NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1 awal mula

Elara Nayendra Aksani tumbuh dengan satu keyakinan sederhana sejak kecil:

kebersamaan adalah rumah paling aman di dunia.

Ia tidak pernah sendirian.

Sejak bisa berlari, Elara selalu berada di tengah lima anak laki-laki yang lebih sering ribut daripada diam. Halaman luas rumah keluarga Aksani menjadi saksi tawa mereka, lutut yang berdarah karena jatuh, serta pertengkaran kecil yang selalu berakhir dengan tawa. Mereka tumbuh bersama—di aspal yang sama, di bawah langit yang sama—dengan janji kekanak-kanakan yang terdengar remeh, namun tertanam kuat.

Selama ada kami, kamu nggak akan sendirian, El.

Janji itu masih terngiang jelas di kepalanya.

 

Pagi itu, Elara berdiri di depan cermin kamarnya. Ia merapikan pita abu-abu yang melingkar di pergelangan tangannya—pita kesayangannya, yang entah kenapa selalu ia pakai setiap hari sekolah. Rambut hitamnya tergerai sebatas punggung, masih sedikit lembap oleh udara pagi yang masuk dari jendela terbuka.

Seragam sekolahnya terpasang rapi di tubuhnya, hasil setrikaan Mama Sekar Anindya Aksani. Terlalu rapi untuk ukuran anak SMA, mungkin. Namun Elara tak pernah memprotes. Ada kenyamanan dalam hal-hal kecil seperti itu.

Ia meraih tas dan melangkah keluar kamar.

Belum sempat menuruni tangga, suara langkah kaki menyambutnya dari ujung lorong.

“El. Cepetan. Nanti telat.”

Nada itu datar, hampir tanpa emosi.

Arsenio Ravindra Mahesa berdiri bersandar di dinding, satu tangan masuk ke saku jaket hitamnya. Rambutnya sedikit berantakan, tatapannya tajam namun tenang—menyapu Elara dari ujung kepala hingga kaki, seolah memastikan gadis itu baik-baik saja.

“Sabar dong, Nio. Baru juga jam segini,” jawab Elara santai.

Arsenio mendecak pelan. “Selalu aja begitu. Mau dihukum lagi?”

Elara hanya tersenyum. Senyum kecil yang membuat matanya menyipit.

“Nggak apa-apa. Selama sama kalian.”

Belum sempat Arsenio membalas, suara lain menyela.

“Yang nggak papa cuma lo, El. Gue hampir tiap hari dihukum gara-gara nungguin lo dandan.”

Kairo Atreya muncul dari ruang tamu, menyampirkan tas ke bahunya. Wajahnya menunjukkan kelelahan khas seseorang yang pasrah dengan rutinitas pagi.

“Dandan itu bagian dari hidup aku,” balas Elara sambil duduk dan meraih sepotong roti. “Kalau nggak dandan, nanti Nio nggak suka aku lagi.”

Tawa langsung pecah.

“Emang selama ini Arsen suka sama lo?” Leonhardt Veyron menyenggol bahu Arsenio.

“Diem, Lele,” potong Elara cepat.

“hahaha ikan Lele!” Ezra Calvino ikut menimpali sambil tertawa keras.

“Cukup,” suara Kaizen Ferros akhirnya muncul. “Kapan berangkatnya kalau ribut terus?”

Elara berdiri, menenteng tasnya. “Ayo, kita berangkat sekarang”

Ia berlari lebih dulu keluar rumah. Lima anak laki-laki itu otomatis menyusul, seperti refleks yang sudah terlatih sejak lama.

Mereka selalu begitu. Berangkat bersama, pulang bersama, ribut bersama. Meski sering saling ledek dan bertengkar, ada satu hal yang tak pernah berubah.

Mereka peduli.

Dan tanpa disadari Elara, kelimanya memegang keyakinan yang sama:

Elara adalah seseorang yang harus dijaga.

 

Mobil hitam milik Arsenio melaju meninggalkan halaman mansion. Elara duduk di kursi depan, sementara kursi belakang dipenuhi suara ribut yang tak pernah benar-benar reda.

“Kairo, kaki lo jangan nyenggol gue terus-terusan dong."keluh Ezra.

“Gue kebelet buang air kecil, pengen ke toilet,” sahut Kairo dengan wajah meringis.

" kenapa gak dari tadi waktu di rumah si el?” Ezra mendengus.

“Tadi nggak pengen.”

“Tahan aja,” ujar Elara tanpa menoleh.

“Awas ngompol,” Leonhardt terkekeh.

“Gue bukan anak kecil, mana mungkin ngompol."

Kaizen melirik spion. “sekarang lagi Lampu merah. Macet. Yakin bisa nahan?”

“Cukup,” Arsenio memotong. “Kai, turun. Ke toilet umum sekarang, Cepet.”

Kairo tak membantah. Ia membuka pintu dan berlari.

Elara kembali menatap keluar jendela. Kota mulai hidup—kendaraan berlalu-lalang, siswa berseragam memenuhi trotoar.

“El.”

Elara menoleh.

“Nanti pulang bareng. Aku tunggu di parkiran,” ucap Arsenio singkat.

“Iya.”

 

Di sekolah, perhatian langsung tertuju pada mereka. Enam orang itu memang selalu mencolok—entah karena kebersamaan mereka, atau karena Elara yang selalu berada di tengah.

Setelah berpisah di depan kelas, Elara duduk di bangku dekat jendela. Ia membuka buku, namun pandangannya melayang keluar.

Pagi berjalan seperti biasa. Terlalu biasa.

Untuk saat ini, Elara masih percaya satu hal.

Selama mereka ada, semuanya akan baik-baik saja.

★★★

“El!”

Elara berdiri begitu melihat sosok di beberapa bangku depan.

“Yomi!”

Nayomi Svara Prameswari menoleh dan tersenyum lebar. “Akhirnya ketemu lagi, setelah libur."

“satu hari loh nay bukan satu bulan." Elara duduk di sampingnya.

“tapi Rasanya kayak sebulan.”

Mereka tertawa kecil.

"si Keira belum datang ya." ucap elara sambil melirik pintu kelas

"ahh biasa itu anak suka datang telat, nanti juga ada." ucap nayomi dengan santai

“El… hubungan lo sama mereka berlima baik-baik aja, kan?” tanya Nayomi pelan.

Elara menoleh heran. “Kenapa nanya gitu?”

“Cuma penasaran.”

Nayomi mencondongkan badan. “Ada yang lo suka gak diantara mereka semua?”

Elara terdiam. Ia menatap keluar jendela.

“Gue lagi nggak mikirin yang gitu, lagi pula gue gak mau ngerusak persahabatan kita dari kecil,” jawabnya jujur.“Mereka terlalu penting, kadang gue suka ngegoda salah satu dari mereka, tapi cuman bercanda ya."

Nayomi tersenyum kecil. “Lima cowok, satu cewek. Wajar kalau gue kepo, tapi gue yakin dari mereka berlima pasti ada yang suka sama elo."

Elara tak membalas. Pikirannya melayang pada wajah-wajah yang sudah bersamanya sejak kecil.

Dan ia tidak tahu—bahwa kebersamaan yang selama ini ia anggap rumah, perlahan akan diuji.

Siapa yang setuju kalo aku buat visual dari mereka masing masing

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!