NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:645
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 25 DI BALIK BANTAL: TANGIS SUNYI ANAK YANG TERLUKA

Malam di rumah itu tidak lagi terasa seperti sebuah bangunan pelindung, melainkan seperti sebuah wadah kaca yang sedang ditekan oleh kedalaman samudra. Rina berdiri di ambang pintu kamar putri sulungnya, Nirmala. Ia masih memegangi sisa kertas bernoda darah yang ia temukan di kamar mandi, sebuah artefak yang aromanya masih menyengat—perpaduan antara besi dan air garam yang tajam. Gema frekuensi rendah yang tadi menghantam ruang tamu belum sepenuhnya hilang; ia kini merambat melalui lantai, naik ke ujung kaki Rina, menciptakan sensasi dingin yang menusuk.

Di atas tempat tidur dengan sprei berwarna merah muda yang mulai kusam, Mala terbaring telungkup. Wajahnya terbenam sepenuhnya ke dalam bantal. Tidak ada suara teriakan, tidak ada isakan yang keras. Yang ada hanyalah getaran bahu yang ritmis dan sunyi—sebuah jenis kesedihan yang jauh lebih berbahaya daripada ledakan amarah.

"Mala?" panggil Rina pelan. Suaranya hampir tenggelam oleh denging halus yang terus memenuhi ruangan.

Mala tidak bergerak. Bahunya tetap naik-turun dengan cepat. Rina mendekat, duduk di tepi ranjang yang berderit. Aroma laut yang dibawa oleh butiran pasir karang putih dari kamar mandi seolah mengekor di belakangnya, memenuhi kamar tidur yang biasanya beraroma bedak bayi ini dengan bau pulau yang liar.

"Sayang, lihat Ibu," Rina meletakkan tangannya di punggung Mala. "Ibu ada di sini."

Perlahan, Mala mengangkat wajahnya. Pipinya merah padam, basah oleh air mata yang tampak berkilau di bawah lampu kamar yang temaram. Matanya terlihat bengkak, namun yang membuat Rina terkesiap adalah tatapan putrinya. Itu bukan tatapan rindu yang biasa. Itu adalah tatapan seorang prajurit yang kelelahan karena menahan gempuran yang tidak terlihat.

"Terlalu bising, Ma," bisik Mala. Suaranya serak, nyaris hilang di antara deru angin malam yang menabrak jendela. "Di sini... di dalam dada Mala. Dingin, tapi penuh suara orang bicara."

Rina mengernyit, tangannya semakin erat memegang bahu Mala. "Suara siapa? Apa yang mereka katakan?"

"Mala tidak tahu. Mereka seperti berteriak dari bawah air. Mala tidak bisa bernapas," Mala mencengkeram dadanya sendiri, jemari kecilnya memutih. "Mereka tidak suka Mala ada di sini. Suara-suara itu... mereka bilang Mala hanya beban."

"Siapa yang bilang begitu? Tidak ada yang bilang begitu, Mala. Itu hanya perasaanmu," sanggah Rina, meskipun ia sendiri merasakan tekanan udara di kamar itu semakin meningkat.

"Bukan, Ma! Suara itu datang bersama dinginnya. Setiap kali Arka bicara tentang orang tua dengan tongkat itu, suara di dada Mala jadi makin keras," Mala terisak lagi, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Rina. "Kenapa Ayah kirim suara yang menyakitkan begini? Apa Ayah marah karena Mala tidak pernah membantu Arka dengan benar?"

Rina tertegun. Ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Sinyal Arus Takdir yang baru saja diaktifkan oleh suaminya di pulau terpencil—melalui pengorbanan yang melibatkan tinta darah di atas buku doa—adalah energi spiritual yang terlalu murni. Bagi Arka, sinyal itu mungkin adalah navigasi yang menenangkan. Namun bagi Mala, yang jiwanya masih menyimpan luka karena merasa tidak pernah diprioritaskan, energi murni itu terdistorsi menjadi frekuensi yang menyerang batinnya. Kasih sayang Bara yang dikirimkan lewat takdir justru menjadi kebisingan yang menyiksa bagi anak yang merasa terbuang.

Luka yang Terselip di Balik Kapuk

Rina mencoba membetulkan posisi tidur Mala, hendak menarik selimut untuk menutupi tubuh putrinya yang menggigil. Saat itulah, ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di bawah bantal tempat Mala menyembunyikan wajahnya tadi. Ada sebuah lipatan kertas dan sesuatu yang terasa kaku.

"Mala, sebentar," Rina menggeser posisi bantal itu.

Di sana, di atas sprei putih yang tersembunyi, dua benda tergeletak berdampingan. Yang pertama adalah sehelai daun jati kering—benda yang beberapa waktu lalu muncul secara misterius sebagai balasan karomah yang menyatakan Mala adalah prioritas. Yang kedua adalah lipatan kertas putih yang sudah sangat lecek, sudut-sudutnya menunjukkan bahwa kertas itu sering dibuka dan ditutup kembali secara sembunyi-sembunyi.

"Apa ini, Mala?" Rina mengambil kertas itu terlebih dahulu.

Mala hanya diam, matanya menatap kosong ke arah langit-langit. "Itu surat untuk Ayah. Tapi tidak pernah Mala kirim. Memang tidak ada kantor pos yang bisa kirim ke laut, kan?"

Rina membuka lipatan kertas itu dengan tangan gemetar. Tulisan tangan Mala yang masih berantakan namun tegas terpampang di sana. Ia membacanya dengan cepat, dan setiap kata terasa seperti sayatan di hatinya sendiri.

Ayah, kenapa Ayah pergi lama sekali? Apa Ayah capek urus Arka yang terus-terusan teriak? Mala janji akan lebih diam kalau Ayah pulang. Mala tidak akan minta mainan lagi. Aku hanya ingin Ayah tahu kalau aku tidak sendirian, dan aku tidak ingin dianggap beban.

Napas Rina tertahan. Ia teringat kalimat yang baru saja ia saksikan di bayangannya saat Arka mendeteksi doa suaminya. Kalimat dalam surat ini persis menggemakan inti dari doa yang ditulis Bara menggunakan darah di pulau itu: Jangan biarkan Nirmala merasa sendirian...

"Kau merasa sendirian, Sayang?" tanya Rina, suaranya pecah.

"Setiap hari, Ma. Waktu Ibu urus Arka, waktu Ayah kerja di laut, Mala merasa kalau Mala hilang, mungkin tidak ada yang sadar sampai waktu makan malam tiba," Mala menjawab dengan kejujuran yang brutal. "Lalu sekarang, Ayah kirim suara-suara dingin ini. Mala makin takut. Mala pikir Ayah mau bawa Mala ke laut supaya Ibu tidak repot lagi."

"Astagfirullah, Mala! Jangan bicara begitu!" Rina memeluk Mala lebih erat, namun ia merasakan panas yang tidak wajar merambat dari tubuh putrinya.

Ini bukan sekadar demam biasa. Ini adalah reaksi fisik terhadap ketidaksiapan jiwa menerima Arus Takdir. Rina menatap kembali daun jati kering di tangan kirinya dan surat rahasia di tangan kanannya. Bukti spiritual dan luka emosional itu duduk bersama, namun kenyataannya, karomah berupa daun kering itu tidak cukup kuat untuk melindungi Mala dari kebisingan spiritual yang dilepaskan oleh pengorbanan suaminya.

Bara memberikan nyawanya dalam doa, namun di rumah ini, Mala sedang membayar harga emosional dari proses kepulangan tersebut. Rina menyadari bahwa takdir tidak akan pernah utuh jika salah satu sisinya masih hancur berantakan.

Pilihan di Tengah Frekuensi Rendah

Getaran di lantai semakin terasa. Kompas biru tua yang berada di ruang tamu seolah mengirimkan resonansi magnetik yang bisa dirasakan Rina hingga ke kamar ini. Jarum kompas itu tadi menunjuk ke arah kamar mandi tempat pasir asing ditemukan, namun kini Rina merasa arahnya berubah. Sinyal itu memanggilnya.

"Mala, dengarkan Ibu," Rina memegang pipi Mala yang panas. "Ayah tidak sedang menghukummu. Suara-suara itu... itu adalah cara Ayah bilang kalau dia sedang berusaha pulang untukmu. Tapi Ibu tahu, suaranya terlalu keras untukmu sekarang."

"Ma, suruh suaranya berhenti," Mala merintih, menutup telinganya. "Mala sakit."

Rina mengatupkan rahangnya. Ia tidak bisa lagi menjadi penonton pasif. Selama ini ia membiarkan Arka menjadi detektor spiritual dan Mala menjadi penerima luka. Ia menyadari bahwa ia adalah tiang rumah ini, jembatan yang harus menyeimbangkan antara kengerian takdir dan keselamatan anak-anaknya.

"Ibu akan buat suaranya berhenti," ucap Rina dengan nada yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya—sebuah nada penuh otoritas. "Ibu akan bicara pada mereka."

"Bicara pada siapa, Ma?" Mala menatap ibunya dengan bingung.

"Pada siapa pun yang membawa pasir itu ke rumah kita. Pada siapa pun yang membuat kompas itu berputar," Rina bangkit berdiri.

Ia mengambil daun jati kering milik Mala dan menyimpannya di saku daster. Ia juga membawa surat rahasia itu. Langkah kakinya kini mantap, tidak lagi diseret oleh rasa takut. Ia keluar dari kamar, melewati Arka yang masih duduk tenang di ruang tamu seolah sedang bermeditasi.

"Arka, jaga kakakmu," perintah Rina singkat.

Arka mendongak, matanya yang hitam jernih menatap Rina. "Ibu mau ketemu Kakek itu?"

"Ibu harus membuat Kak Mala tenang, Arka. Arus ini terlalu kuat untuknya," jawab Rina.

"Dia ada di sana, Ibu," Arka menunjuk ke arah sudut gelap dekat pintu belakang yang menuju ke arah kamar mandi. "Dia sedang menunggu titik terakhir."

Rina mengangguk. Ia berjalan menuju ruang tamu, mengambil kompas biru tua yang diletakkan di atas meja. Benar saja, jarum kompas itu kini bergetar hebat, menunjuk lurus ke arah koridor gelap di mana pasir putih tadi ditemukan. Rina menggenggam kompas itu di tangan kanan dan meraba daun jati di sakunya. Ia akan menggunakan keduanya sebagai navigasi spiritual. Ia tidak akan menunggu kabar dari Kapten Hadi atau tim penyelamat lagi. Sebelum dunia nyata menyelamatkan raga suaminya, ia harus menyelamatkan jiwa putrinya dari gempuran takdir yang tidak terkendali ini.

Langkah Rina bergema di sepanjang koridor menuju bagian belakang rumah, sebuah suara yang terdengar asing di tengah keheningan yang kini terasa seperti berdenyut. Setiap langkah yang ia ambil seolah-olah membelah kabut energi yang tidak kasat mata. Kompas biru tua di tangannya tidak lagi berputar; jarumnya terkunci mati, menunjuk ke arah gundukan pasir karang putih yang ia temukan sebelumnya. Rina merasakan hawa dingin yang luar biasa mulai merayap dari lantai keramik, seolah-olah di bawah fondasi rumahnya kini terdapat aliran air samudra yang membeku.

"Saya tahu Anda ada di sini," ucap Rina, suaranya terdengar tegas meski ia hanya bicara pada kekosongan.

Ia berhenti tepat di depan pintu kamar mandi yang setengah terbuka. Cahaya lampu dari ruang tengah hanya mampu menjangkau sebagian koridor, meninggalkan area di hadapannya dalam keremangan yang mencekam. Aroma getah cemara laut dan garam kembali menguat, memenuhi paru-parunya hingga ia merasa seolah-olah sedang berdiri di pinggir tebing pantai yang curam. Rina merogoh saku dasternya, mengeluarkan daun jati kering dan surat rahasia milik Nirmala.

"Anak saya kesakitan," lanjut Rina, kali ini dengan nada yang bergetar karena emosi. "Jika Anda benar-benar penjaga suami saya, jika Anda adalah alasan kenapa pasir ini ada di sini, maka saya mohon... redam suaranya. Arus yang Anda bawa terlalu besar untuk bahu kecilnya."

Hening. Gema frekuensi rendah itu tiba-tiba berhenti total, menciptakan kesunyian yang justru lebih menakutkan daripada kebisingan sebelumnya. Rina menahan napas. Tiba-tiba, permukaan pasir putih di sudut lantai itu bergerak. Butiran-butirannya bergeser perlahan, seolah-olah ada jari tak terlihat yang sedang menuliskan sesuatu di sana. Rina mendekat dengan senter di tangannya yang bergetar. Di atas gundukan pasir itu, terbentuk sebuah garis melengkung yang menyerupai simbol perlindungan.

"Mala merasa tidak dicintai," bisik Rina, air matanya jatuh tepat di atas gundukan pasir itu. "Bara menulis doanya dengan darah untuk memberitahu bahwa Mala adalah prioritas, tapi kenapa prosesnya harus sesakit ini bagi dia?"

Tiba-tiba, cahaya senter Rina meredup, lalu mati total. Dalam kegelapan yang absolut, Rina tidak berteriak. Ia justru merasakan sebuah kehangatan yang mendadak muncul di punggungnya. Itu bukan kehangatan selimut atau suhu ruangan; itu adalah rasa hangat yang menyerupai pelukan seseorang yang sangat besar dan tenang. Rasa hangat itu merambat ke dadanya, seolah-olah sedang menghisap keluar rasa takut dan paranoia yang sejak tadi menyiksanya.

Negosiasi di Ambang Dimensi

"Pulangkan dia sebagai manusia, bukan sebagai badai," pinta Rina ke arah kegelapan.

Sebuah suara kemudian terdengar. Bukan suara manusia yang keluar dari tenggorokan, melainkan sebuah getaran yang muncul langsung di dalam kepalanya. Suara itu berat, menyerupai gemuruh ombak di kejauhan. Penyembuhan membutuhkan harga. Luka yang kau simpan di bawah bantal tidak akan sembuh hanya dengan kata-kata.

Rina tertegun. Ia menyadari bahwa kehadiran gaib ini—sosok yang Arka sebut sebagai kakek tua pembawa tongkat—sedang menunjukkan bahwa distorsi yang dialami Mala bukanlah kesalahan takdir, melainkan proses pengeluaran racun emosional. Kebisingan spiritual itu adalah cara untuk memaksa Mala melepaskan beban yang selama ini ia sembunyikan.

"Tapi dia masih kecil. Dia tidak akan kuat," bantah Rina.

Lihatlah jarum itu, getar suara itu kembali terasa.

Rina menunduk. Meski dalam gelap, jarum kompas biru tua itu tampak memancarkan cahaya kebiruan yang sangat redup. Jarum itu perlahan-lahan mulai bergerak kembali, namun tidak lagi berputar liar. Ia berayun dengan lembut ke kiri dan ke kanan, mengikuti irama napas Rina yang kini mulai melambat.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Rina.

Jadilah jangkar bagi mereka. Arus ini tidak akan mereda sampai koordinat hati di rumah ini sejajar dengan koordinat di pulau.

Rina memahami isyarat itu. Ia tidak bisa hanya memohon keajaiban; ia harus bertindak secara nyata di dunia fisik untuk menyembuhkan Mala. Kehadiran spiritual ini hanya bertugas menjaga jalan, sementara tugas membangun jembatannya tetap ada pada dirinya. Cahaya senter Rina tiba-tiba menyala kembali secara otomatis. Di depannya, jejak pasir putih itu tampak mulai memudar, terserap ke dalam celah lantai seolah-olah tugasnya menyampaikan pesan fisik telah selesai.

Penyembuhan di Bawah Selimut

Rina bergegas kembali ke kamar Mala. Ia menemukan Arka masih duduk di samping kakaknya, memegangi jari-jari Mala dengan sangat lembut. Mala sudah tidak lagi merintih, namun wajahnya masih terlihat sangat pucat dan tubuhnya masih panas. Rina segera naik ke atas tempat tidur, menarik kedua anaknya ke dalam dekapan yang sangat erat.

"Mala, dengarkan Ibu," bisik Rina di telinga putrinya. "Ibu baru saja bicara pada penjaga Ayah."

Mala membuka matanya sedikit. "Penjaga Ayah? Kakek itu?"

"Iya. Dia bilang Ayah sangat mencintaimu sampai-sampai doanya mengguncang rumah ini. Suara bising itu bukan karena mereka benci padamu, Mala. Suara itu adalah teriakan cinta Ayah yang sedang mencoba menembus pintu hatimu yang terkunci."

Rina mengeluarkan surat rahasia Mala. Di hadapan putrinya, ia mencium kertas itu berkali-kali. "Ibu minta maaf. Ibu minta maaf karena membuatmu merasa menjadi beban. Ayah menulis doa untukmu dengan darahnya sendiri di pulau itu agar kau tahu bahwa kau bukan beban. Kau adalah alasan Ayah tetap bertahan hidup."

Mala menatap suratnya, lalu menatap ibunya. Isakan kecil kembali muncul, namun kali ini suaranya terdengar lebih ringan, tidak lagi penuh sesak. "Ayah... tulis pakai darah?"

"Iya, Sayang. Arka melihatnya, Ibu merasakannya. Dan sekarang, kau harus merasakannya juga," Rina meletakkan tangan Mala di atas kompas biru tua yang kini sudah kembali tenang menunjuk ke arah utara. "Rasakan getarannya. Itu detak jantung Ayah."

Mala memejamkan mata. Ia memegang kompas itu erat-erat di dadanya. Perlahan, keajaiban kecil terjadi. Panas di tubuh Mala mulai turun secara drastis, berganti dengan keringat dingin yang membasahi keningnya. Rasa sesak di dadanya seolah mencair, mengalir keluar bersama air mata yang kini terasa sejuk. Kebisingan spiritual yang tadi menyiksanya perlahan berubah menjadi senandung yang sangat samar—suara Bara yang sedang menyanyikan lagu pengantar tidur yang dulu sering ia dengar saat masih balita.

"Mala dengar, Bu," bisik Mala dengan senyum tipis yang pertama kali muncul sejak berbulan-bulan lalu. "Suaranya... suaranya seperti Ayah sedang mengusap rambut Mala."

Arka ikut tersenyum. Ia menunjuk ke arah jendela. "Kakek itu sudah pergi ke laut lagi. Dia bilang, jalannya sudah terbuka."

Rina menghela napas panjang, sebuah kelegaan yang luar biasa seolah-olah ia baru saja memenangkan pertempuran besar melawan maut. Ia menyandarkan kepalanya di kepala ranjang, memeluk kedua anaknya hingga mereka perlahan-lahan terlelap dalam ketenangan yang murni. Gema di dinding rumah benar-benar hilang, digantikan oleh suara detak jam dinding yang kini terdengar sangat bersahabat.

Namun, di tengah ketenangan itu, Rina tetap terjaga. Ia menatap kompas biru tua di pelukan Mala. Ia tahu bahwa meskipun badai spiritual malam ini telah berhasil diredam, ujian fisik yang sesungguhnya baru saja dimulai. Telepon dari dunia luar yang diramalkan Arka akan menjadi penentu apakah kepasrahan mereka membuahkan hasil yang utuh. Rina membelai rambut Mala, menyadari bahwa mulai malam ini, tidak akan ada lagi rahasia di balik bantal, karena takdir mereka telah terikat oleh tinta darah yang sama.

1
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 20 ok👍
Kartika Candrabuwana
bab 19 ok
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!