HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Kebetulan yang Terlalu Sering
Seminggu setelah pertemuan di pasar tradisional, Dewanga mulai menyadari sesuatu yang aneh.
Tini sering sekali "kebetulan" bertemu dengannya.
***
Hari Selasa siang, Dewanga sedang membeli gas elpiji di toko langganannya.
"Mas Dewa?"
Suara itu membuatnya menoleh. Tini berdiri di depan toko, membawa tas belanja lusuh.
"Bu Tini?" Dewanga sedikit kaget. "Beli gas juga, Bu?"
"Iya, Mas. Kebetulan gas di rumah habis." Tini tersenyum. "Mas juga beli gas ya?"
"Iya, Bu. Buat jualan."
Mereka mengobrol sebentar—tentang harga gas yang naik, cuaca yang panas, hal-hal sepele.
Tapi ada sesuatu yang membuat Dewanga merasa... ini terlalu kebetulan.
***
Dua hari kemudian, Kamis sore, Dewanga sedang menunggu angkot di perempatan jalan.
"Mas Dewa!"
Lagi. Suara yang sama.
Tini turun dari angkot yang baru saja berhenti, Eka di sampingnya.
"Bu Tini... lagi dari mana?" Dewanga bertanya sambil membantu Eka turun.
"Dari pasar, Mas. Beli sayur buat besok." Tini mengangkat kantong plastik berisi kangkung dan wortel. "Mas mau kemana?"
"Mau beli bahan baku. Tepung udah habis."
"Oh... kebetulan ya, Mas. Kita ketemu lagi."
Dewanga hanya tersenyum kecil. *Kebetulan lagi.*
***
Sabtu malam, seperti biasa, Dewanga berjualan di pasar malam.
Tini datang lebih awal dari biasanya—sekitar pukul tujuh malam, padahal biasanya ia datang pukul delapan atau sembilan.
"Mas, belum ramai ya?" Tini berdiri di samping gerobak, menatap sekeliling yang masih sepi.
"Iya, Bu. Masih awal. Biasanya rame jam delapan ke atas."
"Oh..." Tini tidak langsung pergi. Ia malah berdiri di sana, sesekali membantu Dewanga merapikan nampan gorengan.
"Bu, gak pulang dulu? Eka di rumah sendirian kan?" Dewanga bertanya dengan nada khawatir.
"Gak papa, Mas. Eka nginep di rumah tetangga malam ini. Anak tetangga ultah, jadi Eka main di sana."
"Oh... gitu."
Hening sebentar.
Lalu Tini bertanya dengan nada hati-hati. "Mas Dewa... boleh gak saya nemenin Mas di sini? Biar gak sepi."
Dewanga sedikit ragu. Tapi ia tidak enak menolak. "Boleh, Bu. Tapi nanti capek lho berdiri lama."
"Gak papa. Saya biasa." Tini tersenyum.
Dan malam itu, Tini menemani Dewanga hingga pukul sebelas malam.
Mereka mengobrol panjang—tentang kehidupan, tentang masa lalu, tentang mimpi-mimpi yang hilang.
"Mas Dewa dulu pengen jadi apa sih?" Tini bertanya sambil duduk di pinggir trotoar.
Dewanga terdiam sebentar. "Dulu... aku pengen selesaiin sekolah. Kuliah. Jadi... entah lah. Mungkin guru. Atau arsitek. Tapi... yaudah lah. Takdir gak di situ."
Tini menatapnya dengan pandangan lembut. "Mas... pasti susah ya. Harus berhenti sekolah gara-gara keadaan."
"Biasa aja, Bu. Semua orang punya masalah sendiri-sendiri."
"Iya sih. Tapi Mas tetep kuat. Mas tetep berjuang. Itu... itu hebat, Mas."
Dewanga hanya tersenyum pahit. "Gak ada pilihan lain, Bu."
Tini menggeser duduknya sedikit lebih dekat. "Mas Dewa... aku boleh bilang sesuatu?"
"Boleh, Bu."
"Mas... orang baik kayak Mas... pasti suatu hari nanti dapet kebahagiaan. Aku yakin itu."
Dewanga menatap Tini. Ada sesuatu di mata wanita itu—sesuatu yang membuatnya sedikit tidak nyaman, tapi juga... hangat.
"Terima kasih, Bu."
***
Pertemuan-pertemuan "kebetulan" itu terus berlanjut.
Tini mulai sering mampir ke tempat Dewanga berjualan—kadang beli gorengan, kadang hanya ngobrol sebentar, kadang duduk menemani hingga larut malam.
Dewanga mulai terbiasa dengan kehadiran Tini.
Ia mulai merasa... ada yang peduli padanya.
Ada yang mendengarkan ceritanya tanpa menghakimi.
Ada yang melihatnya bukan sebagai "kuli" atau "pedagang kecil," tapi sebagai Dewanga—manusia yang berjuang.
Dan perlahan, tanpa ia sadari, hatinya mulai terbuka.
"Bu Tini... orangnya baik," bisik Dewanga pada diri sendiri suatu malam setelah Tini pulang.
Ia tidak tahu.
Bahwa semua "kebetulan" itu bukan kebetulan.
Bahwa Tini sengaja mencari tahu jadwal Dewanga, rute Dewanga, tempat-tempat yang sering Dewanga datangi.
Bahwa Tini sedang memasang jaring—perlahan, hati-hati, penuh perhitungan.
Dan Dewanga, yang terlalu lelah dihina dunia, terlalu lapar akan penerimaan...
Sudah mulai terjerat.