NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.1k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sandiwara Satu Ranjang

Denting halus panel lift yang terbuka di lantai 20 terdengar bagaikan lonceng dimulainya ronde baru. Namun, kali ini lawannya bukan satu sama lain, melainkan keadaan.

Dalam hitungan detik, atmosfer beku yang menyelimuti Argantara dan Intan selama perjalanan naik tadi menguap secara paksa. Intan mengusap sudut matanya kasar, memastikan tidak ada sisa air mata, lalu memaksakan otot wajahnya membentuk senyum manis. Di sebelahnya, Arga merapikan kerah kemejanya, menarik napas panjang seolah hendak menyelam.

Di ujung koridor, tepat di depan unit 2005, seorang wanita paruh baya berdiri membelakangi mereka. Gamis peach berbahan sutra yang dikenakannya tampak elegan.

"Mama!" seru Arga.

Perubahan nada suaranya drastis. Baritone yang lima menit lalu membentak Intan di mobil dengan penuh amarah, kini berubah menjadi suara lembut anak laki-laki yang berbakti.

Wanita itu berbalik. Wajah Bu Ratih langsung berbinar. Ia merentangkan kedua tangannya.

"Ya ampun, anak-anak Mama! Lama sekali sih kalian? Mama sampai mau jamuran nunggu di lorong sepi ini," keluh Bu Ratih, namun senyumnya merekah.

Arga bergegas mencium punggung tangan ibunya. "Maaf, Ma. Tadi macet parah di Sudirman. Mama kenapa nggak bilang mau mampir? Arga bisa kirim kunci cadangan."

"Bukan sidak namanya kalau bilang-bilang," canda Bu Ratih sambil mencubit pipi putranya.

Tatapan Bu Ratih beralih pada gadis di belakang Arga. "Intan, Sayang..."

Bu Ratih langsung menarik menantunya ke dalam pelukan hangat. Pelukan itu begitu tulus, beraroma melati—sangat kontras dengan perlakuan dingin yang Intan terima dari anaknya seharian ini.

"Duh, menantu Mama makin cantik saja. Gimana kuliahnya? Lancar? Si Arga galak nggak kalau di kampus?"

Intan membalas pelukan itu, membenamkan wajahnya sesaat di bahu ibu mertuanya. Ada rasa bersalah menusuk dadanya karena harus membohongi wanita sebaik ini.

"Lancar kok, Ma," jawab Intan dengan suara ceria yang sedikit bergetar. "Mas Arga... tegas kok, Ma. Profesional banget."

"Baguslah. Awas kalau dia berani marahin kamu, lapor sama Mama," ancam Bu Ratih bercanda.

Arga hanya tersenyum kaku. "Ayo masuk, Ma."

Arga menempelkan kartu aksesnya. Klik. Pintu terbuka.

Saat itulah, kepanikan luar biasa menghantam benak Arga. Kakinya membeku di ambang pintu saat menyadari satu fakta fatal: Apartemen ini diatur untuk dua orang yang hidup terpisah.

Tidak ada jejak "pernikahan". Lebih parah lagi, kamar tidur kedua—yang seharusnya jadi kamar tamu—penuh dengan barang-barang Intan yang berantakan bagai kapal pecah. Sementara kamar utama Arga steril seperti ruang operasi. Jika Mamanya melihat pembagian kamar itu, tamatlah riwayat sandiwara mereka.

"Wah, adem ya," komentar Bu Ratih sambil melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling. "Tapi kok sepi banget, Ga? Foto pernikahan kalian mana?"

"Eh, itu... belum dicetak, Ma. File-nya korup sedikit, jadi lama," alibi Arga cepat, lidahnya terasa kelu.

Bu Ratih melirik jam tangannya. "Sudah Maghrib. Mama mau numpang sholat dulu. Kamar kalian yang mana? Yang utama kan?"

Jantung Arga dan Intan seolah berhenti berdetak.

"Ma!" seru Arga terlalu keras. "Itu... kamar utamanya berantakan banget. Malu."

Ia menatap Intan, memberi kode mata putus asa: Bantu saya!

Intan sebenarnya ingin membiarkan Arga mati kutu, tapi ia tak tega pada mertuanya. "Iya, Ma," Intan masuk ke dalam peran. Ia menggandeng lengan Bu Ratih. "Mas Arga tadi buru-buru, jadi baju kotornya di mana-mana. Mama duduk dulu saja, aku buatin sirup jeruk ya?"

"Mama mau sholat dulu, Intan. Nggak apa-apa berantakan, namanya juga pengantin baru," tolak Bu Ratih lembut tapi memaksa.

Ia melepaskan tangan Intan dan berjalan ke lorong. Arga panik bukan main, langsung menyalip ibunya.

"Ma, sholat di kamar tamu saja ya? Lebih bersih."

"Loh? Kenapa harus di kamar tamu?" Bu Ratih mengernyit curiga. "Kalian... nggak pisah kamar kan?"

Pertanyaan itu bagaikan petir. Hening menyergap ruangan selama dua detik.

"Enggak lah, Ma! Ya ampun," Arga tertawa sumbang. Pria itu merangkul pinggang Intan kaku. "Kita lengket banget kok. Tidur juga dempet-dempetan. Ya kan, Sayang?"

Intan tersenyum manis meski ingin menginjak kaki suaminya. "Iya, Ma. Lengket kayak perangko. Maksud Mas Arga, kamar tamu itu... kiblatnya lebih pas!"

Bu Ratih menatap mereka menyelidik, lalu menghela napas. "Kalian ini aneh. Ya sudah, Mama sholat di kamar tamu saja."

Tangan Bu Ratih terulur memegang gagang pintu kamar kedua—kamar Intan.

"JANGAN!" teriak Arga dan Intan bersamaan.

Bu Ratih terlonjak kaget. "Astaghfirullah! Kenapa sih?!"

Arga memutar otak secepat kilat. "Itu... gudang, Ma! Lagi banyak kecoa! Tadi pagi baru disemprot obat serangga dosis tinggi. Bahaya kalau Mama masuk."

"Apartemen mewah kok ada kecoa?" Bu Ratih geleng kepala tak percaya. "Ya sudah, kalau gitu Mama sholat di kamar utama saja."

Tanpa bisa dicegah, Bu Ratih menerobos masuk ke kamar utama—kamar Arga.

Pintu terbuka lebar. Kamar itu rapi, dingin, dan kosong. Tidak ada satu pun benda perempuan. Tidak ada meja rias, tidak ada baju tidur. Ini jelas kamar bujangan.

"Ini kamar pengantin?" tanya Bu Ratih skeptis. "Kok kayak asrama tentara? Mana barang-barang kamu, Intan?"

Arga membuka mulut, tapi otaknya buntu.

"Itu, Ma..." Intan melangkah maju, menyelamatkan situasi. "Barang-barangku di dalam lemari semua. Mas Arga itu freak banget soal kerapian. Dia nggak suka ada barang geletak di luar. Jadi bedak, sisir, baju tidur, semua harus masuk lemari tertutup."

Intan menatap Arga tajam. "Kalau ada satu sisir aja di meja, dia bisa ngomel seharian."

Arga terbelalak mendengar fitnah itu, tapi segera mengangguk. "Iya, Ma. Arga... alergi debu."

Bu Ratih mendengus, tapi percaya. "Kasihan istri kamu, Ga. Rumah itu harusnya homey, bukan kayak museum."

Arga dan Intan menghembuskan napas lega. Mereka selamat dari krisis pertama. Namun, ujian sesungguhnya baru dimulai.

Malam itu menjadi malam terpanjang. Setelah makan malam penuh kepura-puraan, Bu Ratih memutuskan menginap karena ada acara besok pagi. Artinya: Mereka harus tidur satu kamar.

Pukul sepuluh malam. Pintu kamar utama terkunci rapat. Bu Ratih sudah terlelap di kamar tamu.

Di dalam kamar utama yang remang, Arga dan Intan berdiri mematung memandangi satu-satunya tempat tidur king size di sana. Atmosfer canggung begitu pekat.

"Kamu tidur di sebelah kiri," perintah Arga kaku sambil meletakkan guling memanjang tepat di tengah kasur. "Ini batas teritorial. Jangan melewati garis ini. Kaki kamu jangan nendang-nendang. Saya tidurnya sensitif."

Intan mendengus, mengambil bantalnya sendiri. "Siapa juga yang mau nendang Mas? Badan Mas keras kayak tembok."

Intan naik ke atas kasur, menarik selimut sampai leher, dan memunggungi Arga. Arga mematikan lampu utama, lalu naik ke sisi kanan kasur.

Hening.

Hanya suara desisan AC yang terdengar. Namun, indra mereka bekerja dua kali lipat lebih tajam. Intan bisa mencium aroma sabun mint Arga. Jantungnya berdegup kencang. Ini pertama kalinya ia tidur satu ranjang dengan laki-laki yang notabene adalah dosen killer-nya.

"Mas udah tidur?" tanya Intan pelan.

"Belum," jawab Arga dalam gelap.

"Soal tadi di mobil..." Intan menggigit bibir. "Aku serius, Mas. Aku capek dianggap beban. Aku capek dituduh murahan."

Hening cukup lama. Intan pikir pria itu enggan menjawab. Namun, tiba-tiba terdengar suara Arga, sangat lirih.

"Saya minta maaf."

Mata Intan membelalak dalam kegelapan. Seorang Argantara minta maaf?

"Soal kata 'murahan' tadi... saya emosi. Itu tidak benar. Kamu tidak seperti itu," lanjut Arga kaku.

Hati Intan yang membeku perlahan retak sedikit. "Aku nggak maafin," jawabnya ketus, mempertahankan gengsi. "Kecuali Mas janji berhenti cemburu buta dan bedain urusan kampus sama rumah."

"Tidur, Intan. Besok saya ada kelas pagi," potong Arga, menghindari topik cemburu.

Malam itu, di bawah satu selimut, dua orang yang saling bermusuhan itu tidur dengan punggung saling berhadapan. Ego masih membangun tembok tebal.

Namun, saat lelap menjemput di sepertiga malam, tubuh mereka mencari kehangatan tanpa sadar. Kaki Intan bergerak pelan melewati batas guling, menyentuh punggung kaki Arga. Arga terbangun sejenak, merasakan kulit halus itu bersentuhan dengannya. Logikanya menyuruh menyingkir, tapi hatinya menolak. Ia memejamkan mata kembali, membiarkan pertahanan dirinya runtuh sedikit demi sedikit malam ini.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!