barang-barang pribadi. Bi Lan dengan sigap mengambil gaun itu dan membawanya ke belakang.
“Sambil menunggu, coba kau lihat koleksi jepit rambut giokku ini,” kata Swan, membuka sebuah kotak perhiasan untuk mengalihkan perhatian Xiao Ju. “Pilihlah satu sebagai hadiah dariku.”
Mata Xiao Ju langsung terpaku pada jajaran jepit rambut yang berkilauan. Sementara perhatiannya sepenuhnya teralihkan, tangan Swan bergerak secepat ular di bawah meja. Jari-jarinya yang ramping dan terlatih menyelinap ke dalam kantong kain milik Xiao Ju yang tergantung di kursi. Ia merasakan sebuah gulungan kertas yang tebal. Dengan satu gerakan cepat, ia menariknya keluar dan menyembunyikannya di dalam lipatan lengan bajunya yang lebar.
Satu jam kemudian, Xiao Ju pulang dengan gembira, membawa segulung sutra ‘sisa’ dan sebuah jepit rambut giok baru, sama sekali tidak menyadari bahwa ia baru saja menyerahkan masa depan majikannya.
Setelah memastikan semua orang tertidur, Swan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Ia mengeluarkan gulungan kertas itu. Segelnya terbuat dari lilin hitam dengan lambang keluarga bangsawan yang tidak ia kenali. Ia mematahkannya dengan hati-hati. Jantungnya berdebar kencang saat ia membuka surat itu di bawah cahaya lilin.
Tulisannya adalah tulisan tangan yang rapi dan elegan. Isinya penuh dengan bahasa kiasan dan kalimat-kalimat yang tampaknya biasa saja, membahas soal panen dan perdagangan kuda. Tapi Swan tahu ini adalah sebuah kode. Ia membacanya berulang-ulang, mencari kata kunci, mencari pola yang diajarkan Guru Wen.
Dan kemudian, ia menemukannya. Tersembunyi di akhir paragraf terakhir, sebuah kalimat yang tampaknya tidak berhubungan dengan apa pun. Tulisan tangannya sedikit berbeda, seolah ditambahkan belakangan dengan tergesa-gesa.
Kalimat itu berbunyi: (Pengiriman senjata untuk Pangeran Sulung dari Perbatasan Timur berjalan lancar).
trmkash thor good job👍❤