Ketika Arbiyan Pramudya pulang untuk melihat saudara kembarnya, Abhinara, terbaring koma, ia bersumpah akan menemukan pelakunya. Dengan menyamar sebagai adiknya yang lembut, ia menyusup ke dalam dunia SMA yang penuh tekanan, di mana setiap sudut menyimpan rahasia kelam. Namun, kebenaran ternyata jauh lebih mengerikan. Di balik tragedi Abhinara, ada konspirasi besar yang didalangi oleh orang terdekat. Kini, Arbiyan harus berpacu dengan waktu untuk membongkar semuanya sebelum ia menjadi target berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Jari-jarinya bergerak dengan sendirinya, hendak menyingkap lengan piyama rumah sakit itu lebih jauh, untuk melihat seberapa parah luka yang tersembunyi di baliknya. Kain katun tipis itu terasa kasar di bawah sentuhan Arbiyan yang gemetar. Ia menariknya ke atas, melewati siku Abhinara, dan napasnya tertahan di tenggorokan.
Bukan hanya pergelangan tangan. Seluruh lengan bawah adiknya adalah kanvas ungu kebiruan, dihiasi bercak-bercak pudar kekuningan yang menandakan luka lama yang mulai sembuh. Pola-pola itu acak, brutal, seolah seseorang telah mencengkeram dan mengguncangnya berulang kali. Ini bukan catatan luka dari satu insiden. Ini adalah arsip penderitaan.
“Biyan, jangan,” suara ibunya terdengar tegang dari ambang pintu. “Biar dokter yang memeriksa.”
Arbiyan tidak menoleh. Ia bahkan tidak mendengar. Matanya terpaku pada sebaris goresan tipis di dekat siku adiknya, nyaris tersembunyi. Bekas luka lama, warnanya sudah memutih. Goresan-goresan paralel yang rapi. Terlalu rapi untuk sebuah kecelakaan.
Sebuah ketukan pelan di pintu yang terbuka memecah keheningan yang mencekik. Seorang pria berusia akhir empat puluhan, mengenakan jas dokter putih bersih dengan nama ‘Dr. Irawan’ tersemat di dada, melangkah masuk. Wajahnya menunjukkan ekspresi tenang dan profesional, tetapi matanya menyiratkan simpati saat melihat Arbiyan yang membeku di sisi ranjang.
“Selamat malam, Bu Linda. Saya Dokter Irawan, penanggung jawab pasien Abhinara,” sapanya dengan suara bariton yang menenangkan. Ia kemudian menoleh pada Arbiyan. “Dan Anda pasti saudara kembarnya, Arbiyan.”
Linda mengangguk kaku. “Malam, Dok. Tolong jelaskan sekali lagi kondisinya. Anak saya baru saja tiba dari Amerika.”
Arbiyan akhirnya melepaskan lengan Abhinara, membiarkan piyama itu kembali menutupi bukti-bukti bisu. Ia berbalik menghadap sang dokter, matanya berkilat tajam. “Gak usah pake basa-basi, Dok. Langsung aja ke intinya.”
Dokter Irawan tampak sedikit terkejut dengan nada permusuhan itu, tetapi ia mengangguk mengerti. “Baik. Secara garis besar, pasien mengalami trauma kepala tumpul yang parah di bagian oksipital, bagian belakang kepala. Ini yang menyebabkan pendarahan internal dan membuatnya dalam kondisi koma. Kami sudah melakukan operasi untuk mengurangi tekanannya, dan sekarang kami hanya bisa menunggu respons dari otaknya.”
“Jatuh dari tangga,” desis Arbiyan, lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan. “Itu yang sekolah bilang, kan?”
“Betul. Laporan awalnya seperti itu,” jawab dokter dengan hati-hati, matanya melirik sekilas ke arah Linda sebelum kembali fokus pada Arbiyan.
“Kalo gitu, tolong jelasin ini,” Arbiyan menunjuk kembali ke arah ranjang, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan. “Memar di sekujur lengannya? Lebam di pipinya? Itu semua bagian dari ‘jatuh dari tangga’ juga?”
Dokter Irawan menghela napas panjang. Ia berjalan mendekati monitor di samping ranjang, seolah sedang memeriksa data, memberinya waktu sejenak untuk menyusun kata-kata. “Begini, Arbiyan. Dalam laporan medis kami, kami memang mencatat adanya beberapa hematoma dan kontusio di ekstremitas atas dan wajah yang polanya… tidak sepenuhnya konsisten dengan dinamika jatuh biasa.”
“Gak konsisten?” Arbiyan tertawa kering. “Dok, bilang aja terus terang. Adik gue dihajar, kan? Ada yang nyakitin dia sebelum dia ‘jatuh’.”
“Arbiyan!” tegur Linda, suaranya tajam.
“Apa, Ma? Mama mau aku pura-pura gak liat?” balas Arbiyan sengit, tanpa mengalihkan pandangannya dari sang dokter. “Jawab saya, Dok.”
Dokter Irawan menatap lurus ke mata Arbiyan, ekspresinya serius. “Saya tidak bisa membuat kesimpulan seperti itu. Itu ranah pihak kepolisian. Tugas saya adalah mencatat setiap temuan medis secara objektif. Dan ya, kami sudah menyerahkan salinan lengkap catatan medisnya kepada pihak berwajib sebagai bagian dari prosedur.”
Jawaban itu adalah sebuah konfirmasi yang terbungkus dalam etika medis. Darah Arbiyan berdesir. Jadi polisi sudah tahu. Tapi apa yang mereka lakukan? Kenapa ibunya tampak begitu tenang?
“Ada lagi?” tanya Arbiyan, suaranya kini lebih rendah, lebih dingin. “Selain luka-luka baru ini. Ada… luka lama?”
Pertanyaan itu membuat suasana di ruangan menjadi lebih berat. Dokter Irawan terdiam sejenak, tatapannya melembut. “Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Karena gue kenal adik gue,” jawab Arbiyan pelan. “Dia gak akan nunjukkin kalo dia kesakitan. Dia bakal nutupin semuanya sampe dia ancur sendirian. Jadi gue tanya sekali lagi, Dok. Ada luka lama?”
Dokter Irawan menatap Linda, yang kini membuang muka ke arah jendela, bahunya sedikit menegang. Seolah meminta izin dalam diam, dan tak mendapatkannya, ia memutuskan untuk menjawab berdasarkan hati nuraninya.
“Saat kami melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh,” ujarnya pelan, memilih kata-katanya dengan cermat, “kami menemukan beberapa bekas luka yang sudah sembuh total di area punggung dan bahu.”
Jantung Arbiyan serasa diremas. Punggung. Tempat di mana Abhinara selalu memintanya menggaruk saat mereka kecil karena gatal. Tempat yang tak akan terlihat oleh siapa pun.
“Bekas luka seperti apa?” tuntut Arbiyan, suaranya nyaris berbisik.
“Beberapa berbentuk linear, tipis. Beberapa lagi… sirkular, seperti bekas sulutan,” kata dokter itu dengan nada prihatin. “Dari tingkat penyembuhannya, luka-luka itu terjadi dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Beberapa mungkin sudah berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun.”
Setahun.
Satu kata itu menghantam Arbiyan seperti bogem mentah. Tepat selama ia pergi. Selama ia menikmati kebebasannya di Amerika, bertarung di arena ilegal untuk melampiaskan amarahnya pada dunia, adiknya di sini, di rumah ini, diam-diam disiksa. Rasa bersalah yang tadi membakarnya kini berubah menjadi es yang membekukan organ-organ dalamnya. Bukan lagi api yang meledak-ledak, melainkan dingin yang mematikan. Dingin yang menuntut perhitungan.
Ia perlahan berbalik, tidak lagi menatap dokter atau tubuh adiknya yang ringkih. Pandangannya terkunci pada punggung ibunya yang masih menghadap jendela. Siluetnya yang kaku dan angkuh di bawah cahaya lampu rumah sakit yang pucat.
“Mama tahu,” ucap Arbiyan. Suaranya datar, tanpa emosi, yang justru membuatnya terdengar jauh lebih mengerikan. Itu bukan pertanyaan. Itu adalah sebuah vonis.
Linda tidak bergerak. Keheningan di antara mereka terasa begitu pekat, hanya dipecah oleh bunyi ‘bip’ ritmis dari monitor jantung Abhinara. Satu-satunya detak kehidupan di ruangan yang terasa seperti makam.
“Mama tahu soal ini, kan?” ulang Arbiyan, setiap kata diucapkannya dengan penekanan yang tajam dan menusuk. Ia melangkah mendekat, bayangannya menelan sosok ibunya. “Selama ini… Mama tahu apa yang terjadi sama Abhi.”
Tidak sabar untuk selanjutnya!
semangat ya!