Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prewedding komunal
Komentar itu memang mengubah segalanya. Bukan hanya atmosfer Lapak Kaki Lima Mesrah yang mendadak beku, tetapi juga dinamika antara Gunawan dan Dewi. Amarah Dewi membakar udara, mengubahnya menjadi wanita yang siap meledak kapan saja. Gunawan, di sisi lain, merasakan campuran aneh antara perasaan terekspos dan sedikit validasi.
"Baiklah, baiklah! Tenang, Dewi! Tenang, Gunawan!" Suara Pak RT memecah ketegangan, seperti kentut di tengah khotbah. Ia muncul dari kerumunan, menyeruak di antara Bu Ida dan dua anggota Love Brigade lainnya, wajahnya serius namun matanya menyiratkan kesenangan tersembunyi.
"Komentar ini... ini memang tidak bisa dibiarkan! Ini mencoreng nama baik Lapak Kaki Lima Mesrah kita!"
Dewi menatap Pak RT dengan tatapan tak sabar.
"Mencoreng nama baik? Pak, ini penghinaan pribadi! Saya dibilang pengecut!"
"Justru itu!" Pak RT mengangguk-angguk.
"Karena ini sudah masuk ranah publik, maka solusinya harus publik juga! Kita harus buktikan pada netizen 'julid' itu bahwa kalian berdua ini... ini memang benar-benar serius! Serius membangun rumah tangga dan masa depan lapak!"
Gunawan menelan ludah.
"Serius bagaimana, Pak?"
Pak RT tersenyum misterius.
"Begini. Besok kan hari Sabtu, awal akhir pekan. Saya sudah berdiskusi dengan Bu Ida dan para sesepuh lapak. Kita akan mengadakan... acara 'Pre-Wedding Komunal Lapak'!"
Sontak, seluruh Lapak Kaki Lima Bahagia riuh. Beberapa pelanggan yang tadi hanya menguping, kini ikut bersorak penasaran. Bu Ida, Bu Marni, dan Bu Tuti langsung mengangguk-angguk setuju, senyum lebar menghiasi wajah mereka.
"Pre-Wedding Komunal?" Dewi mengulang, nadanya antara terkejut dan jijik.
"Maksudnya apa, Pak RT? Kami harus bikin video pre-wedding pakai baju adat di tengah lapak?"
"Lebih dari itu, Dewi!" Pak RT mengibaskan tangannya, bersemangat.
"Ini bukan cuma video! Ini adalah serangkaian aktivitas pembangunan tim! Untuk menguji keserasian kalian sebagai calon pasangan suami istri! Mulai dari membersihkan lingkungan, memilah sampah, sampai... mengecat ulang gerbang utama lapak kita!"
Gunawan dan Dewi saling pandang, tatapan mereka berteriak, 'Mampus!'
"Memilah sampah?" Gunawan bertanya, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
"Betul! Memilah sampah adalah dasar dari rumah tangga yang harmonis!" Bu Ida menyahut, tangannya bersedekap.
"Kalau dari sampah saja kalian sudah kompak, apalagi mengurus anak nanti!"
Dewi mendengus.
"Ini lapak, Bu, bukan rumah tangga! Dan saya tidak akan memilah sampah sambil pegangan tangan, ya!"
"Tentu saja tidak, Dewi!" Pak RT tertawa.
"Tapi harus kompak! Harus saling membantu! Dan ingat, semua aktivitas ini akan diawasi ketat oleh Love Brigade! Biar tidak ada lagi netizen yang bilang kalian cuma pura-pura!"
*
Maka, akhir pekan itu, Lapak Kaki Lima Bahagia berubah menjadi arena "Pre-Wedding Komunal". Dimulai dengan sesi memilah sampah yang penuh komedi, di mana Gunawan dan Dewi harus beradu argumen tentang perbedaan sampah organik dan anorganik, diselingi teriakan Bu Ida yang menyuruh mereka "berkomunikasi dengan hati".
Mereka terpaksa bekerja sama, meski dengan wajah masam dan sesekali saling sikut.
"Ini kan kulit pisang, Gunawan! Jelas-jelas organik!" Dewi berbisik geram, menjatuhkan kulit pisang ke keranjang yang salah.
"Tapi kan sudah kering, Wi! Kering itu kan anorganik, keras!" Gunawan membela diri, sambil menggaruk pipinya yang gatal karena debu.
"Mana ada sampah organik jadi anorganik cuma gara-gara kering?!" Dewi mendelik.
"Kau ini sekolah di mana sih? Sekolah rujak?!"
"Sudah! Sudah! Jangan bertengkar!" Bu Ida langsung mendekat, matanya tajam.
"Calon suami istri itu harus saling melengkapi! Bukan saling menyalahkan! Ayo, coba Gunawan jelaskan kenapa kulit pisang ini anorganik dengan bahasa cinta!"
Gunawan menatap Bu Ida dengan horor, lalu melirik Dewi yang kini menahan tawa.
"Eh... jadi begini, Dewi... kulit pisang ini, seperti hatiku yang kering tanpamu... membutuhkan sentuhanmu untuk kembali basah dan menjadi organik..."
Dewi langsung menyentuh hidungnya, memberi isyarat
"Cepat selesaikan omong kosong ini!"
*
Puncak acara "Pre-Wedding Komunal" adalah mengecat gerbang utama lapak. Gerbang besi yang sudah karatan dan catnya mengelupas itu kini menjadi kanvas ujian cinta Gunawan dan Dewi. Warga lapak berkumpul, membawa bangku dan cemilan, siap menyaksikan drama berikutnya. Love Brigade duduk di barisan paling depan, dengan Bu Ida memegang ponselnya, merekam setiap gerak-gerik mereka.
Gunawan dan Dewi diberi masing-masing satu kuas dan seember cat warna hijau terang—pilihan Pak RT, katanya biar "cerah seperti masa depan mereka". Mereka mulai mengecat, dari sisi yang berlawanan, dengan canggung.
"Jadi, soal ide 'ekosistem bisnis mikro terintegrasi' itu..." Gunawan memulai, mencoba memulai percakapan yang lebih substansial, sambil mengoleskan cat dengan hati-hati.
"Aku serius, Wi. Kalau kita bisa bikin platform online, itu kan bisa membantu semua lapak di sini."
Dewi mendengus, matanya fokus pada sapuan kuasnya.
"Kau ini, Gunawan. Pikirkan saja cat gerbang ini dulu. Lagipula, mana ada investor yang mau investasi di lapak rujak dan seblak? Khayalanmu itu terlalu tinggi."
"Bukan khayalan, Wi! Ini visi!" Gunawan bersikeras.
"Begini, kalau kita punya aplikasi, kan kita bisa menjangkau lebih banyak orang. Pelanggan bisa pesan dari rumah, kita bisa atur pengiriman. Dan semua lapak lain bisa ikut bergabung. Kita jadi semacam... pusat kuliner kaki lima online!"
"Kau kira gampang bikin aplikasi?" Dewi memutar bola matanya.
"Itu butuh modal besar, Gunawan. Butuh orang pintar. Kita ini cuma penjual makanan, tahu! Paling banter pakai WhatsApp grup."
"Tapi kan kita bisa mulai dari kecil!" Gunawan mencoba membujuk.
"Maksudku, kalau kita berdua punya visi yang sama, kan bisa jadi modal awal. Kita bisa jadi... duet kuliner yang punya visi bisnis jangka panjang!"
"Duet? Visi?" Dewi tertawa sinis.
"Kau lupa, Gunawan? Kita ini cuma berpura-pura. Kontrak kita cuma enam bulan. Setelah itu, kita kembali ke kehidupan masing-masing. Lapakmu ya lapakmu, lapakku ya lapakku. Tidak ada 'ekosistem' atau 'duet' segala."
Mendengar kata-kata itu, Gunawan merasakan sengatan di dadanya. Ia tahu itu adalah kebenaran, tapi mendengarnya dari Dewi, di tengah semua sandiwara ini, tetap saja menyakitkan. Ia berhenti mengecat sejenak, menatap Dewi.
"Tapi... kalau kita bisa membuat ini jadi nyata, Wi?" Gunawan berbisik, suaranya pelan, nyaris tak terdengar di tengah keramaian.
"Maksudku, kalau perjodohan ini... tidak hanya sandiwara?"
Dewi juga berhenti mengecat. Matanya menatap Gunawan, ada keraguan dan sedikit rasa sakit yang melintas di sana.
"Kau ini bicara apa sih, Gunawan? Jangan macam-macam. Ingat, aku sudah bilang, aku tidak suka dikendalikan. Aku tidak suka janji-janji manis yang akhirnya cuma omong kosong."
Wajah Dewi mengeras.
Bayangan luka lama kembali terpancar di matanya, membuat Gunawan kembali merasakan impuls untuk menarik kata-katanya. Ia tahu, ia harus berhati-hati.
"Bukan janji, Wi," kata Gunawan, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Maksudku... ini kan bisa jadi kesempatan. Kesempatan untuk... untuk membangun sesuatu yang lebih besar dari sekadar lapak. Bersama."
"Bersama apa?" Dewi mendengus, kembali mengoleskan cat dengan kasar.
Gunawan hanya dia sampai akhir nya
"Awas Wii.."