Baskara—menantu sampah dengan Sukma hancur—dibuang ke Jurang Larangan untuk mati. Namun darahnya membangunkan Sistem Naga Penelan, warisan terlarang yang membuatnya bisa menyerap kekuatan setiap musuh yang ia bunuh. Kini ia kembali sebagai predator yang menyamar menjadi domba, siap menagih hutang darah dan membuat seluruh kahyangan berlutut. Dari sampah terhina menjadi Dewa Perang—inilah perjalanan balas dendam yang akan mengguncang sembilan langit!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2: RENCANA PEMBUNUHAN
Malam itu, mata Baskara tak terpejam sedetik pun.
Ia berbaring di atas tikar lusuh di gudang belakang, menatap nanar celah-celah atap kayu yang membiarkan cahaya bulan menyusup masuk. Angin malam menusuk kulitnya yang hanya berbalut jubah tipis, namun tubuhnya tak bergeming. Tidak menggigil. Ia berbaring kaku bagaikan mayat, sementara pikirannya berputar dengan kecepatan yang mengerikan.
‘Besok malam, mereka akan membunuhku.’
Kalimat itu berulang-ulang di kepalanya bagaikan mantra kutukan. Anehnya, tak ada rasa takut yang menyertainya. Hanya kekosongan yang membeku. Dan sesuatu yang lain—sesuatu yang selama ini terkubur jauh di dasar jiwanya, kini mulai menggeliat bangun bagaikan naga purba yang terusik dari tidurnya.
Amarah.
Bukan, ini bukan sekadar amarah. Ini jauh lebih kelam. Lebih pekat. Ini adalah dendam kesumat yang telah mengkristal selama tiga tahun penuh penghinaan.
Namun, dendam tanpa kekuatan hanyalah lelucon. Baskara sangat menyadari kenyataan pahit itu.
Ia mengangkat tangan kanannya, menatap telapak tangannya di bawah sorot bulan temaram. Tangan itu kurus, lemah, penuh kapalan dan luka akibat kerja paksa. Tangan yang seharusnya bisa mengalirkan Prana, memanipulasi energi spiritual layaknya kultivator gagah perkasa.
Tapi, tidak ada apa-apa di sana. Hampa.
Sukma-nya—pusat energi vital dalam tubuh manusia—hancur lebur sejak lahir. Bagaikan wadah yang pecah, ia tak bisa menampung setetes pun energi langit dan bumi. Para tabib dan alkemis terhebat yang pernah didatangkan orang tuanya dulu memvonisnya tanpa harapan. Ia akan hidup dan mati sebagai sampah. Bahkan lebih buruk dari manusia biasa, karena tubuh yang rusak tak mampu menyerap nutrisi dengan benar.
‘Tapi jika aku mati besok malam,’ pikirnya, menurunkan tangannya perlahan, ‘maka tiga tahun ini... semua penderitaan ini... akan sia-sia. Larasati akan diserahkan pada Adipati brengsek itu sebagai barang dagangan. Dan tidak ada yang akan mengingat namaku, kecuali sebagai menantu sampah yang mati membusuk di hutan.’
Rahangnya mengeras hingga terdengar bunyi gemeretak gigi.
‘Tidak. Itu tidak boleh terjadi.’
Tapi apa dayanya? Kabur? Ke mana? Ia tak punya uang sepeser pun. Tak punya sekutu. Dan yang terpenting—ia tak sanggup meninggalkan Larasati.
Jika ia lari seperti pengecut, Keluarga Cakrawala akan melampiaskan amarah mereka pada Larasati. Mungkin menyiksanya. Mungkin mengurungnya di penjara bawah tanah.
‘Jika aku mati, siapa yang akan melindunginya?’
Pertanyaan itu menekan dadanya lebih sakit daripada tulang rusuknya yang retak.
Tiba-tiba, suara langkah kaki pelan di luar gudang membuyarkan lamunannya. Seseorang mendekat dengan hati-hati.
Baskara menajamkan pendengaran, matanya terkunci pada pintu kayu lapuk. Tangannya meraba lantai, mencari senjata—tapi nihil. Hanya ada debu dan jerami.
Keriuuuk...
Pintu berderit pelan. Cahaya lentera menyelinap masuk, diikuti sosok bungkuk yang familiar.
Ki Gareng.
Pelayan tua itu buru-buru menutup pintu, lalu bersimpuh di samping Baskara dengan wajah pucat pasi. Usianya hampir tujuh puluh tahun, rambut memutih dan wajah penuh kerutan. Dialah satu-satunya pelayan di kediaman neraka ini yang masih menganggap Baskara sebagai manusia.
"Tuan Muda," bisiknya gemetar, napasnya tersengal. "Saya... saya mendengar sesuatu yang mengerikan."
Baskara bangkit perlahan, menahan nyeri di rusuknya. Wajahnya tenang, terlalu tenang.
"Aku tahu, Ki Gareng," jawabnya datar. "Aku sudah mendengarnya. Rencana Wibawa dan anjing-anjingnya."
Ki Gareng terperanjat. "Tuan sudah tahu? Kalau begitu... demi Dewa, Tuan harus lari sekarang juga! Sebelum terlambat!"
"Lari ke mana?" Baskara menatap pelayan tua itu dengan sorot mata yang dalam. "Aku tak punya tujuan. Gerbang dijaga ketat oleh para pengawal."
"Saya... saya tahu jalan tikus lewat saluran pembuangan! Saya bisa menyelundupkan Tuan keluar—"
"Dan Larasati?" potong Baskara tajam. "Apa yang akan mereka lakukan padanya jika suaminya kabur?"
Ki Gareng terdiam seribu bahasa. Wajah tuanya menyiratkan kepedihan. Mereka berdua tahu jawabannya.
Keluarga Cakrawala tidak akan segan-segan menghancurkan Larasati. Mungkin mempercepat pernikahannya, atau lebih buruk lagi, menjadikannya pelayan rendahan sebagai hukuman.
"Tapi Tuan Muda," Ki Gareng mencengkeram lengan Baskara dengan tangan keriputnya, air mata mulai menggenang. "Jika Tuan mati, siapa yang akan melindungi Nona Larasati kelak? Setidaknya jika Tuan masih bernapas, masih ada harapan..."
"Harapan?" Baskara tertawa getir, suara yang terdengar asing di telinganya sendiri. "Harapan untuk apa? Aku cacat. Aku sampah. Bahkan jika aku lolos dan hidup menggelandang, aku tetaplah pecundang yang tak berguna."
"Tuan Muda, jangan bicara begitu—"
"Itu fakta, Ki." Baskara menatap tangannya lagi. "Aku sudah menerimanya."
Keheningan mencekam menyelimuti gudang itu. Hanya suara jangkrik dan desau angin malam yang terdengar.
Lalu Baskara kembali bersuara. Kali ini, nadanya berubah. Lebih rendah. Lebih dingin. Seperti seseorang yang baru saja meletakkan nyawanya di meja judi.
"Ki Gareng, aku tidak akan kabur."
Mata Ki Gareng membelalak ngeri. "Ta-tapi Tuan—!"
"Aku akan mengikuti permainan mereka."
"APA?!" Ki Gareng nyaris berteriak, namun buru-buru membekap mulutnya sendiri. Ia berbisik panik, "Tuan sudah gila?! Itu sama saja bunuh diri!"
"Bukan," bantah Baskara. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ada kilatan berbahaya di mata hitamnya. Kilatan ambisi yang mematikan. "Itu adalah satu-satunya jalan."
"Jalan apa?!"
"Jalan untuk berubah." Baskara mengepalkan tangannya hingga kuku menancap ke daging. "Jurang Larangan. Tempat di mana tak ada yang pernah kembali. Tempat yang ditakuti bahkan oleh kultivator Ranah Inti Emas. Ada alasan kenapa tempat itu disebut 'Terlarang', kan?"
Ki Gareng mengangguk kaku, bingung. "Konon... konon di dasar jurang itu ada sisa-sisa medan energi kuno dari zaman peperangan dewa. Siapa pun yang jatuh ke sana akan mati, atau... mengalami nasib yang lebih buruk dari kematian."
"Lebih buruk dari kematian," ulang Baskara, seulas senyum tipis—senyum iblis—terukir di bibirnya. "Mungkin justru itu yang kubutuhkan. Sesuatu yang melampaui kematian."
"Tuan, ucapan Tuan tidak masuk akal—"
"Dengar, Ki," Baskara menatap tajam manik mata pelayan tua itu. "Aku akan jatuh ke jurang itu. Dan ada dua kemungkinan: aku mati dan penderitaan ini berakhir, atau... aku menemukan sesuatu di bawah sana. Sesuatu yang bisa membalikkan langit dan bumi."
Ia menunduk menatap tubuhnya yang kurus dengan jijik. "Karena jika aku tetap seperti ini... aku tak akan pernah pantas mendampingi Larasati. Aku tak akan pernah bisa membalas dendam."
"Tapi Tuan, kemungkinannya nol besar—"
"Tidak ada peluang di atas sini," potong Baskara tegas. "Di sini aku pasti mati perlahan oleh penghinaan. Tapi di jurang itu... setidaknya ada satu dari sejuta kemungkinan. Aku akan bertaruh pada kemungkinan itu."
Ki Gareng terdiam lama, menatap tuan mudanya dengan campur aduk. Rasa takut, sedih, namun juga... kekaguman. Pemuda di hadapannya ini bukan lagi pemuda yang pasrah dipukuli setiap pagi.
"Tuan Muda benar-benar sudah berubah," lirihnya. "Mata Tuan... tidak lagi kosong."
Baskara tidak menjawab. Tiga tahun disiksa tidak membunuhnya, melainkan menempa jiwanya menjadi baja dingin.
"Ki Gareng, aku punya satu permintaan terakhir."
"Apa pun, Tuan."
"Jaga Larasati. Setelah aku... 'pergi'. Lindungi dia sebisa mungkin. Jangan biarkan mereka menghancurkan mentalnya."
Air mata menetes di pipi keriput Ki Gareng. "Saya... saya bersumpah, Tuan. Meski nyawa taruhannya."
"Terima kasih, Ki. Kau satu-satunya orang baik di neraka ini."
Ki Gareng menyeka matanya kasar, lalu bangkit dengan susah payah. "Saya harus pergi sebelum dicurigai. Tapi Tuan..." suaranya tercekat, "jika... jika keajaiban itu ada dan Tuan kembali... hamba akan menunggu."
Setelah sosok tua itu menghilang di balik pintu, Baskara kembali sendirian dalam kegelapan.
‘Besok malam, mereka akan datang. Wibawa dan para algojonya. Mereka akan menyeretku ke hutan dan melempar tubuhku seperti sampah.’
Bagus. Biarkan mereka berpikir mereka menang. Biarkan mereka berpesta di atas kuburanku.
‘Aku akan bertahan hidup,’ sumpah Baskara dalam hati, matanya menyala dalam gelap. ‘Entah bagaimana caranya, aku akan merangkak naik dari neraka itu. Dan saat aku kembali...’
Tangannya mengepal hingga gemetar hebat.
‘...seluruh Keluarga Cakrawala akan membayar dengan darah.’
Siang hari berikutnya terasa berjalan dalam gerak lambat yang menyiksa.
Baskara melakukan rutinitasnya—mengangkut air, menyapu halaman luas, membersihkan kotoran kuda—dengan ketenangan yang tidak wajar. Tidak ada lagi bahu yang membungkuk takut. Gerakannya efisien dan terkontrol.
Wibawa mengamatinya dari beranda lantai dua sayap utama, segelas anggur di tangan. Matanya menyipit curiga.
"Dia terlalu tenang," gumamnya pada pengawal pribadinya, Darko, seorang kultivator Ranah Penempaan Tubuh Bintang 8 yang berotot kawat. "Biasanya dia terlihat seperti tikus ketakutan."
"Mungkin dia sudah pasrah, Tuan Muda," sahut Darko remeh. "Atau mungkin dia terlalu bodoh untuk menyadari ajalnya sudah dekat."
"Tidak," Wibawa menggeleng. "Ki Gareng si tua bangka itu pasti sudah membocorkannya. Tapi kenapa dia tidak lari?"
"Mungkin karena dia tahu tak ada gunanya lari?"
"Benar," seringai jahat merekah di wajah Wibawa. "Dia sampah. Lemah. Miskin. Dan yang terpenting..." ia melirik ke arah jendela kamar Larasati, "...dia terikat pada istrinya yang cantik itu."
Darko ikut tertawa kecil. "Cinta yang bodoh."
"Malam ini, kita selesaikan hama ini. Bawa enam orang, termasuk kau. Pastikan tidak ada kesalahan."
"Enam orang untuk satu sampah tanpa kultivasi? Tuan Muda terlalu berhati-hati."
Wibawa menatap Darko dingin. "Orang yang tak punya apa-apa untuk dipertaruhkan adalah musuh yang paling berbahaya. Lagipula," ia kembali menatap punggung Baskara, "aku ingin memastikan dia benar-benar mati. Dan tidak ada yang lebih mematikan dari Jurang Larangan."
Saat matahari mulai tergelincir ke barat, mewarnai langit dengan semburat merah darah, Baskara berjalan menuju gudang belakang.
Namun, langkahnya terhenti. Ia menoleh ke arah Sayap Timur.
Di sana, di lantai dua, ada jendela kamar Larasati. Tirai merah marun biasanya tertutup rapat.
‘Apa dia tahu?’ batin Baskara. ‘Apa dia merasakannya?’
Seolah menjawab batinnya, tirai itu tersibak sedikit.
Di balik kaca jendela, wajah pucat Larasati terlihat samar. Matanya bengkak, sisa air mata terlihat jelas di pipinya. Ia menatap lurus ke arah Baskara.
Tatapan mereka terkunci. Dua jiwa yang tersiksa, dipisahkan oleh takdir dan kekejaman keluarga.
Detik terasa membeku.
Perlahan, Baskara mengangkat tangannya. Bukan lambaian perpisahan. Ia mengepalkan tangannya di depan dada, lalu menempelkannya ke jantungnya sendiri.
Sebuah janji bisu: ‘Aku akan kembali untukmu.’
Larasati membekap mulutnya, bahunya berguncang hebat menahan tangis. Ia mengangguk kecil—sangat kecil—sebelum tirai itu ditarik kasar dari dalam. Nyonya Ratih pasti memergokinya.
Baskara menurunkan tangannya. Dadanya sesak, namun tekadnya semakin membaja. Ia melangkah masuk ke gudang, menutup pintu, dan menunggu dalam kegelapan.
Malam ini, takdir akan diputar.
Tengah malam tiba membawa keheningan yang mencekam.
Baskara duduk bersila membelakangi pintu, napasnya teratur. Ia tidak tidur. Ia bermeditasi—bukan mengumpulkan Prana, tapi mengumpulkan tekad.
Ia mendengarnya. Langkah kaki berat yang mematahkan ranting kering. Banyak orang.
BRAK!
Pintu gudang ditendang hingga engselnya lepas.
Cahaya obor menyerbu masuk, menyilaukan mata. Enam sosok kekar memenuhi ambang pintu. Di tengah-tengah mereka, Wibawa berdiri dengan senyum kemenangan yang menjijikkan.
"Selamat malam, Kakak Ipar," sapanya dengan nada mengejek yang kental. "Maaf mengganggu tidur nyenyakmu di istana ini."
Baskara tidak menoleh. Punggungnya tetap tegak.
"Tidak melawan?" Wibawa tertawa renyah. "Pintar. Itu akan menghemat tenaga kami."
Darko dan satu pengawal lain maju, mencengkeram lengan Baskara kasar dan menyeretnya berdiri. Baskara membiarkan tubuhnya diseret keluar, melewati halaman belakang yang sunyi, menuju pintu gerbang kecil yang mengarah langsung ke hutan belantara.
Rombongan itu bergerak cepat membelah hutan. Semakin jauh mereka melangkah, udara semakin dingin menusuk tulang. Pepohonan di sini tumbuh bengkok dan hitam, seolah-olah alam sendiri menolak kehadiran kehidupan di tempat ini.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di tujuan.
Jurang Larangan.
Bahkan di bawah sinar bulan yang redup, jurang itu tampak mengerikan. Sebuah luka menganga di permukaan bumi yang lebarnya puluhan meter. Kegelapan di bawah sana begitu pekat, seolah menyerap segala cahaya. Kabut hitam tipis merayap naik dari kedalamannya, membawa aura kematian.
Darko melempar Baskara hingga jatuh berlutut tepat di bibir jurang. Kerikil jatuh ke bawah, tak terdengar bunyi benturannya. Itu menandakan betapa dalamnya lubang neraka ini.
Wibawa maju selangkah, mengangkat obornya tinggi-tinggi. Cahaya api menari-nari di wajahnya, menciptakan bayangan iblis.
"Kau tahu, Baskara," ucapnya pelan namun penuh bisa, "aku selalu jijik melihatmu. Sejak hari pertama kau menginjakkan kaki di kediaman kami. Kau pikir kau pantas? Kau pikir sampah sepertimu pantas menyentuh Larasati? Dia itu bidadari. Dan kau? Kau hanya kotoran yang menempel di sepatunya."
Baskara mengangkat wajahnya perlahan. Matanya yang hitam legam menatap langsung ke manik mata Wibawa. Tidak ada rasa takut. Yang ada hanya ketenangan samudera sebelum badai.
"Aku tahu kau membenciku," jawab Baskara, suaranya stabil. "Aku selalu tahu."
Wibawa mendengus, terganggu dengan ketenangan korbannya. "Oh? Dan apa yang bisa kau lakukan? Kau lemah. Menyedihkan. Dan malam ini, kau akan lenyap tanpa jejak."
"Mungkin," kata Baskara. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis yang membuat bulu kuduk Wibawa meremang. "Atau mungkin tidak."
"Apa maksudmu?"
"Wibawa," suara Baskara berubah tajam, "dengarkan baik-baik. Jika aku masih bernapas setelah malam ini... jika neraka menolakku dan memuntahkanku kembali..."
Tatapan Baskara seolah menembus jiwa Wibawa, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar.
"...aku akan kembali. Dan saat hari itu tiba, aku akan menagih semua hutang ini. Darah dibayar darah. Nyawa dibayar nyawa."
Hening.
Para pengawal tertawa terbahak-bahak, menganggap itu igauan orang sekarat. Tapi Wibawa tidak tertawa. Jantungnya berdegup kencang karena alasan yang tak bisa ia jelaskan. Rasa takut purba merayapi punggungnya.
"Kau gila," desis Wibawa. "Tak ada yang selamat dari Jurang Larangan."
"Kalau begitu kau tak perlu takut, kan?" tantang Baskara. "Lempar aku. Dan berdoalah aku mati."
Wibawa menggertakkan gigi, mengusir rasa takutnya. Ini cuma sampah. Sampah tidak bisa menyakiti langit.
"Baik," geramnya. "Sesuai permintaanmu. Darko, buang dia!"
Darko dan seorang pengawal lain menarik Baskara berdiri, mendorongnya ke tepi jurang yang rapuh.
Baskara tidak meronta. Ia merentangkan tangannya, menyambut angin kematian yang berhembus dari bawah. Matanya terpejam, pasrah namun penuh antisipasi.
"Selamat tinggal, Menantu Sampah!" teriak Wibawa.
Satu dorongan keras di punggung.
Tubuh Baskara melayang.
Ia jatuh ke dalam kegelapan abadi.
WUUUSHHH!
Angin menderu di telinganya bagaikan jeritan hantu. Cahaya obor di atas sana mengecil dengan cepat, lalu lenyap ditelan kelam.
Baskara jatuh. Terus jatuh. Menuju perut bumi.
Menuju takdir yang akan mengguncang semesta.
[BERSAMBUNG KE BAB 3]
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
oya untuk tingat ranah bisa kamu jelasin lebih detail thor di komen agak bingung soalnya hehe