Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.
Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.
Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Sebelas
Malam semakin larut ketika Samudera dan Kirana meninggalkan bibir pantai. Angin yang tadi terasa seperti tamparan dingin kini menjadi hembusan lembut yang membawa sisa-sisa perasaan lega. Kirana baru saja melepaskan kebaya sobek itu ke laut. Bekas luka, bekas mimpi, bekas hidup yang ia kira akan ia jalani bersama seseorang yang tidak lagi menginginkannya.
Di atas motor, Kirana diam. Samudera tidak bertanya apa-apa. Ia hanya memastikan kecepatan motornya stabil, tidak terlalu cepat, seolah tahu Kirana sedang rapuh dan hembusan angin pun tidak boleh terlalu keras menyentuhnya.
Setelah hampir tiga puluh menit perjalanan, motor berhenti di depan kafe kecil bernama “Selasih”.
“Kita masuk,” ajak Sam singkat.
Kirana menatap papan nama kafe itu, lalu mengangguk. Ia mengikuti langkah Samudera masuk ke dalam. Aroma kopi langsung menyelimuti hidungnya, membuat dada yang sesak tadi terasa sedikit lebih nyaman.
“Duduk di sana,” ucap Sam sambil menunjuk sofa dekat jendela.
Kirana duduk pelan. Ia melepaskan napas panjang, mencoba menarik diri dari emosi seperti di pantai tadi.
“Minum apa?” tanya Sam.
“Latte aja.”
“Croissant?”
Kirana mengangguk. “Almond.”
Sam pergi ke kasir. Kirana memandangi punggungnya dari meja. Ada sesuatu dari Samudera , tapi entah apa, yang membuat ia merasa bisa duduk diam tanpa harus menjelaskan semua rasa sakitnya. Bukan karena Samudera dekat dengannya. Bukan. Mereka bahkan bukan teman lama. Hubungan mereka hanya lahir dari satu hari buruk, hari ketika Samudera menabraknya.
Dan perjanjian itu, perjanjian konyol tapi nyata itu.
Kirana menyandarkan tubuhnya. Dulu, ia tidak berpikir jauh. Ia hanya panik, marah, terjebak antara pernikahan yang batal dan hidup yang runtuh, lalu entah bagaimana ide itu muncul—menikah dengan orang yang menabraknya. Orang yang sedang sial karena kelalaiannya.
Perjanjian menikah enam bulan. Tanpa kontak fisik. Tanpa ikatan batin. Tanpa tuntutan. Tanpa cinta. Perjanjian yang ia buat dengan kepala panas.
Sebentar kemudian, Sam kembali dengan dua cangkir latte dan dua piring croissant. Ia duduk, menyodorkan piring ke Kirana.
“Makan dulu, Mbak.”
Kirana mengambil croissant itu, menggigit sedikit. Rasanya manis gurih, tapi ada rasa getir di lidahnya. Entah karena almond, entah karena pikirannya.
Mereka makan dalam diam beberapa menit. Barulah setelah separuh croissant habis, Kirana membuka suara.
“Sam ....”
“Hm?” Sam meminum lattenya.
“Aku mau ngomong sesuatu. Penting.”
Sam menurunkan gelas. Matanya fokus. “Oke.”
Kirana menarik napas panjang. “Pernikahan itu … seminggu lagi.”
Sam tidak bereaksi. “Iya. Aku tau.”
“Besok aku sudah mulai cuti dari kampus.”
“Iya.”
Kirana menggigit bibir. “Sam … dengerin aku baik-baik. Aku serius.”
Sam mengangkat dagu sedikit, tanda ia benar-benar siap mendengar.
Kirana mengumpulkan keberanian. “Kita … nggak usah nikah.”
Samudera menatapnya tanpa ekspresi. Tidak kaget. Tidak bingung. Hanya diam, seperti sedang menunggu alasan.
Kirana melanjutkan, “Perjanjian itu dibuat di situasi yang nggak jelas. Aku waktu itu lagi kacau. Irfan meninggalkan aku. Semua persiapan nikah dibatalkan. Aku marah sama diriku sendiri. Sama hidupku. Sama keadaan.”
Ia menelan ludah, tangannya menggenggam gelas erat.
“Terus kamu nabrak aku. Terus aku marah makin jadi. Dan aku dengan bodohnya ngajak kamu nikah. Buat nutupin kegagalan aku. Hanya untuk membuktikan aku bisa menikah, walau tanpa pria itu." Ia mengusap matanya pelan. "Tapi semua itu, alasan yang salah.”
Sam masih diam. Menunggu tanpa menyela.
“Aku nggak mau kamu menikah karena sebuah perjanjian. Apalagi perjanjian yang aku buat di tengah emosi. Kita nggak punya hubungan apa-apa, Sam. Kita nggak kenal dekat. Kita bahkan bukan teman lama. Kamu cuma orang yang kebetulan lewat di hari aku paling kacau.”
Kirana menahan suara yang mulai bergetar. “Kalau kamu nggak mau lanjut dan merasa ini terlalu berat, kalau kamu pikir aku cuma bikin hidup kamu ribet,kita batalkan aja perjanjian itu sekarang."
Sam akhirnya membuka suara. “Kamu dah selesai bicaranya?”
Kirana mengangguk pelan. Pemuda itu tampak menarik napas sebelum bicara. Samudera duduk tegak, menatap Kirana tanpa berkedip.
“Mbak Kirana. Kamu dari tadi ngomong seolah aku ini korban perjanjian itu.”
Kirana tertegun. “Memang benar'kan?”
Samudera mendengus pendek. “Nggak. Aku bukan korban. Aku yang tanda tangan. Aku yang bilang iya.”
“Tapi kamu ....”
“Jika aku berkata ya, akan ya selamanya. Tak akan pernah berubah. Aku bukan orang yang plin-plan!" Ia meletakkan gelasnya perlahan.
Kirana menelan ludah, suaranya pelan. “Tapi kalau kamu merasa berat ....”
“Siapa yang bilang aku keberatan, Mbak?”
“Sam, ini pernikahan. Ini hidup. Ini keluarga. Ini ....”
“Mbak Kirana.” Samudera menyandar, suaranya lebih rendah. “Kalau aku nggak mau, aku tinggal bilang ‘nggak’. Gampang.”
“Tapi kamu nggak bilang.”
“Karena aku udah pilih.”
Kirana mengusap pipi. Air matanya jatuh lagi, tapi bukan tangis pecah seperti di pantai. Lebih seperti kesadaran besar yang menyentuh hati pelan-pelan.
“Aku cuma takut bikin hidup kamu hancur,” ucap Kirana..
Sam menatapnya lama. “Hidup aku udah berantakan duluan sebelum kamu muncul.”
Kirana terdiam. Dia tak tahu berantakan bagaimana yang Samudera maksud.
“Jadi nggak usah takut bikin hidupku berantakan. Kita cuma memperbaiki apa yang bisa kita perbaiki bareng. Tapi tanpa drama.”
Kirana menunduk, air matanya menetes jatuh ke pangkuan.
Sam menambahkan, “Dan soal Minggu depan .…”
Kirana mengangkat wajah.
“Aku nggak mundur.”
“Sam ….”
“Aku akan menikah sama kamu. Sesuai perjanjian. Enam bulan. Tanpa kontak fisik. Tanpa paksaan. Tanpa embel-embel lain.”
Ia mengangkat alis. “Dan aku akan jalanin itu sampai selesai.”
Kirana menahan napas. Tak tahu harus berkata apa.
“Kalo nanti kamu mau cerai, kita cerai. Kalo kamu mau pergi dari kota ini, kamu pergi. Kalo kamu mau mulai hidup baru, silakan. Aku nggak akan menghalangi, Mbak.”
Ia mengambil gelasnya lagi, meneguk untuk terakhir. “Tapi sampai enam bulan itu, aku akan ada untukmu. Karena aku sudah setuju.”
Kirana memejamkan mata. Tangisnya mereda, tapi dadanya terasa hangat dan berat sekaligus.
“Kenapa kamu tetep mau melanjutkan pernikahan ini?" tanya Kirana mengulang pertanyaan untuk meyakinkan jawaban.
Sam mengangkat bahu. “Karena aku bukan orang yang kabur dari keputusan sendiri.”
Kirana menatapnya lama. Sangat lama. Tidak ada kata cinta. Tidak ada janji manis. Tidak ada romantis. Tidak ada baper.
Hanya dua orang yang sama-sama lelah dan sama-sama memilih bertahan dalam perjanjian aneh yang awalnya lahir dari kekacauan.
Samudera menghembuskan napas. “Atau kamu yang ingin mundur?”
Kirana menggeleng pelan. “Nggak.”
“Bagus.” Samudera bangkit sambil mengambil jaketnya. “Karena aku juga nggak akan mundur..”
Kirana menatapnya dengan mata yang masih merah. “Terus minggu depan?”
Samudera menyunggingkan senyum tipis bukan senyum manis, tapi lebih seperti seseorang yang menerima kenyataan penuh kesadaran.
“Minggu depan kita menikah.”
“Tanpa drama?”
“Tanpa drama,” ulang Samudera.
“Tanpa cinta-cintaan?” tanya Kirana.
Sam mendecak. “Astaga Mbak Kirana, itu paling terakhir di list.”
Kirana mendengus kecil. Samudera meraih helm dan mengulurkan ke arah Kirana.
“Pulang yuk. Besok kamu cuti. Banyak yang mesti disiapin.”
Kirana mengambil helm itu dan memakainya perlahan. Ketika mereka melangkah keluar dari kafe, malam terasa sedikit berbeda. Tidak lebih cerah, tidak lebih bahagia, tapi lebih stabil. Lebih pasti.
jatuh cinta .wa ea aa
ditunggu lanjutannya
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭