Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SELESAI
"Mbak Livia... mas Alex tidak ada di sini," Ujarnya dengan suara pelan, seakan takut ada orang lain yang ikut mendengar. Ada kegelisahan di matanya.
Berbeda dengan Livia. Meskipun dia merasa kaget, Aletta membawanya ke rumah Ishana tapi dia berusaha terlihat tenang dan acuh.
"Kamu tidak mempersilahkan kami masuk?" Aletta yang bicara dengan tatapan sinis.
Ishana menoleh padanya, lalu melebarkan daun pintu. "Silahkan masuk."
Awalnya Livia enggan masuk. Apalagi entah kenapa tiba-tiba dia merasa mual. Entahlah, mungkin mual itu bawaan bayi atau bagaimana.
"Kenapa, Liv?" Tanya Aletta, melihat gejala aneh Livia.
"Nggak apa-apa."
"Ya udah, ayo masuk. Kita harus selesaikan ini sekarang juga. Biar perempuan tidak tahu diri ini tahu siapa kamu." Ujar Aletta yang terus memperlihatkan ketajamannya mulutnya di depan Ishana.
sofa. Tanpa dipersilahkan, Aletta membawa Livia duduk di
"Kamu juga duduk!" Katanya galak, pada Ishana.
"Kamu pasti sudah menebak kan, kedatangan kami ke
Sini? Dan kamu juga pasti sudah tahu siapa wanita ini."
Aletta mengarahkan tangannya pada Livia. Sementara Isha terlihat tetap menundukkan kepala.
"Kalau kamu kurang paham, Livia ini istrinya Alex.
SAH, MENURUT NEGARA DAN AGAMA! Kamu paham kan itu apa artinya? Artinya Alex bukan seorang single! DIA, SUAMI ORANG! PAHAM?!" Suara Aletta sangat emosional.
"Dan kalau kamu ingin tahu siapa saya, saya Aletta kakak tertua Alex."
Ishana semakin tertunduk dalam. Dia berlagak menjadi wanita yang tersakiti.
"Kami ke sini untuk menuntut kamu bicara, bukan melihat kamu mengeluarkan air mata buaya!"
"Tolong, Mbak, jangan bicara kasar seperti itu sama saya. Bukan salah saya kalau Mas Alex mendekat pada saya dan Keysha. Dia yang tidak bahagia dengan istrinya. Lagian kami dekat karena Mas Alex sangat menyayangi Keysha. Dia sangat merindukan menjadi seorang ayah yang tidak bisa dikabulkan oleh istrinya."
Ishana mulai berani. Dan darah Aletta semakin mendidih.
"Kamu ini seorang guru, kan? Seorang pendidik! Apa yang mau kamu ajarkan jika perangai gurunya malah seperti maling. Maling laki orang!"
"Cukup, Mbak! Jangan ngatain saya terus. Mas Alex sudah dewasa. Dia bisa merasakan di mana tempat yang lebih nyaman. Dia bahkan tidak bisa terima kalau istrinya mandul." Bantah Ishana setengah berteriak.
Livia berdiri, menghampiri Ishana. Dia sudah tak bisa menahan emosi lagi.
Plak
Plak
Dua tamparan di kiri kanan pipi Ishana mendarat dengan mulus dan keras.
Ishana dan Aletta kaget. Wajah Ishana merah seperti kepiting rebus. Antara bekas tamparan dan rasa marah.
"Kamu berani menampar saya? Saya tak akan tinggal diam! Akan saya visum bekas tamparan ini dan akan saya laporkan tindakan kamu!" Ancam Ishana, dengan tangis yang sudah tak bisa ditahan.
"Kamu pantas mendapatkan lebih dari tamparan itu. Kalau perlu aku robek mulutmu!"
Aletta kaget melihat sisi lain dari Livia. Baru kali ini dia melihat Livia semarah ini. Meskipun dia memang termasuk tipe wanita yang tegas, tapi tak pernah melihatnya seperti ini..
"Kalau mau lapor-laporan, ayo! Akan aku laporkan balik kamu sebagai maling. Maling suamiku! Dan aku ingin tahu, bagaimana nanti reputasimu sebagai guru taman kanak-kanak." Tantang balik Livia dengan dada naik-turun berpacu dengan emosi.
Ishana tak berkutik, hanya tangisnya yang semakin keras.
Di tengah keributan, tiba-tiba pintu terbuka. Alex dan Keysha berdiri di ambang pintu. Keduanya kaget melihat suasana di dalam. Bahkan anak kecil itu berlari memburu ibunya ketika melihat Ishana tengah menangis.
"Apa yang kalian lakukan di sini? Kalian apakan Ishana?"
Alex marah. Tatapan matanya tajam pada Livia dan Aletta.
"Jangan menyalahkan kami, apalagi Livia! Mulut wanita ini tajam. Sangat pantas kalau sampai Livia merobeknya."
Aletta berdiri sambil berkacak pinggang dan menantang balik tatapan tajam adiknya.
"Memangnya apa salah dia? Aku yang datang sendiri ke sini karena di sini aku merasa nyaman dan merasa dihargai."
"Iya, sampai kamu cerita sama perempuan ini kalau
istrimu mandul?!" Teriak Aletta.
Alex terkesiap. Sama sekali dia tak pernah mengeluhkan apa-apa pada Ishana tentang rumah tangganya. Dia hanya mengatakan kalau dirinya merasa nyaman berdekatan dengan Keysha. Bisa mencurahkan kasih sayang yang tak pernah bisa ia curahkan pada putri kandungnya. Itu saja.
Alex menoleh pada Ishana, ingin meminta penjelasan.
Tapi wanita itu terus tertunduk.
"Ishana, bisa kamu jelaskan?"
"Mas, tolong pergi dari sini. Bawa istri dan kakakmu.
Jangan pernah datang lagi ke sini sebelum urusan kalian selesai!"
Ishana mengalihkan pembicaraan. Dia sudah merasa
Terpojok. Sambil menggendong Keysha yang ketakutan, dia pergi meninggalkan ruang tamu.
"Kak Letta, tolong antar aku pulang. Kepalaku pusing." Kata Livia. Dia melangkah lebih dulu ke pintu.
Tak sedikit pun menoleh pada Alex.
"Liv, tunggu!" Alex meraih tangan istrinya. Tapi Livia langsung menepisnya, kasar.
"Jangan sentuh aku!" ucapnya dingin dan terus melangkah ke luar. Aletta pun mengikutinya. Sebelum keluar, dia berdiri di hadapan adiknya.
"Kamu pasti akan menyesal. Ingat perkataanku!"
Alex terdiam. Dia merenungkan ucapan kakaknya. Lalu menarik napas dalam dan menghembuskannya sekaligus.
Setelah itu dia pun keluar tanpa berpamitan pada Ishana.
Sepanjang perjalanan pulang, Livia nampak diam saja.
Dia sedang merasakan kepalanya yang berdenyut. Belum lagi tubuhnya yang lemas, membuatnya terkulai duduk di sisi Aletta yang tengah menyetir.
"Liv, kamu sakit? Kita mampir ke rumah sakit ya?" tanya Aletta hati-hati.
Tapi kepala Livia menggeleng lemah.
"Nggak usah, Kak. Aku cuma pusing aja. Nanti setelah ditidurkan juga ilang sakit kepalanya."
"Kamu yakin?"
Kali ini Livia mengangguk.
"Saran Kakak, coba kamu pikirkan lagi tentang perpisahan kalian. Jangan sama-sama egois. Kakak yakin kalian masih saling mencintai. Kamu jangan kalah sama si pelakor itu!"
Livia hanya memejamkan mata sambil bersandar di sandaran kursi mobil. Dia tidak menjawab lagi.
Tangannya menggenggam perutnya yang terasa sedikit kencang. Aletta sempat melirik, tapi memilih diam.
Sesampainya di rumah, Aletta membantu Livia masuk ke dalam dan duduk di sofa. Livia terlihat lemas, tangannya memegang pelipis seperti menahan denyut yang tak kunjung reda.
"Kamu butuh apa, Liv? Mau teh hangat? Atau periksa dulu ke dokter?" tanya Aletta, kali ini dengan suara lebih lembut dari biasanya.
Livia menggeleng pelan. "Nggak usah... aku cuma butuh istirahat."
Aletta duduk di sampingnya, diam sejenak sebelum akhirnya berkata lirih, "Aku nggak tahu harus ngomong apa... Tapi aku tahu kamu perempuan yang kuat. Dan aku tahu, kamu sebenarnya masih sangat mencintai Alex."
Livia tidak menjawab. Matanya tertuju ke depan, kosong. Ia sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
"Kalau kamu butuh aku, bukan sebagai kakaknya Alex tapi sebagai sesama perempuan yang muak lihat perempuan lain berani-beraninya ganggu rumah tangga orang... aku ada, Liv."
Kata-kata itu sempat membuat mata Livia sedikit
Berkaca-kaca. Tapi ia cepat mengalihkan pandangan. Emosinya masih terlalu penuh. Sakit kepalanya masih berdenyut.
"Aku pernah membebaskan mas Alex untuk memilih. Aku atau anak kecil itu. Dan secara tersirat mas Alex lebih memilihnya. Otomatis diapun akan selalu dekat dengan ibu anak itu. Maka aku pun harus melepaskannya."
Aletta menatap sedih. Ternyata masalah mereka tak sesederhana yang dia pikirkan.
Mungkin benar, semua berawal dari keterlenaan Livia dalam mengejar karier. Tapi Alex juga salah, telah membagi hatinya.
"Terimakasih atas perhatian kak Letta. Bukan maksudku mengusir, aku hanya ingin beristirahat dulu sebentar."
Aletta mengangguk. "Aku nggak akan maksa. Istirahat ya. Kakak pulang dulu."
Livia perlahan bangkit menuju kamar. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi dia tidak ingin bicara lebih banyak. Kepalanya terlalu penuh, dan sekarang dia cuma ingin berbaring dan menenangkan diri.
Setelah kejadian di rumah Ishana, Alex tetap menyalahkan Livia yang sudah berani mendatangi rumah Ishana. Pertengkaran mereka pun tak bisa lagi dihindari.
"Harusnya kamu tak mengganggu ketenangan orang lain. Semua yang terjadi karena kesalahanmu. Kamu harus sadari itu!" Ujar Alex dengan segala tuduhannya.
"Aku sudah menyadarinya dan aku sudah coba ingin memperbaiki diri. Tapi kamu sudah terlalu jauh melangkah dari komitmen pernikahan kita. Aku tak bisa terima. Seperti keinginanmu, ayo kita segera bercerai. Aku tak ingin ada drama apapun lagi di hidupku. Sudah... cukup!"
"Pernikahan kita memang sudah tak bisa diselamatkan. Kamu ingin berubah menjadi lebih baik dan memperbaiki rumah tangga kita, cuma omong kosong!"
Tuduh Alex lagi.
Dan akhirnya memang sudah tak ada yang bisa dipertahankan lagi. Alex pun, melalui Anton pengacara sekaligus sahabatnya, mendaftarkan gugatan cerai.
Prosesnya tidak berlangsung lama. Livia tak mempersulit. Dia datang ke pengadilan dengan kepala tegak, tenang, dan tetap sopan. Tak ada drama, tak ada tangis. Hanya raut wajah lelah yang sesekali muncul di balik ekspresinya yang datar.
Sidang pertama berjalan singkat. Livia menyatakan tidak ingin menuntut harta gono-gini. Tidak juga menuntut apa pun dari Alex. Semuanya hanya ingin dia sudahi dengan baik.
Sidang kedua dan mediasi pun dilewati. Bahkan mediator yang ditunjuk pengadilan sempat bertanya, "Apakah tidak ada ruang untuk berdamai?"
Livia hanya menggeleng sambil berkata pelan, "Saya sudah mencoba bertahan, tapi tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Ketidak cocokan yang seringkali menimbulkan perselisihan. Jadi lebih baik, dari pada terus saling menyakiti, lebih baik ikatan pernikahan ini
Segera disidahi."
Alex hanya bisa menunduk.
Dan pada akhirnya, saat sidang putusan digelar, majelis hakim mengesahkan perceraian mereka.
"Dengan ini, majelis memutuskan sahnya perceraian antara saudara Alex Chandra Wiguna dan saudari Livia Arnethya"
Livia menghembuskan napas panjang. Tak ada tangis, tapi ada kekosongan di matanya.
Sementara Alex, yang duduk di sisi berseberangan, hanya bisa memandangi wanita yang dulu dia cintai... dan mungkin masih ia cintai... berjalan meninggalkan ruang sidang tanpa menoleh sedikit pun.
Setelah semuanya selesai, Livia keluar dari gedung pengadilan dan disambut Aletta yang sudah menunggunya. Dia sengaja kembali datang dari Solo.
"Sudah selesai?" tanya Aletta lembut.
Livia mengangguk pelan.
"Selesai."