Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kostum Orang Mati
"Selamat datang kembali..."
Bisikan itu menggantung di udara perpustakaan yang berdebu, seolah partikel debu itu sendiri yang berbicara.
"Buka! Buka jaket ini!"
Bobi menjerit histeris. Wajahnya merah padam bercampur pucat. Tangannya dengan panik menarik ritsleting hoodie yang dipakainya. Besi ritsleting itu macet di tengah jalan, membuat kepanikan Bobi makin menjadi-jadi. Dia meronta seperti orang yang sedang terbakar api tak kasat mata.
"Tenang, Bob! Jangan ditarik paksa!" seru Rian, mencoba menahan tangan Bobi yang gemetar liar.
"Gue nggak mau pake baju orang mati! Lepasin gue, Yan! Lepasin!"
Sreeet!
Dengan tenaga putus asa, Bobi merobek paksa jaket itu hingga jahitan di bagian ketiaknya lepas. Dia melempar kain tebal berwarna navy itu ke lantai, lalu mundur menjauh seolah jaket itu adalah ular berbisa. Napasnya memburu, dadanya naik-turun cepat di balik kaos Spongebob-nya yang kini basah oleh keringat dingin.
Sarah berdiri mematung di samping rak buku. Tangannya masih memegang album foto tua itu, tapi matanya menatap kosong ke arah kemeja flanel yang dipakai Rian.
"Rian..." suara Sarah terdengar hampa, kehilangan ketajaman logikanya. "Kemeja lo. Itu sama persis. Kotak-kotak merah hitam. Kancing putih."
Rian menunduk menatap tubuhnya sendiri. Rasa mual tiba-tiba menyergap ulu hatinya. Kemarin sore, saat dia menemukan kemeja ini tergantung rapi di lemari kamar, dia merasa itu hanya kebetulan yang menguntungkan karena bajunya sendiri basah kuyup. Dia tidak pernah berpikir bahwa dia sedang mengenakan kulit karakter lain.
Perlahan, Rian melepas kancing kemejanya satu per satu. Jari-jarinya kaku. Dia melepas kemeja flanel itu dan menjatuhkannya tepat di atas jaket Bobi. Kini dia hanya mengenakan kaos putih polos yang dipakainya sebagai dalaman.
"Elara," panggil Rian pelan, menatap gadis itu.
Elara membeku. Tangannya menyentuh syal rajut bermotif rusa yang melilit lehernya. Syal yang hangat, yang semalam memberinya rasa nyaman saat tidur. Kini, serat-serat benang wol itu terasa seperti jari-jari dingin yang mencekik lehernya.
Dengan gemetar, Elara mengurai lilitan syal itu dan membiarkannya jatuh ke lantai.
Tumpukan pakaian itu jaket, kemeja, syal tergeletak di lantai kayu perpustakaan. Anehnya, meski tidak ada orang yang memakainya, pakaian-pakaian itu tetap terlihat "berisi". Lengan jaket dan kemeja itu tidak kempes sepenuhnya, seolah masih ada lengan hantu yang mengisinya.
"Kita keluar dari sini," perintah Rian tegas, memecah kelumpuhan mereka. "Sekarang. Ke ruang tengah. Di sana lebih luas."
Mereka berempat bergegas keluar dari perpustakaan, meninggalkan ruangan penuh buku itu tanpa menoleh lagi. Pintu ganda perpustakaan itu tertutup sendiri perlahan di belakang mereka dengan bunyi klik yang halus namun final.
Di ruang tengah, api di perapian sudah mengecil, menyisakan bara merah yang redup. Cahaya siang yang kelabu dari jendela besar tidak banyak membantu menerangi ruangan yang didominasi bayang-bayang itu.
"Ini gila," gumam Bobi, mondar-mandir di depan perapian. Dia memeluk dirinya sendiri. "Ini bener-bener gila. Kita cosplay jadi mayat tahun 80-an tanpa sadar? Siapa yang nyiapin baju-baju itu di lemari? Hantu laundry?"
"Bukan hantu laundry," sahut Sarah tajam, dia duduk di sofa sambil memijat keningnya. "Pelakunya pasti punya akses fisik. Penjaga villa itu... Pak Wira. Dia pasti yang menaruh baju-baju itu di sana sebelum kita datang."
"Buat apa?" tanya Elara. Dia duduk di samping Sarah, merasa butuh kedekatan fisik. "Kenapa dia mau kita pakai baju-baju itu?"
Rian berdiri menghadap jendela, membelakangi mereka. Dia menatap badai salju di luar yang seakan membentuk tembok putih raksasa.
"Supaya 'reka ulang'-nya sempurna," jawab Rian berat.
Semua mata tertuju pada punggung Rian.
"Reka ulang apa maksud lo, Yan?" tanya Bobi.
Rian berbalik. Wajahnya keras, namun matanya menyiratkan rasa bersalah yang dalam. "Adrian. Nama di buku tamu tadi. Dia kakak kakekku. Papa pernah cerita, Paman Adrian itu jenius musik, tapi dia... obsesif. Dia jatuh cinta sama seorang wanita, Elena, penyanyi seriosa."
Rian menarik napas panjang. "Keluarga besar menentang hubungan mereka. Bukan karena kasta atau harta, tapi karena Elena... punya riwayat gangguan mental. Dia sering mendengar suara-suara. Tapi Adrian nggak peduli. Dia bawa kabur Elena. Mereka menghilang bulan Desember 1980. Nggak ada yang pernah melihat mereka lagi."
"Dan sekarang kita ada di tempat terakhir mereka terlihat," sambung Sarah, suaranya bergetar. "Dan entah gimana, kita dipaksa memerankan mereka."
Elara merasakan hawa dingin merambat di punggungnya. "Kalau Rian jadi Adrian... dan aku pakai syal Elena..."
Elara tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
TENG!
Bunyi itu lagi.
Kali ini bukan satu nada. Melainkan serangkaian nada disonan yang kasar.
Jreng... Jreng... Jreng...
Suara itu datang dari piano hitam di sudut ruangan.
Mereka berempat tersentak. Bobi reflek melompat ke balik sofa. Rian langsung pasang badan di depan Elara dan Sarah.
Kain penutup piano itu, yang semalam sudah mereka rapikan kembali, kini perlahan merosot jatuh ke lantai, seolah ditarik oleh tangan tak terlihat.
Tuts piano itu tidak bergerak. Tapi suaranya bergema memenuhi ruangan.
Lalu, hening.
Namun, di atas music stand (penyangga partitur) piano, kini ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada.
Sebuah lembaran kertas partitur musik yang terlihat tua dan rapuh.
"Jangan dideketin, Yan!" teriak Bobi saat melihat Rian melangkah maju. "Itu jebakan!"
Rian tidak berhenti. Dia berjalan perlahan mendekati piano itu. Dia harus tahu. Rasa takutnya kalah oleh dorongan darah dagingnya yang seolah memanggil.
Rian sampai di depan piano. Dia melihat lembaran musik itu.
Judulnya ditulis tangan dengan tinta hitam yang elegan:
"Sonata untuk Elena - Bagian Terakhir"
Tapi bukan itu yang membuat napas Rian tercekat. Di bawah judul itu, ada catatan kaki yang ditulis dengan tinta merah yang masih terlihat basah dan segar. Baunya amis. Darah.
Tulisannya berbunyi:
Salah satu nada harus sumbang. Salah satu nyawa harus hilang. Agar lagunya abadi.
"Apa tulisannya, Yan?" tanya Sarah dari kejauhan.
Rian tidak menjawab. Dia menatap tuts piano itu. Di atas tuts nada C tengah, terdapat bercak merah kental.
Tiba-tiba, Elara berdiri. Dia berjalan mendekati Rian seperti orang yang dihipnotis.
"Elara, jangan," cegah Sarah, mencoba meraih tangan temannya, tapi Elara menepisnya pelan.
Elara berjalan sampai dia berdiri tepat di samping Rian. Matanya tidak menatap piano, melainkan menatap bangku kosong di depan piano itu.
Di mata Elara, bangku itu tidak kosong.
Dia melihat samar-samar, bayangan translusen seorang wanita bergaun putih, Elena, sedang duduk di sana. Bahunya berguncang. Dia menangis tanpa suara. Dan di belakang Elena, bayangan seorang pria berdiri memegang kawat piano yang tajam.
"Dia..." bisik Elara, air mata tiba-tiba mengalir deras di pipinya tanpa dia sadari. "Dia tidak mau main lagi. Jarinya sakit."
Rian menoleh cepat, menatap Elara dengan horor. "El? Kamu lihat apa?"
Elara menoleh ke arah Rian. Tapi tatapan Elara kosong, bukan menatap Rian sebagai sahabatnya.
"Kamu janji nggak akan sakitin aku, Adrian," kata Elara. Suaranya berubah. Lebih berat, lebih dewasa, dan penuh kepedihan yang bukan miliknya.
Rian mundur selangkah, menabrak ujung piano. "El... sadar, El. Ini aku, Rian."
"Kenapa kamu paksa aku main terus?" lanjut Elara, melangkah maju mendesak Rian. "Dentingnya bikin kepalaku sakit. Berhenti... tolong berhenti..."
"Elara!" teriak Sarah.
Sarah berlari dan mengguncang bahu Elara keras-keras.
Guncangan itu memutus koneksi gaib itu. Tubuh Elara tersentak, matanya mengerjap bingung, dan dia langsung lemas. Rian dengan sigap menangkap tubuh Elara sebelum jatuh ke lantai.
"A-aku..." Elara terengah-engah, memegang kepalanya yang berdenyut hebat. "Aku tadi bilang apa?"
"Lo tadi kesurupan, Neng! Asli kesurupan!" seru Bobi dari balik sofa, wajahnya pucat pasi. "Lo manggil Rian 'Adrian'."
Rian memeluk Elara erat, mencoba menyalurkan kehangatan. "Nggak apa-apa. Kamu udah sadar sekarang."
Tapi Rian tahu ini belum selesai. Dia melirik partitur musik di piano itu lagi.
Tinta darah itu berubah. Tulisan 'Salah satu nyawa harus hilang' kini perlahan memudar, berganti menjadi tulisan baru yang muncul goresan demi goresan di depan mata kepala Rian sendiri.
Tulisan baru itu berbunyi:
Pemainnya sudah lengkap. Babak kedua dimulai saat matahari tenggelam.
Rian menatap ke luar jendela. Langit abu-abu mulai menggelap. Matahari sebentar lagi akan tenggelam. Dan malam kedua di Villa Edelweiss akan segera dimulai.
Malam di mana mereka tidak lagi bisa bersembunyi di balik kata "kebetulan"...