Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Sekitar pukul sebelas malam, Riana akhirnya tiba di rumah. Langkahnya terasa berat, tapi hatinya justru lebih berat lagi, nyatanya setelah luka terus bertambah inilah rumah yang bisa ia jadikan tempat berpulang, miris memang!
Ia sempat berharap suaminya sudah pulang, mungkin tertidur di ruang kerja seperti biasanya. Atau... jangan-jangan di kamar kakaknya lagi? Pikiran itu membuat dadanya sesak. Namun, dugaan itu masih terlalu ringan dibanding kenyataan yang ia temui.
“Kenapa sepi sekali? Pada ke mana semua orang?” gumamnya pelan sambil membuka pintu utama dan menyalakan lampu.
Begitu cahaya terang memenuhi ruangan, Riana mengedarkan pandangan. Hanya angin malam yang masuk lewat celah jendela, membuat suasana makin hampa. Pandangannya lalu tertuju pada meja, di mana selembar kertas tergeletak dengan tinta hitam mencolok.
Riana, penyakit Ibu mendadak kambuh. Aku dan kakakmu sudah pergi ke sana. Kalau kamu sudah pulang, segera susul.
Riana terdiam, bibirnya melengkung miring. Penyakit Ibu kambuh? Tiba-tiba saja, tanpa kabar lebih dulu, dan hanya meninggalkan selembar kertas seperti ini? Bukankah ada ponsel? Bukankah lebih masuk akal kalau Septian langsung menelponnya?
Ia menarik napas panjang, lalu merebahkan tubuh di sofa. Pandangannya kosong menatap langit-langit. Rasa lelah bercampur kesal memenuhi dadanya. Lelah dengan tingkah suami yang selalu membuatnya merasa tertinggal, seolah dirinya tak pernah dianggap penting.
“Cukup, Riana... kamu bukan pesuruh. Kamu istrinya,” gumamnya lirih, nyaris seperti menegur dirinya sendiri. “Seorang istri tentu jika berkunjung ke mertua harus bersama suami. Kalau kamu datang sendirian, yang ada hanya ejekan dari mereka.”
Riana menutup mata rapat-rapat, memilih mengabaikan getir di hatinya. Esok hari, ia harus menepati janji dengan dr. Alif untuk menjalani proses seleksi relawan. Ia tak boleh jatuh sebelum sempat berdiri.
Riana menutup mata, mencoba memaksa dirinya terlelap. Namun, bukannya tenang, pikirannya justru bergulir liar. Dalam tidurnya, bayangan yang selama ini menghantuinya kembali datang.
Ia berada di rumah mertuanya. Tubuhnya sibuk mondar-mandir membawa nampan, mencuci piring, hingga membereskan ruangan. Semua orang duduk santai, seolah keberadaannya memang hanya untuk melayani, padahal pembantu ada. Setiap kali ia berhenti sejenak, suara sindiran itu muncul, menusuk telinganya.
“Riana, kapan kamu kasih kami cucu?”
“Anak orang lain saja sudah hamil, masa kamu belum?”
“Kamu ini istri atau cuma numpang nama saja?”
Pertanyaan demi pertanyaan menghujani dirinya, tak memberi ruang untuk bernapas. Tatapan tajam dan tawa mencibir menambah perih yang menusuk ke dalam dada.
Riana hanya berdiri kaku dalam mimpinya, tangannya gemetar memegang piring yang hampir terlepas. Hatinya berteriak ingin melawan, tetapi suaranya terkunci yang terdengar hanyalah tawa sinis dan ejekan yang semakin keras, bergema seperti gema di ruangan kosong.
“Cukup…” bisiknya lirih dalam tidur. Tubuhnya gelisah di sofa, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Dengan terengah, Riana akhirnya terbangun. Matahari pagi sudah menembus tirai jendela, menyilaukan matanya yang sembab. Ia mengusap wajahnya perlahan, masih bisa merasakan sisa basah air mata di pipi. Lalu matanya menyapu sekitar dan keadaan masih sama, tidak ada orang.
“Dulu kamu benar-benar bodoh, Riana. Demi mendapatkan pengakuan dari mertua dan istri berbakti, kamu rela merendahkan dirimu begitu rendah,” ucapnya pelan pada diri sendiri, seolah menegur bayangan masa lalu.
Ia duduk bersandar, menarik napas panjang. Pagi itu, rasa letih masih ia rasakan, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam hatinya, sebuah tekad kecil yang mulai tumbuh.
“Sekarang cukup. Aku harus hidup untuk diriku sendiri,” gumamnya sambil menatap sinar matahari yang masuk ke ruang tamu. Kali ini ia tak ingin terus terjebak dalam penyesalan.
Riana beranjak dari sofa, membersihkan diri, lalu bersiap dengan pakaian sederhana. Hatinya masih berat, tapi langkahnya begitu mantap untuk menata masa depan.
***
Di rumah sakit, Riana melangkah masuk ke ruang pertemuan relawan dengan langkah ragu. Ruangan itu cukup ramai, dipenuhi suara kertas, tawa kecil, dan derap langkah orang-orang yang sibuk mencari tempat duduk. Tidak heran karena setelah menjadi relawan akan diangkat langsung menjadi pegawai tetap di rumah sakit internasional ini, jadi banyak yang berebut.
Ia menunduk, berusaha mencari kursi kosong di barisan agak belakang. Namun, sebelum sempat duduk, suara nyaring seorang perempuan menyapanya.
“Kamu Riana? Lima tahun vakum, sekarang mau ikut jadi relawan?” Nada suaranya terdengar ketus.
Riana menoleh, mendapati seorang wanita berambut pendek dengan tatapan menilai dari ujung kepala sampai kaki. “Iya… maaf, apa ada masalah?” jawabnya singkat, mencoba ramah.
“Ya nggak masalah, hanya saja aneh... aja. Orang yang udah lama hilang, tiba-tiba muncul lagi. Biasanya sih cuma numpang nama, sebentar juga nyerah,” ucap perempuan itu lagi, suaranya sengaja dibuat agak keras agar didengar yang lain.
Beberapa orang ikut melirik ke arah Riana. Wajahnya memanas, tapi Riana memilih diam menganggap orang itu seperti angin lalu. Seingat Riana, dulu wanita itu adalah saingannya saat magang, jadi setiap ucapannya yang membuat sakit sudah biasa terdengar ditelinga.
“Kalau memang nggak sanggup, mending nggak usah ikut dari awal. Kan kasihan juga, yang benar-benar niat malah tersisih gara-gara ada yang setengah hati.”
Namun, kata-kata selanjutnya menampar Riana. Ia menggenggam erat tas di pangkuannya, menahan emosi yang hampir meluap. “Saya datang bukan untuk main-main,” suaranya rendah, tapi bergetar.
Perempuan itu mendengus. “Ya semoga aja bener. Soalnya banyak yang sok-sokan jadi pahlawan, tapi ujung-ujungnya nyusahin tim.”
Riana menunduk, mencoba mengatur napas. Hatinya perih, kenapa saat ingin bangkit ada saja kata hinaaan, diremehkan, seolah keberadaannya hanya sebagai beban?
Tepat ketika keheningan menjadi ketegangan, suara laki-laki penuh wibawa terdengar dari depan.
“Cukup.”
Semua kepala serempak menoleh.
Riana pun mengangkat wajahnya, dan di sanalah ia melihat sosok yang sudah lama ia tidak pernah temui, hanya kadang berbincang lewat ponsel untuk menanyakan beberapa situasi saja.
dr. Alif.
Pria berjas putih itu menatap tajam ke arah kerumunan, lalu sedikit melunak saat matanya bertemu dengan Riana.
“Saya tidak suka ada penilaian sebelum proses dimulai. Kita di sini sama-sama belajar, bukan untuk menghakimi.” Suaranya tenang, tapi penuh wibawa.
Perempuan berambut pendek itu terdiam, wajahnya memerah karena teguran.
Sementara Riana… ia justru merasakan sesuatu bergetar di dadanya. Tatapan dr. Alif terlalu familiar, terlalu hangat, seperti tatapan yang pernah membuatnya merasa dihargai di masa lalu.
Satu jam kemudian, sesi pengenalan dan simulasi akhirnya usai. Para calon relawan mulai berhamburan keluar ruangan, sebagian sibuk ngobrol satu sama lain, sebagian lagi pergi ke kantin, karena setelah ini akan ada proses selanjutnya hingga pengumuman siapa saja yang lolos.
Riana tetap duduk di kursinya, membereskan kertas sambil menenangkan diri. Ucapan relawan perempuan tadi masih terngiang di kepalanya, meninggalkan rasa getir.
“Riana.”
Suara itu membuatnya mendongak. Tepat di hadapannya, dr. Alif berdiri dengan senyum tipis. Senyum yang dulu waktu di masa kuliah sering membuatnya merasa tidak sedang berbicara dengan seorang dosen, melainkan teman yang benar-benar peduli.
“Masih sama seperti dulu. Kalau ada yang bicara gak enak didengar, kamu lebih memilih diam,” ucapnya pelan.
Riana tertegun. “Dokter… masih ingat?”
Alif mengangguk, tatapannya teduh. “Bagaimana mungkin saya lupa? Mahasiswi yang selalu keras kepala, tapi paling sering kelihatan lelah. Saya ingat benar.”
Ucapan itu membuat dada Riana terasa hangat sekaligus sesak. Entah kenapa, ia merasa ingin menangis. Sudah lama sekali tidak ada yang benar-benar memperhatikan keadaannya. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan getaran di matanya. “Itu sudah lama, Dok. Saya bahkan… hampir lupa siapa diri saya dulu.”
Alif menatapnya lekat, lalu duduk di kursi kosong di sampingnya. “Kalau kamu lupa, biar saya yang ingatkan. Kamu bukan orang yang mudah menyerah, Riana. Kamu pantas berdiri, bukan hanya jadi bayangan di belakang orang lain.”
Riana membeku. Kata-kata itu tepat menyentuh luka yang ia simpan rapat-rapat.
Sementara itu, Alif tersenyum lembut, meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tak pernah ia ucapkan. “Selamat datang kembali di tempat yang seharusnya memang kamu pilih sejak dulu.”
"Ini terlalu dini untuk mengucapkan selamat datang Dok. Belum tentu saya lolos seleksi," jawab Riana.
Alif tersenyum, "Riana, jangan terlalu merendah. Cukup darah rendah saja yang bikin sakit kepala, ok?"
Akhirnya Riana bisa ikut tersenyum dengan kalimat receh dokter Alif, "Dokter Alfi bisa aja."
Keduanya berbicara hangat meskipun ada jarak yang terus dijaga, mengingat status Riana yang kini sudah menyandang sebagai istri, tapi dokter Alif tidak ingin melepaskan Riana begitu saja, "Kita sudah lama tidak bertemu, aku traktir kopi di seberang rumah sakit bagaimana?"
"Tidak usah dok, sebentar lagi proses seleksi akan segera dimulai."
"Hanya sebentar, aku lihat mata kamu juga ngantuk. Butuh sedikit kafein."
Merasa apa yang dikatakan Alif ada benarnya. Riana pun menyetujui ajakan itu. Sayangnya setelah keduanya keluar dari ruangan suara dengan penuh tekanan memanggil.
"Riana!"