NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Mobil yang ditumpangi Maya dan Wawa melambat dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun asri. Suasana di sana terasa sedikit berbeda dari yang dibayangkan Maya; ada keheningan yang janggal, tidak ada suami Hana yang ikut menyambut di depan pintu.

Wawa dan Maya keluar dari mobil. Wawa membantu Maya mengambil kopernya dari bagasi. Mereka melangkah beriringan menuju pintu masuk.

Saat pintu terbuka, sosok Hana sudah berdiri di sana, senyumnya sedikit dipaksakan, meski matanya menunjukkan kelelahan dan kesedihan yang baru saja diceritakan Maya di telepon.

"Assalamualaikum," sapa Wawa dan Maya bersamaan.

"Waalaikumsalam," balas Hana, suaranya sedikit parau. Dia segera memeluk Maya erat. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sampai, May. Selamat datang."

"Terima kasih banyak, Kak Hana," bisik Maya, merasakan kehangatan pelukan itu.

Mereka masuk ke dalam rumah. Suasananya nyaman, tapi aura ketegangan akibat masalah rumah tangga Hana masih terasa tipis di udara. Setelah meletakkan koper Maya di kamar tamu, mereka bertiga duduk di ruang tamu dengan minuman dingin yang disajikan Hana.

Wawa mulai menceritakan kembali percakapan di mobil perihal wali nikah dan bagaimana masalah itu akan diurus. Hana mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, dan menambahkan sedikit detail tentang proses pengadilan agama yang dia ketahui.

Maya hanya bisa mendengarkan, merasa bersyukur karena dikelilingi oleh wanita-wanita kuat yang peduli padanya. 

Setelah perbincangan singkat di ruang tamu, Wawa melirik jam tangannya.

"Maya, Hana, saya pamit dulu ya. Masih ada urusan lain," ucap Wawa sambil berdiri.

"Terima kasih banyak tumpangannya, Kak Wawa," balas Maya tulus.

Setelah Wawa pulang, suasana rumah terasa lebih sunyi. Hana mengajak Maya duduk di sofa ruang tamu. Keheningan sejenak melingkupi mereka sebelum Hana memulai percakapan serius.

Hana: "May, aku mau nanya. Apa kamu nggak ingin pulang, meskipun cuma sebentar, ke rumah orang tuamu? Apalagi sekarang kamu mau menikah."

Maya menunduk, memainkan ujung jilbabnya.

Hana: "Jarak rumahku ke rumah orang tuamu kan cuma beberapa menit saja. Apa kamu nggak ingin keluarga kamu nanti bisa hadir di pernikahanmu?" tanya Hana hati-hati, menyentuh topik sensitif itu.

Maya menarik napas perlahan, sebelum menjawab pertanyaan Hana. Kenangan pahit itu kembali terkuak.

Maya: "Aku pernah memberanikan diri menelpon orang tuaku, Kak. Mengabarkan soal keyakinan baruku."

Hana mendengarkan dengan saksama.

Maya: "Mamah bisa menerima keputusan aku soal pindah keyakinan dengan hati yang lapang. Beliau baik sekali." Suara Maya melembut saat membicarakan ibunya.

"Tapi tidak dengan kakakku, yang bernama Dion," lanjut Maya, suaranya berubah getir. "Ia marah besar, Kak. Dan sama sekali tidak ingin lagi berhubungan dengan aku. Dirinya juga mengatakan jika suatu saat aku kesusahan, jangan mencari keluarganya. Hiduplah sendiri, berdasarkan keputusan yang aku ambil sendiri."

Maya mengakhiri ceritanya dengan tatapan kosong, mengenang kembali betapa pedihnya diusir secara emosional oleh kakaknya sendiri. Hana hanya bisa diam, memeluk Maya, merasakan kepedihan sahabatnya itu.

Maya mengusap air matanya, melanjutkan ceritanya dengan suara yang lebih mantap.

"Amarahnya karena aku berpindah keyakinan saja belum reda, entah bagaimana reaksinya kalau mendengar kabar adiknya menikah jadi yang kedua."

"Kalau Mamah mungkin tidak banyak bicara lagi," lanjut Maya. "Terakhir kali nada bicaranya seperti orang yang kecewa. Jelas pasti Mamah kecewa sama aku, Kak. Mamah bilang aku sudah dewasa, kalau aku masih kecil, mungkin Mamah akan memukulku."

Maya tersenyum getir, mengenang dinamika keluarganya yang rumit.

"Yang senang dengan keyakinan baruku hanya Papah, karena memang Papah dan Mamah berbeda keyakinan. Aku ikut keyakinan Mamah saat itu, karena aku lebih memilih tinggal bersama Mamah setelah mereka berpisah."

Hana mengangguk penuh pengertian. "Jadi, kamu punya dua wali yang sah secara agama, Papah mu dan Kakakmu. Tapi keduanya bermasalah," simpul Hana, lebih kepada dirinya sendiri.

"Itulah sebabnya Wawa bilang tadi, mungkin kita harus mengurus wali hakim. Kita lihat nanti konsultasi dengan abinya Wawa."

Maya mengangguk, kembali merasa bersyukur karena masalah rumit ini sedang diusahakan jalan keluarnya oleh orang-orang baik di sekelilingnya. Meskipun ia sendirian secara keluarga inti, ia menemukan dukungan yang tak terduga dari teman-teman barunya.

...----------------...

Pagi merekah di kota Maya. Maya terbangun lebih awal dari biasanya. Meskipun statusnya di sini adalah tamu yang mengungsi sementara, inisiatifnya sebagai seorang yang terbiasa bekerja di dapur langsung muncul. Dia tidak bisa hanya duduk diam.

Dengan tenang, Maya mulai melakukan rutinitas paginya. Dia meracik bumbu, memotong bahan makanan, dan segera suara-suara khas dapur mulai terdengar: dentingan wajan, gemericik air, dan aroma masakan yang menguar. Dia memasak untuk Hana dan dirinya sendiri.

Suara ribut di dapur—sebenarnya hanya kesibukan memasak yang wajar—membangunkan Hana. Hana, dengan rambut yang masih sedikit berantakan dan wajah khas bangun tidur, segera menghampiri sumber suara. Dia terkejut sekaligus tertegun saat melihat Maya sudah sibuk di depan kompor.

Hana tersenyum lebar saat melihat beberapa hidangan yang sudah jadi tersaji rapi di atas meja makan: ada tumis kangkung, ayam goreng bumbu kuning, dan sambal terasi. Semuanya terlihat menggiurkan.

"MasyaaAllah, Maya!" puji Hana tulus, matanya berbinar. "Kamu ini niat banget, sudah seperti koki profesional. Padahal kamu tamu lho di sini, nggak perlu repot-repot."

Maya tersipu malu mendengar pujian itu. "Nggak apa-apa, Kak. Aku sudah terbiasa bangun pagi dan masak. Lagian, hitung-hitung bantu Kakak juga."

Hana menggelengkan kepala, penuh kekaguman. Dia menghampiri meja makan dan mencicipi sedikit tumis kangkung.

"Enak banget, May," kata Hana, mengacungkan jempolnya. "Laki-laki yang menjadi suami kamu nanti pasti akan bahagia sekali karena mendapatkan istri seperti kamu. Sudah cantik, mandiri, pandai masak, penyabar lagi."

Pujian itu membuat pipi Maya memerah. Di tengah masalah rumah tangganya sendiri, Hana masih bisa memberikan semangat dan pujian tulus kepada Maya. Suasana pagi itu terasa hangat, penuh dengan rasa syukur dan persahabatan wanita.

Keduanya pun mulai makan bersama. Suasana pagi itu terasa sangat kontras dengan kerumitan hidup yang mereka berdua hadapi. Mereka makan dengan lahap, diselingi obrolan ringan tentang masakan dan hal-hal sepele sehari-hari, serta gurauan yang membuat tawa renyah sesekali terdengar di rumah yang sunyi itu.

Sejenak, Maya benar-benar melupakan segalanya—melupakan nazarnya, melupakan calon suami asingnya, melupakan sidang poligami yang menanti, dan melupakan Heddy yang tiba-tiba menghubunginya. Untuk beberapa saat, hanya ada kehangatan sarapan pagi dan persahabatan tulus di antara dua wanita yang saling menguatkan itu.

Setelah selesai makan, keduanya tidak langsung beranjak. Dengan inisiatif yang sama, mereka bersama-sama membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja makan.

Hana mengumpulkan piring-piring kotor, sementara Maya dengan cekatan mengelap remah-remah dan noda yang tertinggal. Gerakan mereka sinkron dan tanpa perlu banyak instruksi, layaknya dua orang yang sudah lama hidup bersama. Gurauan ringan masih sesekali terdengar saat tangan mereka tak sengaja bersentuhan atau saat Hana pura-pura mengeluh tentang "tugas mencuci piring yang tak pernah berakhir".

Sejenak, suasana rumah terasa sangat normal dan damai. Beban berat di pundak Maya dan kesedihan Hana seakan lenyap, tergantikan oleh kehangatan persahabatan yang tulus.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!