Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Bahaya yang Mengintai
Rou Han berdiri di seberang, napasnya berat, tangan masih menggenggam gagang pedangnya. Tatapannya menajam saat melihat Yanzhi masih berdiri, meski goyah, meski bersimbah darah.
"Kau… masih bisa berdiri?" gumamnya pelan.
Di tribun penonton, sebagian murid terdiam. Lainnya bersorak. Tapi sorakan itu terdengar ragu, seakan mereka pun tak yakin siapa yang benar-benar menang.
Di atas panggung batu, para tetua dari dua sekte tampak saling berpandangan. Beberapa mengangguk tipis, yang lain masih menilai.
Lu Ming berdiri perlahan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya sulit ditebak.
Pengawas Pertarungan melangkah ke tengah arena. Suaranya tegas, membawa ketegangan ke puncaknya.
"Pertarungan antara murid Rou Han dari Sekte Baiyuan dan murid Yanzhi dari Sekte Tianhan… dimenangkan oleh Rou Han."
Sorak-sorai langsung meledak, mengisi udara dengan kegembiraan dan rasa lega. Tapi tidak semua bersorak. Banyak pula yang menatap ke arah Yanzhi… dengan rasa hormat.
Yanzhi hanya menghela napas pendek, masih berdiri meski lututnya hampir menyerah. Darah menetes dari pelipisnya, tapi matanya tetap menyala.
Rou Han menatapnya beberapa saat, lalu menyarungkan pedangnya dan membalik badan.
"Kau keras kepala," ucapnya tanpa menoleh. "Tapi aku tidak membenci itu."
Lalu ia berjalan menjauh, membiarkan suasana tetap mendidih di belakangnya.
Di sisi arena, Lu Ming turun dari tribun.
Yanzhi menunduk sedikit, hendak menyapa, tapi tubuhnya goyah.
Sebelum ia jatuh, Lu Ming sudah di sisi, menopangnya tanpa banyak bicara.
"Kau bisa jalan sendiri, atau aku harus menggendongmu?" tanyanya dengan datar, tapi mata itu meneliti terlalu dalam.
Yanzhi tersenyum lemah.
"Jalan sendiri... tapi mungkin dengan sedikit bantuan."
Lu Ming mengangguk. "Sedikit. Kau tahu caranya berdiri. Tapi kau tak harus selalu sendiri."
Dan mereka berjalan keluar dari arena, meninggalkan sorak-sorai yang belum mereda.
Tapi jauh di dalam tubuh Yanzhi, suara itu terdengar lagi, kali ini bukan dengan ejekan… tapi perlahan.
"Aku tidak menyangka kau akan memilih jalan itu."
Yanzhi menjawab dalam hati, lirih dan jujur.
"Aku juga tidak."
Langkah Yanzhi goyah, tapi ia tetap berdiri.
Hari ini, ia kalah. Tapi bukan menyerah.
Ia bertahan, dan itu cukup.
Roh dalam dirinya berkata pelan,
"Untuk pertama kalinya… kau membuatku diam."
Yanzhi hanya tersenyum tipis, lalu melangkah pergi.
Dengan luka, dengan nyala api kecil yang belum padam.
......................
Cahaya pagi tersaring lembut lewat tirai kabut, membungkus Sekte Tianhan dalam kesunyian. Kabut tipis menyelimuti halaman utama, seolah ikut menyerap sisa-sisa ketegangan dari duel hebat kemarin. Di sebuah bangunan kecil di sisi timur, Yanzhi terbaring diam di atas dipan kayu. Seluruh tubuhnya dibalut perban, dan napasnya masih terdengar berat. Tapi matanya terbuka, menatap langit-langit, penuh pikiran yang tak kunjung reda.
Suara langkah pelan mendekat. Lu Ming memasuki ruangan, membawa semangkuk bubur hangat. Ia meletakkannya di meja samping tanpa banyak bicara.
"Kau tidak perlu berdiri, Yanzhi. Tapi makanlah sebelum suhu tubuhmu benar-benar turun."
Yanzhi hanya bergumam pelan, lalu mencoba duduk. Tubuhnya menegang, tapi ia bertahan.
"Kau seharusnya tidak bertarung sampai titik itu," lanjut Lu Ming. "Tapi kau tetap melakukannya. Kenapa?"
Yanzhi menghela napas. "Aku hanya tidak ingin… kalah bukan sebagai diriku sendiri."
Lu Ming menatapnya dalam diam. "Itu harga yang terlalu tinggi untuk harga diri."
"Mungkin." Yanzhi memaksakan senyum tipis. "Tapi setidaknya aku tahu aku masih berdiri."
......................
Di luar bangunan, bisik-bisik mulai menyebar di antara murid-murid. Banyak yang membicarakan duel Yanzhi dan Rou Han. Tapi ada pula yang mulai mempertanyakan… dari mana kekuatan Yanzhi yang bisa bertahan dari Tebasan Seribu Li?
Di antara kerumunan itu, seorang murid lelaki dengan tatapan tajam berdiri menyilangkan tangan di bawah pohon maple. Namanya Wei Ren. Ia berasal dari keluarga kecil, tapi memiliki teknik pengamatan yang luar biasa.
"Tidak wajar," gumamnya. "Kekuatan itu tidak murni milik Yanzhi."
Sementara itu, di ruangan pelatihan para tetua, percakapan lain terjadi.
"Anak itu menyembunyikan sesuatu," ucap salah satu tetua. "Saat serangan terakhir Rou Han datang, ada aura aneh yang sempat muncul di sekelilingnya. Bukan api biasa."
"Aura roh kuno?" tanya Tetua Fan, menatap sesama tetua dengan pandangan curiga.
"Bisa jadi. Kita perlu memantau anak itu lebih dekat. Tapi jangan membuatnya menyadari."
Lu Ming, yang duduk di sudut ruangan, tetap diam. Tapi jemarinya mengepal pelan di balik lengan bajunya.
......................
Malamnya, saat Yanzhi tertidur, roh dalam dirinya berbicara pelan.
"Kau tahu mereka mencium sesuatu. Mereka akan menggali lebih dalam."
"Biarkan saja. Aku tidak akan menggunakan kekuatanmu sembarangan."
"Kalau mereka menemukan aku?"
"Maka mereka akan memburumu. Bukan aku."
Roh itu tertawa kecil. "Lucu. Tapi kau salah. Kalau aku terbongkar, kau juga akan ikut terbakar."
Di balik ketenangan yang semu, sesuatu mulai bergerak. Dan Yanzhi segera menyadari, sekte tidak akan membiarkannya tenang terlalu lama.
......................
Beberapa hari kemudian, para murid menerima pemberitahuan: mereka akan dikirim dalam misi pelatihan luar sekte. Sebuah wilayah berbukit di timur, dikenal dengan nama Lembah Angin Gelap. Misi itu tampak biasa, pengumpulan tumbuhan roh dan pengawasan binatang buas. Tapi bagi beberapa orang, misi ini adalah cara untuk memata-matai… dan menguji.
Yanzhi berdiri di pelataran keberangkatan bersama beberapa murid lainnya. Termasuk Wei Ren, yang sejak awal memelototinya.
"Kau tidak usah terlalu percaya diri," gumam Wei Ren saat melintas. "Dunia luar tidak seaman arena duel."
Yanzhi tidak menjawab. Tapi dalam dadanya, nyala api kecil itu kembali bergetar.
Dan di kejauhan, Lembah Angin Gelap menanti. Bukan hanya ladang pelatihan… tapi juga ladang rahasia yang mulai bangkit ke permukaan.
......................
Waktu berlalu, dan pagi di hari penentuan itu pun tiba. Dengan langkah berat dan hati yang tak sepenuhnya tenang, para murid Sekte Tianhan berdiri di hadapan lembah yang diselimuti bisikan masa lalu...
Langit kelabu menyelimuti puncak bukit, dan kabut lembah tampak seperti napas makhluk purba yang tertidur lama. Di depan mulut Lembah Angin Gelap, puluhan murid berdiri berbaris, sebagian tegang, sebagian tak sabar.
Lu Ming berdiri di atas batu tinggi, jubahnya berkibar pelan ditiup angin. Tatapannya menyapu satu per satu murid di bawahnya.
"Lembah Angin Gelap hanya terbuka selama tiga hari," suaranya bergema, tenang tapi tegas. "Kalian masuk untuk mengumpulkan Jade Asap Hitam. Kalian keluar saat waktu habis atau kalian tidak keluar sama sekali."
Beberapa murid menelan ludah. Yanzhi, berdiri di tengah kerumunan, menarik napas pelan.
"Jangan ceroboh," kata Lu Ming, sorot matanya tertuju pada kelompok tertentu. "Jika ada yang terluka parah atau hilang… kami hanya akan menunggu di luar. Ini bukan tempat untuk main-main."
Lu Ming menunjuk dua senior lain di dekatnya.
"Aku akan mengawasi dari luar bersama para pengawas. Kalian yang masuk ke dalam harus bertanggung jawab atas pilihan dan nyawa kalian sendiri."
Setelah memberi tanda, kelompok murid mulai bergerak.
Yanzhi masuk dalam kelompok utama bersama:
Mei Jiu, gadis pendiam bersenjata jarum perak.
Bai Lin, murid tenang dengan teknik pedang ringan.
Dua murid latar lain sebagai penyokong.
Kelompok mereka diarahkan menuju area dalam lembah, tempat konsentrasi Jade Asap Hitam paling tinggi.
Yanzhi tetap diam, tapi napasnya perlahan. Ia bisa merasakan roh di dalam tubuhnya menggeliat, seperti binatang buas yang mencium aroma tanah lama yang dikenalnya.
"Tempat ini…" bisik suara itu dalam benaknya,
"…mengandung jejak kekuatan kuno. Sesuatu yang pernah kurasakan… sebelum aku disegel."
Yanzhi menggenggam erat kantung kecil di pinggangnya.
"Jangan ganggu aku di sana," bisiknya dalam hati.
"Kalau kau lemah, aku tak akan tinggal diam."
Mereka terus berjalan, mengikuti jalur berbatu yang kian sunyi.
Tak lama kemudian, suasana mulai berubah, bukan hanya di sekitar, tapi juga di dalam diri tiap murid.
Angin berembus pelan di pelataran batu, membawa hawa lembap dari hutan yang mengelilingi jalur menuju lembah. Para murid berdiri dalam diam, menyembunyikan rasa gugup masing-masing. Tapi seperti biasa, suara-suara pelan mulai mencuat juga.
"Apa kau dengar?" bisik salah satu murid pria. "Katanya, lembah itu pernah jadi tempat pertapaan siluman tingkat tinggi."
"Dan banyak yang tak pernah kembali…" timpal murid lain dengan nada penuh tekanan.
Mei Jiu, si gadis jarum perak, menoleh ke arah Yanzhi. "Kau kelihatan tenang. Apa kau nggak takut?"
Yanzhi menarik napas pelan. "Kalau aku bilang iya, kau akan bilang aku pengecut. Kalau aku bilang tidak, nanti aku dipanggil sok kuat."
Mei Jiu tersenyum kecil. "Setidaknya kau tahu kapan harus jujur. Semoga kau tidak mati di dalam."
Roh dalam tubuh Yanzhi berdesis pelan.
"Tentu saja. Sudah lama sejak kita masuk ke tempat di mana nyawa bisa hilang karena langkah salah."
Yanzhi tak menjawab, hanya melangkah bersama kelompoknya.
...****************...