Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Dua tahun telah berlalu sejak janji pernikahan itu diucapkan, dan rumah baru di sudut kompleks yang asri itu kini benar-benar menjadi saksi bisu kebahagiaan yang melimpah. Usia kehamilan Senja telah menyentuh angka lima bulan saat keajaiban itu terungkap. Pagi itu, cahaya matahari masuk melalui jendela ruang praktik dokter kandungan, memberikan nuansa hangat yang kontras dengan detak jantung Damar yang berdegup kencang karena antusiasme.
Saat transduser bergerak perlahan di atas perut Senja yang mulai membuncit, dokter terdiam. Ia mengerutkan kening, mengatur fokus pada layar monitor hitam putih yang statis. "Tunggu dulu," gumam dokter, menggeser alat itu lebih ke arah kiri.
Senja menahan napas. "Ada apa, Dok? Apa anak saya baik-baik saja?"
Dokter tersenyum tipis, lalu memperbesar gambar. "Anak Anda baik-baik saja. Namun, sepertinya kita harus menghitung ulang. Lihat ini... satu detak jantung. Lalu di sini, dua. Dan di balik bayangan ini... tiga. Bapak, Ibu, selamat. Anda tidak hanya menantikan satu bayi, tapi kembar tiga sekaligus."
Dunia seolah berhenti berputar bagi Damar. Tangannya yang menggenggam jemari Senja mendadak lemas.
"Tiga? Anda serius?" tanya Damar dengan suara yang nyaris hilang.
Senja langsung menutupi wajahnya. Tangisnya pecah seketika, mengalir deras membasahi bantal rumah sakit. Mengingat kembali setiap umpatan Paramita dua tahun lalu yang menyebutnya mandul, dikutuk, dan pembawa sial bagi keluarga, penemuan ini adalah jawaban paling megah dari Tuhan. Tuhan tidak hanya memberinya keturunan. Ia memberinya sebuah keluarga kecil sekaligus sebagai ganti dari setiap tetes air mata yang pernah tumpah di rumah Paramita. Damar menciumi kening Senja berulang kali, isakannya sendiri terdengar lirih. Di dalam hatinya, ia bersumpah untuk membangun tiga kamar bayi paling indah di dunia.
Kabar tentang kembar tiga itu melesat cepat, melampaui pagar rumah baru mereka dan sampai ke telinga Paramita melalui desas-desus kerabat jauh yang iri. Mendengar kabar itu, Paramita merasa seolah-olah hatinya dibakar oleh bensin yang menyala. Baginya, kebahagiaan Senja adalah tamparan langsung atas otoritasnya.
"Bagaimana mungkin dia mendapatkan tiga sekaligus?!" Paramita berteriak di ruang tamunya yang sepi, melempar gelas kristal hingga hancur berkeping-keping. "Dia tidak boleh bahagia! Dia harus tahu rasa kehilangan yang kurasakan saat Fajar pergi! Tuhan tidak adil!"
Paramita yang merasa jera oleh penjara, kini kehilangan akal sehatnya. Kebenciannya melampaui rasa takutnya akan hukum. Ia tahu ia tidak bisa bergerak sendiri karena setiap langkahnya dipantau oleh pengacara Damar. Maka, ia menggunakan sisa hartanya untuk menyewa seseorang dari dunia bawah, seorang pembunuh bayaran yang bersedia melakukan "tugas bersih" tanpa meninggalkan jejak. Ia memesan sebuah kecelakaan tabrak lari yang akan terlihat seperti kelalaian murni, dengan satu target yaitu perut Senja.
Waktu berlalu cepat hingga kehamilan Senja mencapai usia delapan bulan. Perutnya kini sangat besar, membuatnya kesulitan bernapas dan berjalan. Namun, di sore yang cerah itu, sebuah keinginan aneh muncul ia sangat merindukan jeruk keprok dan salak yang hanya dijual di sebuah angkringan kecil di seberang jalan besar depan kompleks mereka.
"Damar, aku mohon. Hanya jeruk itu yang ingin kumakan. Aku merasa anak-anak menendang setiap kali aku membayangkannya," rengek Senja manja.
Damar menatap istrinya dengan cemas. Firasatnya sejak pagi tadi sudah tidak enak.
"Sayang, biar aku saja. Kamu istirahat, ya? Berjalan ke depan sana sangat berisiko dengan kondisi perutmu yang sebesar ini."
Senja menggeleng keras. "Tidak! Anak-anak ingin menghirup udara sore. Katanya mereka ingin ikut Mama memilih buah. Hanya ke seberang, Damar. Hanya lima menit."
Damar menatap mata Senja yang jernih, penuh permohonan yang tak bisa ia tolak. Namun, Damar tidaklah ceroboh. Sebelum mengizinkan Senja melangkah keluar pagar, ia memberikan kode singkat melalui ponselnya kepada Pengawal Bayangan seorang pensiunan pasukan khusus yang ia bayar diam-diam untuk mengawasi Senja dari kejauhan sejak ancaman Paramita mencuat.
"Ikuti dia dengan jarak aman. Jangan biarkan sebutir debu pun melukainya," bisik Damar pada teleponnya.
Senja melangkah keluar pagar dengan wajah ceria, menikmati angin sore yang membelai pipinya. Ia menyeberang dengan sangat hati-hati, memastikan jalanan lengang. Namun, saat ia berada tepat di tengah aspal jalanan, sebuah SUV hitam muncul tiba-tiba dari arah tikungan dengan kecepatan yang mustahil untuk sebuah area kompleks. Mobil itu menderu, sengaja diarahkan tepat ke tubuh Senja yang lamban bergerak.
Senja terpaku. Cahaya lampu mobil itu menyilaukan matanya. Ia ingin lari, tapi kakinya seolah tertanam di aspal. Ia memegangi perutnya, memejamkan mata, dan pasrah pada hantaman yang akan datang.
"SENJA AWASSSS!!!" teriak Damar yang menyaksikan dari teras.
Tepat sebelum bemper mobil menyentuh gaun Senja, sesosok pria berpakaian gelap meluncur dari balik pepohonan trotoar. Dengan kecepatan kilat, ia mendorong Senja hingga terguling ke sisi jalan yang berumput, sementara ia sendiri berguling menjauh. Mobil itu menghantam pembatas jalan dan segera melesat pergi tanpa berhenti, meninggalkan bekas ban yang hangus di aspal.
Senja jatuh terjembab. Guncangannya tidak keras karena teredam rumput, namun rasa terkejut yang luar biasa memicu kontraksi hebat. Ia merasakan sensasi panas yang menjalar di selangkangannya. Darah. Darah segar mulai mengalir di balik kain gaunnya.
Damar berlari seperti orang kesetanan menuju istrinya. Saat ia sampai, ia melihat Senja meringis kesakitan, tangannya memegangi perut besarnya yang kini kaku seperti papan.
"Damar... sakit sekali... anak-anak kita..." rintih Senja sebelum kesadarannya meredup.
Damar meraung putus asa. Pengawal bayangan itu segera membantu mengangkat Senja ke mobil pribadi Damar. Di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Damar mengemudi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam jemari Senja yang dingin dan gemetar.
"Maafkan aku, Senja! Bertahanlah! Demi aku, demi anak-anak kita!" Damar berteriak di tengah isak tangisnya. Suaranya pecah oleh rasa bersalah yang menghimpit dada.
Setibanya di instalasi gawat darurat, dokter langsung melakukan tindakan. Hasilnya mengerikan abrupsi plasenta. Akibat guncangan dan trauma fisik, plasenta terlepas dari dinding rahim. "Kita harus melakukan operasi sesar darurat sekarang juga. Nyawa Ibu dan ketiga bayinya dalam bahaya besar," instruksi dokter dengan nada mendesak.
Pintu ruang operasi tertutup dengan dentuman yang memekakkan telinga Damar. Lampu merah "Operasi Berlangsung" menyala, menandakan pertaruhan antara hidup dan mati dimulai.
Damar ambruk di lorong rumah sakit yang dingin. Ia bersandar pada dinding putih yang kaku, lalu perlahan merosot hingga terduduk di lantai keramik yang beku. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang masih bernoda darah istrinya. Isakan keputusasaannya memenuhi lorong sunyi itu.
"Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku mengizinkannya pergi sendiri? Seharusnya aku menariknya kembali! Aku telah gagal melindunginya! Jika sesuatu terjadi padanya... jika anak-anak itu pergi... aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri." Damar memukul kepalanya sendiri berulang kali, meratapi setiap detik di mana ia seharusnya bisa mencegah ini. Ia teringat janjinya dua tahun lalu untuk menjadi Pelita bagi Senja. Ia merasa dirinya kini adalah pelita yang hancur, membiarkan kegelapan masuk melalui celah yang ia buat sendiri.
Detik-detik berlalu seperti jam yang sangat lambat. Di lorong itu, Damar berjanji dalam doa yang paling getir Jika Tuhan menyelamatkan mereka, ia akan menyerahkan segalanya, asalkan ia tidak kehilangan cahaya hidupnya.
Damar meringkuk di lantai rumah sakit, menanti kabar di antara harapan tipis dan kenyataan yang kejam...