"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Merestui
Sejak orangtua Laras menerimanya dengan baik. Rendra ingin segera menemui keluarganya untuk membicarakan hubungannya dengan Laras. Rendra tidak ingin menunda terlalu lama lagi.
Malam itu mereka duduk di teras kontrakan Laras. Angin desa berembus pelan, lampu temaram menggantung di atas kepala. “Aku mau ke Jakarta,” ucap Rendra tiba-tiba.
Laras menoleh. “Ke Jakarta?”
Rendra mengangguk. “Aku akan bicara langsung dengan orang tuaku. Tentang kita.”
Laras terdiam.
“Aku ingin melamar kamu secara resmi,” lanjut Rendra mantap. “Aku akan kembali ke sini bersama mereka. Aku ingin kamu masuk ke hidupku dengan cara yang terhormat.”
Laras menunduk. “Ren… kalau orang tua kamu—”
“Aku tidak akan mundur,” potong Rendra lembut. “Apapun jawabannya, kamu harus tahu satu hal.”
Rendra menggenggam tangan Laras. “Pilihan aku sudah selesai sejak aku mencintaimu.”
Air mata Laras jatuh. “Aku akan menunggu,” katanya pelan. “Dengan atau tanpa janji apa pun.”
Rendra tersenyum, lalu mengecup punggung tangan Laras singkat—penuh adab. “Doakan aku,” katanya.
Keesokan harinya...
Jakarta menyambut Rendra dengan gedung-gedung tinggi dan udara berat.
Di ruang keluarga rumah besar itu, Rendra berdiri kembali di hadapan orang tuanya. “Ma, Pa. Aku datang untuk melamar perempuan yang aku cintai.”
Ibunya langsung menyahut, “Kamu sudah tahu jawabannya.”
“Aku ingin mendengarnya langsung.”
Ayah Rendra menatapnya serius. “Kami tidak merestui.”
“Karena dia dari desa?” tanya Rendra dingin.
“Karena dia tidak sepadan,” jawab ibunya tanpa ragu. “Keluarganya tidak punya apa-apa.”
Rendra menghela napas. “Aku tidak menikah dengan harta.”
“Kamu menikah membawa nama keluarga!” bentak ayahnya.
Ibunya menambahkan, “Lagi pula kamu sudah dijodohkan dengan Alya. Anak sahabat Mama. Keluarga mereka yang dulu membantu kita saat bangkrut.”
Rendra tertegun sesaat. “Jadi ini balas budi?” tanyanya pelan.
“Ini tanggung jawab,” jawab ibunya. “Kamu berutang masa depan.”
Rendra menggeleng. “Aku tidak pernah berjanji menikahi anak mereka.”
“Kami yang berjanji,” jawab sang ayah.
Keheningan menekan dada.
“Kalau kamu tetap memilih Laras,” lanjut ayahnya, “anggap saja kamu bukan bagian dari keluarga ini.”
Rendra mengangkat wajahnya. Matanya tidak lagi ragu.
“Kalau menjadi anak berarti harus mengorbankan hidup orang lain,” katanya tegas, “aku memilih menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.”
Ibunya menitikkan air mata—bukan karena kehilangan, melainkan karena harga diri yang terluka.
“Pergilah,” katanya dingin. “Dan jangan bawa kami ke desa itu.”
Rendra membungkuk hormat. “Saya tetap anak Papa dan Mama. Tapi pilihan hidup saya bukan milik kalian.”
Ia melangkah keluar. Tanpa restu. Tanpa dukungan. Tapi dengan cinta yang utuh.
***
Mobil Rendra tiba menjelang subuh.
Rendra turun dengan langkah berat. Bukan karena lelah perjalanan—melainkan karena kata tidak yang masih menggema di kepalanya.
Pagi itu, Laras sedang menyiram tanaman di depan kontrakan ketika melihat sosok Rendra berdiri di ujung jalan. Wajahnya lebih tirus dari biasanya.
“Rendra?” suaranya ragu.
Rendra mendekat. Tidak langsung tersenyum. Tidak juga menghindar. “Aku pulang.”
Laras meletakkan gembor airnya. Dadanya berdebar. “Bagaimana?”
Rendra menghela napas panjang. “Mereka tidak merestui.”
Kalimat itu jatuh begitu saja—tanpa hiasan.
Laras tersenyum kecil. Senyum yang dipaksakan. “Aku sudah menduga.”
“Aku sudah bilang ke mereka,” lanjut Rendra, suaranya tetap tenang. “Aku akan menikah denganmu. Dengan atau tanpa restu.”
Laras menggeleng pelan. “Ren… jangan.”
Rendra menatapnya. “Kenapa?”
“Karena aku tidak ingin kamu kehilangan keluargamu hanya karena aku.”
Rendra melangkah mendekat. “Aku tidak kehilangan siapa pun. Aku hanya memilih.”
Air mata Laras jatuh. Ia berusaha menahannya, tapi gagal. “Mereka bilang aku tidak sepadan, kan?” tanyanya lirih.
Rendra tidak menjawab. Keheningan itu cukup menjadi jawaban.
“Rendra,” Laras menarik napas dalam-dalam, “aku pernah kehilangan harga diriku karena masa laluku. Jangan biarkan aku jadi alasan kamu kehilangan masa depan.”
Rendra menggenggam tangan Laras erat. “Kamu bukan masa laluku,” katanya tegas. “Kamu masa depanku.”
Laras terisak. “Tapi aku belum cukup kuat menghadapi dunia keluargamu.”
“Aku akan berdiri di depanmu,” jawab Rendra. “Bukan di belakangmu.”
Laras mengangkat wajahnya. “Kalau suatu hari mereka benar-benar menutup pintu untukmu?”
Rendra tersenyum tipis—senyum lelah tapi yakin. “Maka aku akan membangun rumah baru. Denganmu.”
Laras memejamkan mata. Tangisnya jatuh ke tangan Rendra.
Di pagi yang sederhana itu, di desa yang sunyi, Rendra menyampaikan penolakan orang tuanya—bukan sebagai akhir, melainkan sebagai awal perjuangan yang sesungguhnya.
***
Siang itu langit mendung. Karena weekend, kerjaannya libur.
Laras baru saja selesai melipat baju ketika suara mobil berhenti tepat di depan kontrakannya. Ia mengintip dari balik jendela. Jantungnya langsung mencelos.
Ibu Rendra. Dan seorang perempuan muda berpenampilan anggun—Alya.
Rendra sudah menunjukkan foto keluarganya.
Laras menarik napas panjang sebelum membuka pintu.
“Assalamu’alaikum.”
Tidak ada jawaban.
Ibu Rendra langsung melangkah masuk tanpa dipersilakan. Matanya menyapu ruangan kecil itu, berhenti di dinding kusam dan perabot sederhana.
“Jadi ini tempat tinggalmu?” katanya dingin. “Pantas saja.”
Laras menunduk sopan. “Silakan duduk, Bu.”
“Aku tidak datang untuk duduk,” balasnya tajam. “Aku datang untuk menghentikan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.”
Alya berdiri di samping calon mertuanya, kedua lengannya terlipat. Tatapannya penuh kebencian yang ditahan.
“Kamu tahu siapa aku?” Alya bertanya sinis.
“Aku tidak tau."
“Perempuan yang seharusnya menikah dengan Rendra,” ucap Alya tanpa ragu. “Laki-laki yang sudah aku cintai sejak lama—sebelum kamu ada.”
Laras sedikit tersentak, ia menggenggam ujung bajunya.
Ibu Rendra mendekat satu langkah. “Kamu perempuan miskin. Tidak punya apa-apa. Tidak punya keluarga yang bisa dibanggakan. Apa yang kamu jual sampai anakku membelamu seperti orang bodoh?”
Laras mengangkat wajahnya. Matanya berkaca, tapi suaranya tetap terjaga. “Saya tidak pernah menjual apa pun, Bu. Saya hanya mencintai Rendra.”
Alya tertawa kecil. “Cinta?”
“Cinta tidak cukup untuk hidup di dunia kami.”
“Dan kamu pikir dunia kalian lebih baik?” tanya Laras lirih.
Tamparan itu hampir terjadi—namun ibu Rendra menahannya. “Dengar baik-baik,” katanya dengan suara rendah namun mengancam. “Tinggalkan Rendra. Atau aku pastikan hidupmu tidak akan tenang.”
Laras menelan ludah. “Ancaman?”
“Peringatan,” jawabnya dingin. “Aku bisa membuatmu kehilangan pekerjaan, nama baikmu, bahkan orangtuamu yang tinggal di desa, aku akan menghancurkan semuanya."
Alya mendekat, menatap Laras dari ujung rambut sampai kaki. “Kamu tidak pantas,” katanya tajam. “Perempuan seperti kamu hanya persinggahan. Bukan tujuan.”
Air mata Laras jatuh satu-satu. Namun ia tetap berdiri.
“Bu,” katanya pelan namun tegas, “saya mungkin miskin. Tapi saya tidak serendah hinaan kalian.”
Ibu Rendra tersenyum tipis—senyum kemenangan. “Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan tanpa restu kami.”
Ia berbalik, diikuti Alya.
Sebelum pergi, Alya berhenti sejenak di ambang pintu. “Rendra milikku,” katanya. “Kamu hanya jeda.”
Pintu tertutup. Laras berdiri sendirian di ruang kecil itu. Tubuhnya gemetar, air matanya jatuh deras—bukan karena merasa kalah, melainkan karena ia tahu, cintanya pada Rendra kini bukan lagi sekadar perasaan—melainkan pertarungan.
***
Sore itu Rendra datang ke kontrakan Laras tanpa memberi kabar. Ia terdiam saat melihat Laras duduk di teras, wajahnya pucat, matanya sembab. Tidak perlu bertanya lama—Rendra langsung tahu ada sesuatu yang salah. “Kamu kenapa?” tanyanya pelan.
Laras menggeleng. “Aku gapapa."
Rendra berlutut di hadapannya, memaksa pandangan mereka bertemu. “Laras,” ucapnya tegas tapi lembut. “Siapa yang ke sini?”
Laras terdiam terlalu lama.
Rendra berdiri. Rahangnya mengeras. “Mamaku?"
Air mata Laras jatuh.
“Iya,” katanya lirih. “Mama kamu… sama Alya.”
Dunia Rendra seolah berhenti. “Apa yang mereka lakukan?” tanyanya pelan, terlalu pelan untuk sekadar marah.
Laras mengusap air matanya. “Gak ada. Mereka cuma bilang… aku nggak pantas.”
Rendra menahan napas. “Cuma itu?”
“Mereka minta aku ninggalin kamu.”
Rendra mengepalkan tangan. “Dan mengancam,” tambah Laras pelan.
Detik itu juga, Rendra membalikkan badan, mengambil ponselnya. “Kamu mau ke mana?” tanya Laras panik.
“Ke Jakarta.”
“Ren, jangan. Aku gak mau kamu bertengkar dengan orang tua kamu gara-gara aku.”
Rendra menoleh. Matanya merah—bukan karena menangis, tapi karena menahan amarah. “Kamu tidak pernah menjadi alasan,” katanya tegas. “Kamu adalah pilihanku.”
Ia kembali mendekat, menggenggam bahu Laras dengan lembut. “Dengar aku baik-baik,” lanjutnya. “Tidak ada siapa pun di dunia ini yang berhak mengancam perempuan yang aku cintai. Termasuk ibuku sendiri.”
Laras terisak. “Aku takut, Ren.”
Rendra memeluknya. Bukan lama, tapi kuat. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh hidupmu,” katanya lirih. “Kalau mereka ingin perang, mereka harus melewatiku dulu.”
Ia melepaskan pelukan, menatap Laras penuh tekad.
“Aku ke Jakarta sekarang. Kali ini bukan untuk meminta restu.”
“Tapi untuk menarik batas.”
Laras menggenggam tangan Rendra erat. “Aku percaya kamu.”
Rendra tersenyum tipis. “Dan aku bersumpah,” katanya pelan, “tidak ada satu pun ancaman yang akan menjadi alasan aku menjauh darimu.”
Sore itu, Rendra pergi dengan satu tujuan—melindungi.
Bukan sebagai anak. Melainkan sebagai laki-laki yang mencintai sepenuh hati.
***
Ruang tamu rumah besar itu kembali terasa dingin.
Ibu Rendra duduk anggun di sofa, sementara Alya berdiri di dekat jendela—wajahnya tegang sejak Rendra masuk tanpa basa-basi.
“Kamu ke sini dengan wajah seperti itu untuk apa?” tanya ibunya tajam.
Rendra tidak duduk. Ia berdiri tegak, matanya lurus menatap dua perempuan di hadapannya.
“Aku ke sini untuk memberi peringatan,” ucapnya tenang. Terlalu tenang—hingga justru menggetarkan.
Alya tersenyum miring. “Tentang perempuan desa itu?”
Rendra langsung menoleh. “Jangan pernah merendahkan Laras lagi.”
Ibunya mendengus. “Mama hanya mengatakan fakta.”
“Tidak,” potong Rendra. “Mama menghina. Mengancam. Dan itu tidak akan aku biarkan.”
Ibunya berdiri. “Kamu membela perempuan yang tidak sepadan dan melupakan siapa yang membesarkanmu?”
Rendra menghela napas. “Aku tidak melupakan. Tapi aku juga tidak akan mengorbankan hidup orang lain demi gengsi keluarga.”
Alya melangkah maju. “Rendra, aku mencintaimu sejak lama. Aku pantas—”
“Kamu pantas untuk dicintai seseorang yang memilihmu,” jawab Rendra tegas. “Dan itu bukan aku.”
Wajah Alya memucat.
Ibu Rendra menepuk meja. “Kalau kamu tetap bersikeras, kamu keluar dari keluarga ini.”
Rendra mengangguk pelan. “Aku sudah siap dengan konsekuensinya.”
Ruangan hening. Nafas ibu Rendra terdengar berat.
“Aku datang bukan untuk meminta restu,” lanjut Rendra. “Aku datang untuk menyampaikan keputusan.”
Ia menatap ibunya—dalam, tanpa kebencian. “Aku akan segera menikahi Laras. Dengan atau tanpa kehadiran kalian.”
Alya menggeleng tak percaya. “Kamu gila.”
“Mungkin,” jawab Rendra lirih. “Tapi aku tidak pengecut.”
Ia melangkah mendekat satu langkah—bukan mengancam, tapi memberi batas.
“Jika kalian mendatangi Laras lagi,” katanya rendah namun tajam, “menghina atau mengancamnya, aku tidak akan tinggal diam. Aku tidak peduli siapa kalian.”
Ibunya terdiam. Untuk pertama kalinya, wibawanya runtuh.
Rendra membungkuk hormat—satu-satunya bentuk bakti yang masih ia berikan.
“Aku tetap anak Mama,” katanya. “Tapi Laras adalah rumah yang aku pilih.”
Ia berbalik dan melangkah pergi.Tanpa restu. Tanpa dukungan. Namun dengan cinta yang utuh—dan keberanian untuk mempertahankannya.