Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Memakai kan Pakaian
Nayla terdiam sejenak, matanya membulat bingung mendengar ucapan Leon barusan.
"Setiap waktu… bersama Tuan?" batinnya kacau.
"Apa kamu tuli? Tidak dengar yang aku bilang?" suara Leon terdengar tajam.
Nayla segera tersadar dan menjawab cepat, "Bukan begitu, Tuan. Saya hanya ingin memastikan... Jika saya harus bersama Tuan setiap waktu, bagaimana dengan keperluan pribadi saya? Seperti mandi, atau yang lainnya?"
Leon menyandarkan tubuhnya ke bantal, wajahnya sinis. "Pikirkan sendiri bagaimana caranya. Aku tidak mau tahu."
Nayla menunduk. "Baik, Tuan."
Leon mendengus kesal. "Sudahlah. Sekarang aku mau mandi. Harusnya dari tadi, tapi karena kau pulang terlambat, ya baru sekarang."
"Maaf, Tuan. Kalau begitu, saya bantu," ucap Nayla dengan suara lembut.
Setelah meletakkan barang belanjaannya yang belum sempat ia rapikan, Nayla segera menghampiri Leon dan membantu memindahkannya dari tempat tidur ke kursi roda. Seperti biasa, Leon tidak menunjukkan kerja sama sama sekali. Ia diam saja, seolah memang ingin menguji kesabaran Nayla.
Dengan napas tersengal dan tubuh berkeringat, Nayla akhirnya berhasil memindahkan Leon ke kursi roda, lalu mendorongnya menuju kamar mandi.
"Kalau Tuan sudah di dalam, saya tunggu di depan pintu. Kalau sudah selesai, panggil saya saja," ucap Nayla sopan, hendak menutup pintu.
Namun, langkahnya terhenti saat Leon berkata datar, "Kalau kau keluar, lalu siapa yang memandikanku? Siapa yang melepas bajuku?"
Nayla terpaku di tempat. "Apa, Tuan?"
"Apa aku harus mengulangnya?" Leon menatapnya tajam. "Lepaskan pakaianku dan bantu aku mandi."
Nayla benar-benar tidak menyangka akan sejauh ini. Ia tahu tugasnya tak mudah, tapi tak pernah terbayang bahwa ia juga harus memandikan pria dewasa… apalagi dalam keadaan seperti ini.
"Tuan… maksudnya, saya harus…"
"Kau ini bisa kerja atau tidak sih?" suara Leon meninggi. "Sudah, cepat bantu aku!"
Dengan jantung yang berdegup tak karuan, Nayla menelan ludah. Perlahan, ia mengulurkan tangan dan mulai membuka kancing baju Leon. Lalu... bagian bawah. Tangannya gemetar saat hendak membuka resleting celana. Ia bahkan memejamkan mata karena terlalu gugup.
Namun tiba-tiba, tangan Leon menggenggam pergelangan tangannya.
"Buka matamu. Bisa-bisa milikku terjepit kalau kau begini terus," ucap Leon dengan nada tajam, namun sedikit terhibur.
Nayla langsung membuka matanya dan mundur setapak. "Maaf, Tuan... saya… saya tidak bisa."
Leon menatapnya tajam, lalu menghela napas panjang. "Ya sudah. Keluar. Siapkan baju gantiku."
"Baik, Tuan," Nayla langsung melangkah keluar.
Begitu menutup pintu kamar mandi, Nayla menghela napas dalam-dalam sambil menepuk pipinya sendiri. "Astaga, Nayla... kamu ini sedang bekerja, fokus!"
Ia segera membuka lemari pakaian dan mengambil baju santai yang lengkap, termasuk pakaian dalamnya. Entah kenapa, saat menatanya di atas ranjang, Nayla tersenyum kecil. Rasanya seperti sedang menyiapkan baju untuk suami sendiri. Tapi cepat-cepat ia menghapus pikiran aneh itu.
Kurang dari tiga puluh menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Leon sudah selesai mandi, tubuhnya hanya dilapisi handuk. Nayla langsung menghampiri dan membantu Leon duduk kembali di kursi roda, lalu mendorongnya ke arah ranjang.
Saat itu, Leon memandang sekeliling kamar. "Mama mana?"
Nayla menggeleng. "Tadi saya belum sempat bertemu Nyonya."
Leon menghela napas. "Biasanya Mama yang bantu pakaikan celana. Aku bisa mandi sendiri, tapi untuk pakai celana..." suaranya mengecil, "kakiku... benar-benar nggak bisa digerakkan."
Ada nada sedih dalam suaranya, dan Nayla bisa merasakannya.
Nayla mendekat, menatap Leon lembut. "Kalau begitu, biar saya bantu, Tuan."
Leon langsung menolak. "Nggak usah. Kamu pasti malu."
Nayla berusaha tersenyum untuk mencairkan suasana. "Yang malu saya, atau Tuan? Lagipula saya disini digaji untuk merawat dan membantu Tuan. Saya bertanggung jawab."
Leon tersenyum miring. "Kau cuma cari-cari alasan untuk bisa melihatku tanpa busana, ya?"
Nayla langsung memutar bola matanya. "Tuan, saya ini tidak semesum itu."
Akhirnya, Nayla dengan perlahan dan hati-hati membantu Leon mengenakan pakaian. Dimulai dari pakaian dalam, lalu celana panjang santainya. Semua dilakukan dengan sangat profesional walaupun pipinya terus memanas karena malu.
Setelah semuanya selesai, Nayla mengeringkan rambut Leon dengan handuk kecil, lalu mulai memijat perlahan kepalanya.
"Enak," gumam Leon pelan, menutup mata sejenak menikmati pijatan Nayla.
Nayla tersenyum kecil, lalu mengambil sisir dan mulai merapikan rambut Leon.
"Tuan makin tampan setelah mandi," gumam Nayla lirih, tanpa sadar.
Segera setelah kata-kata itu keluar, Nayla menutup mulutnya dan melangkah mundur, wajahnya memerah.
Namun Leon, yang ternyata mendengarnya, tersenyum kecil dan berkata, "Aku memang tampan."
Nayla tidak membalas. Malu bercampur geli, ia hanya bisa membuang muka.
Leon kemudian menuju sebuah pintu di ujung kamar. Sebelum masuk, ia menoleh dan berkata, "Kau mandi sekarang. Jangan lama."
"Baik, Tuan," jawab Nayla pelan.
Saat Leon menghilang ke dalam ruang kerjanya, Nayla masih berdiri di tempat, memegang dada yang berdetak kencang.
"Ya Tuhan… ini baru hari pertama. Tapi rasanya seperti roller coaster!"
Setelah memastikan Tuan Leon sudah masuk ke ruang kerjanya, Nayla segera mengambil kantong belanjaan yang tadi ia letakkan di lantai. Dengan langkah cepat namun tetap berhati-hati, ia keluar dari kamar dan menuju kamar pribadinya yang telah disiapkan yang berada tepat di sebelah kamar Leon.
Sesampainya di dalam kamar, Nayla segera mandi. Ia tahu, Leon bisa tiba-tiba memanggil atau membutuhkan bantuannya kapan saja. Ia tak ingin dimarahi lagi hanya karena lengah atau terlambat merespons. Maka dari itu, Nayla mandi dengan cepat namun tetap bersih, lalu mengganti pakaian dengan baju santai yang sopan.
Setelah selesai bersiap, Nayla langsung kembali ke kamar Leon untuk memastikan apakah sang tuan membutuhkan sesuatu. Ia baru saja hendak mengetuk pintu ketika Leon lebih dulu keluar dari ruang kerja yang berada di dalam kamar.
"Apakah Tuan ingin makan sekarang? Kalau iya, saya akan segera mengambilkan makanannya," tanya Nayla dengan nada sopan, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya.
Leon memandang Nayla sejenak, lalu mengangguk kecil. "Aku ingin makan di bawah, di ruang makan."
Tanpa membantah, Nayla segera mendorong kursi roda Leon menuju lift yang memang disediakan untuk akses antara lantai atas dan bawah. Setelah sampai di lantai bawah, mereka menuju ruang makan utama. Di sana, Mama Gaby sudah duduk dengan wajah berseri-seri, menandakan kebahagiaan yang sulit disembunyikan.
"Leon... kamu makan di bawah hari ini?" ucap Mama Gaby dengan senyum haru. "Mama senang sekali kamu akhirnya mau keluar kamar dan makan bersama."
Leon tidak menjawab langsung, hanya mengangguk pelan. Namun matanya sempat melirik sekilas ke arah Nayla.
Setelah membantu Leon duduk di tempatnya di meja makan, Nayla segera berpamitan untuk makan di dapur bersama para asisten rumah tangga lainnya. Namun belum sempat ia melangkah pergi, suara Leon menghentikannya.
"Nayla," panggil Leon. "Makan di sini saja. Duduk, makan bersama."
Nayla sempat tertegun, menoleh ke arah Leon dengan mata sedikit membesar. "Tapi, Tuan... saya bisa makan di dapur. Tak apa."
Mama Gaby yang mendengar itu ikut bicara, mengangguk lembut kepada Nayla. "Tidak apa-apa, Nayla. Duduklah di sini."
Dengan ragu-ragu, Nayla akhirnya menarik kursi dan duduk di ujung meja, tak jauh dari tempat Leon duduk. Ia merasa agak canggung, tapi karena perutnya sudah lapar dan lelah mulai terasa, Nayla pun mulai makan perlahan.
Namun karena rasa lapar yang sudah menumpuk sejak pagi dan aktivitas yang cukup menguras tenaga, Nayla tanpa sadar makan dengan sangat lahap. Ia bahkan tak memperhatikan caranya makan yang jauh dari kata anggun.
Mama Gaby memperhatikan itu sambil tersenyum tipis. Tak seperti wanita-wanita lain yang biasanya makan dengan penuh kehati-hatian di depan pria tampan atau keluarga kaya, Nayla justru tampil apa adanya. Dan anehnya, Gaby menyukai itu. Baginya, kejujuran dan ketulusan yang sederhana lebih menyenangkan daripada kepura-puraan.
Leon pun beberapa kali melirik Nayla diam-diam. Gadis itu terlihat sangat berbeda dari perempuan yang pernah dikenalnya. Tidak berlebihan, tidak jaim, dan tidak berpura-pura manis. Mungkin itu yang membuat Leon—meski tidak diakuinya secara terang-terangan—merasa lebih nyaman.
"Kalau makan, jangan sampai lupa bernapas," gumam Leon pelan, dengan nada datar tapi jelas terdengar.
Nayla yang sedang menyuap nasi nyaris tersedak. Wajahnya memerah karena malu. Ia buru-buru menurunkan sendok dan meneguk air putih.
"Maaf, Tuan... saya memang sedang lapar," ucap Nayla kikuk, senyumnya canggung.
Leon hanya mendengus kecil. Tapi kali ini, tak ada nada marah atau sinis di dalam suaranya.
"Ya, kelihatan."
Makan malam pun berlanjut dalam suasana yang lebih tenang. Meski tak banyak kata, ada kehangatan yang mulai terasa di antara mereka.