Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Janji di Atas Kertas
Dua hari kemudian, suasana tenang di rumah Hana terpecah saat Wawa datang bertamu di siang hari. Wajah Wawa tidak seceria kunjungan sebelumnya; ada keraguan dan beban pikiran yang terlihat jelas di raut wajahnya. Dia duduk di ruang tamu bersama Hana dan Maya.
Setelah bertukar sapa sebentar, Wawa menarik napas dalam-dalam. Terlihat jelas ada berita berat yang harus ia sampaikan.
"May," panggil Wawa lembut, "ada kabar terbaru soal proses pernikahanmu. Maaf, rasanya berat sekali menyampaikannya."
Maya merasakan firasat tidak enak, jantungnya mulai berdebar.
Wawa akhirnya menyampaikan berita itu, dengan nada penuh kehati-hatian. "Calon suamimu meminta agar kalian menikah siri terlebih dahulu."
Maya terdiam. Kata 'siri' itu terasa menohok, bertentangan dengan keyakinannya yang baru saja dikuatkan Wawa perihal nikah resmi negara.
Wawa melanjutkan penjelasannya, "Karena waktu yang terbatas untuk mengurus sidang poligami, juga jarak kita yang terbentang jauh, dia janji akan mengurus soal nikah resmi poligami nanti, saat kalian sudah sampai di kota tempat tinggalnya."
Mendengar hal tersebut, Maya hanya diam saja. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Pikirannya kalut, kekhawatiran akan ketidakpastian dan ketiadaan perlindungan hukum kembali menghantuinya.
Wawa mengerti kegelisahan Maya. Dia tahu persis apa yang dirasakan Maya.
"Kamu nggak perlu khawatir, May, saya sudah meminta syarat terhadap mereka," lanjut Wawa cepat, berusaha menenangkan Maya. "Saya meminta Umma Fatimah membuat surat pernyataan resmi dibubuhi materai dan tanda tangannya. Surat itu menuliskan bahwa dirinya mengizinkan suaminya untuk menikah lagi, tanpa paksaan dari siapa pun."
Wawa berbicara dengan keyakinan penuh. "Saya sudah memikirkan semuanya, May, memikirkan untuk ke depannya. Hati manusia suka berubah-ubah, hari ini dia ridho, besok belum tentu. Hari ini dia ikhlas, siapa yang tahu ketika sudah menjalani justru ikhlas nya terkikis karena rasa cemburunya."
Maya menatap Wawa, terharu dengan kejelian Wawa memikirkan perlindungannya.
"Kamu tenang saja, Umma Fatimah dan suaminya sudah menyetujui syarat yang saya ajukan. Pokoknya kalau mereka ingkar janji, kamu bisa cerita ke saya, biar saya yang menagih janji mereka. Dalam hal ini, saya pun ikut bertanggung jawab, May," tutup Wawa, penuh empati.
Wawa kemudian beralih ke masalah lain yang tak kalah penting.
"Oh iya, dan soal wali nikah, Abi saya bilang, mungkin kamu bisa telepon Papah kamu dan meminta izin agar haknya sebagai wali nikah kamu bisa diwakilkan ke orang lain, atau langsung ke wali hakim."
Masalah nikah siri dan wali nikah kini menjadi tantangan baru yang harus dihadapi Maya. Jalan menuju status "Perempuan Kedua" yang ia pilih ternyata tidak semulus bayangannya.
Wawa menghela napas lega setelah menjelaskan semua rencananya, merasa bebannya sedikit terangkat karena Maya tampak tenang menghadapinya. Dia kemudian menanyakan hal lain yang tak kalah penting.
Wawa: "Oh iya, May. Umma Fatimah bertanya padaku, kamu ingin mahar apa? Biar mereka siapkan."
Maya diam sesaat, memikirkan permintaannya. Dia tidak ingin memberatkan, tapi dia punya keinginan tulus terkait status barunya sebagai seorang istri.
Maya: "Aku... aku hanya meminta mahar berupa pakaian syar'i lengkap dengan cadarnya, Kak Wawa."
Permintaan itu membuat Wawa dan Hana terkejut sesaat, lalu tersenyum penuh makna.
Maya: "Setelah menikah, aku ingin menutup auratku secara keseluruhan."
Wawa dan Hana saling berpandangan, lalu memuji Maya karena kesederhanaannya. "MasyaaAllah, Maya, kamu mulia sekali," puji Hana tulus.
Mereka tahu calon suami Maya adalah orang yang mampu, tapi Maya sama sekali tidak mengambil kesempatan untuk mengambil keuntungan materi. Fokusnya tetap pada niat awal: mendalami agama dan menjalankan kewajibannya sebagai mualaf yang taat.
Wawa: "Baik, baik, May. Nanti saya sampaikan ke Umma Fatimah. InsyaaAllah mereka akan menyiapkannya."
Tepat saat akan berpamitan pulang, Wawa teringat satu hal. Dia menepuk dahinya pelan.
Wawa: "Ya ampun, saya lupa! Saya sudah terima fotonya dari Umma Fatimah kemarin, tapi belum saya kirimkan ke kamu."
Wawa mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan foto calon suami Maya tepat di depan Maya. Notifikasi pesan masuk di ponsel Maya.
Wawa: "Nah, itu dia orangnya. Silakan dilihat, ya. Saya pamit dulu."
Setelah itu, Wawa benar-benar berpamitan pulang, meninggalkan Maya dan Hana dalam keheningan yang penuh rasa penasaran. Jantung Maya berdebar kencang saat menatap layar ponselnya. Wajah dari pria yang akan menjadi suaminya, Riski, kini ada di dalam genggamannya.
Maya belum sempat melihat foto itu baik-baik di ponselnya sendiri. Tepat setelah Wawa pergi, Hana yang sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya, langsung merebut ponsel dari tangan Maya.
"Sini, coba saya lihat!" seru Hana antusias. "Penasaran calon suamimu seperti apa."
Maya hanya diam saja, hatinya berdebar kencang, tapi bukan debaran karena jatuh cinta, melainkan campuran antara rasa ingin tahu dan kegugupan akan penilaian Hana.
Hana mengamati foto itu dengan saksama. Wajahnya menunjukkan ekspresi netral pada awalnya, lalu sedikit berubah serius.
"Boleh lah," komentar Hana akhirnya. "Tapi, dilihat dari wajahnya, sepertinya dia emosional orangnya, May."
Maya sedikit tersentak mendengar penilaian jujur Hana.
"Daripada calon suami kamu, saya lebih penasaran wajah Umma Fatimah," lanjut Hana, mencoba mencairkan suasana. "Katanya beliau bercadar juga."
Hana kembali menatap foto Riski dan kemudian melirik Maya. "Cocok lah sama kamu yang penyabar. Ibarat api dan air, kalau dia api, kamu jadi airnya."
Maya hanya diam saja, dia tidak tahu harus berkata apa. Penilaian Hana tentang calon suaminya yang emosional itu sedikit mengganggu pikirannya, menambah satu lagi kekhawatiran di tengah proses rumit yang sedang ia jalani. Dia hanya bisa berharap penilaian itu salah, dan dia benar-benar bisa menjadi air penyejuk dalam rumah tangga barunya nanti.
Setelah puas melihat foto Riski dan menilainya berdasarkan apa yang ia ketahui, Hana beranjak dari duduknya, pamit sebentar untuk mengambil minum ke dapur, meninggalkan Maya seorang diri di ruang tamu yang terang benderang oleh cahaya matahari siang.
Maya masih termangu memikirkan setiap kata yang baru saja keluar dari mulut Hana. Penilaian "emosional" itu menancap di benaknya, sebuah label yang diberikan hanya berdasarkan selembar foto. Benarkah pria bernama Riski itu pemarah? Ataukah itu hanya prasangka Hana, yang mungkin sedang sensitif karena masalah rumah tangganya sendiri? Keraguan kembali merayap, menusuk rasa lega yang sempat ia rasakan.
Dia menatap ponselnya sekali lagi, foto Riski masih terpampang di layar. Wajahnya keras, rahangnya tegas, tatapannya lurus ke depan. Bukan wajah seorang pemarah, pikir Maya membela diri, mungkin hanya wajah orang yang serius. Tapi deskripsi "api" dari Hana terus terngiang, berbenturan dengan peran "air" yang diharapkan darinya. Apakah ia sanggup menjadi air yang memadamkan api seumur hidupnya?
Ruang tamu itu terasa panas oleh terik matahari siang, tapi tubuh Maya terasa dingin. Keheningan siang mulai dipenuhi oleh bisikan keraguan yang terasa nyata. Pikirannya melayang kembali ke masa lalu, pada wajah Madhan yang lembut, lalu beralih pada wajah tegang Kak Dion yang penuh amarah saat memutuskan hubungan dengannya. Kini, ia akan menikahi pria asing yang berpotensi memiliki sifat seperti Dion.
Maya memijat pelipisnya. Air mata yang selama ini ia tahan sejak perpisahan di bandara, sejak keputusan besar ini diambil, kini mulai mendesak keluar. Ia sendirian. Meskipun Hana baik, Wawa peduli, dan ada janji dukungan, pada akhirnya, yang akan menjalani semua ini adalah dirinya sendiri. Yang akan tidur di samping Riski adalah dirinya, yang akan menghadapi Umma Fatimah adalah dirinya.
Bersambung...