NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26

Kaki Renzi, yang selama ini duduk dengan sikap santai, perlahan bergerak ke sisi. Kaki kanannya, terbungkus dalam celana trousers bahan premium, dengan halus menyentuh kaki kiri Karmel.

Karmel menegang. Dia tidak menarik kakinya—tidak di hadapan Hartono—tapi matanya melirik tajam ke arah Renzi. Renzi tidak menatapnya; dia sedang asyik memotong dagingnya, seolah tidak terjadi apa-apa.

Lalu tangan Renzi yang kiri—yang selama ini berada di pangkuannya—perlahan bergerak. Di bawah naungan taplak meja yang panjang, tangan itu merayap ke arah paha Karmel. Jari-jari panjangnya yang terpelihara dengan sempurna menyentuh bahan celana hitam Karmel, tepat di bagian paha atas.

Karmel hampir menjatuhkan garpunya. Napasnya tersendat sebentar sebelum dia berhasil mengendalikannya. Pipinya memerah, bukan karena malu, tapi karena kemarahan yang mendidih. Di hadapan Hartono yang baik, yang memperlakukannya dengan hormat, Renzi berani melakukan ini?

Dia memalingkan wajah ke arah Renzi, matanya menyiratkan amaran tajam seperti belati. Tapi Renzi hanya tersenyum tipis, tangannya masih di sana, sekarang tidak hanya menyentuh, tapi mulai mengelus perlahan dengan gerakan melingkar yang membuat kulit Karmel merinding—bukan karena nikmat, tapi karena kemarahan.

Hartono, yang sedang menikmati black cod-nya, tiba-tiba berbicara. "Renzi, kamu ingat proyek nikel di Sulawesi yang sempat tertunda tahun lalu?"

Renzi mengangkat pandangan, ekspresinya profesional seketika. "Ingat, Pah. Masalah perizinan dengan masyarakat adat."

"Karmel," Hartono menoleh ke arahnya, "nanti kamu bisa lihat laporan proyek itu. Saya rasa dengan pendekatanmu yang analitis, kamu bisa menemukan solusi."

Karmel berusaha keras untuk menjaga suaranya tetap stabil. "Baik, Pak Hartono. Saya akan pelajari." Sementara bibirnya mengucapkan kata-kata profesional, tangan kirinya yang berada di bawah meja bergerak cepat.

Jari-jarinya yang ramping meraih pergelangan tangan Renzi yang masih mengelus pahanya. Kukunya yang terawat dengan sempurna mencubit kulit di pergelangan tangan itu dengan keras—cukup keras untuk meninggalkan bekas kemerahan, tapi tidak cukup untuk membuat Renzi bereaksi berlebihan.

Renzi sedikit terkejut, tetapi alih-alih menarik tangan, dia malah membalikkan telapak tangannya, menangkap tangan Karmel yang sedang mencubitnya. Jari-jarinya yang kuat melingkari pergelangan tangan Karmel yang ramping, mengunci dengan erat.

Sekarang mereka saling menggenggam di bawah meja—pertempuran diam-diam antara kekuatan dan perlawanan.

Hartono terus berbicara tentang visinya untuk JMG, tentang rencana ekspansi ke energi terbarukan, tentang pentingnya memiliki tim strategis yang solid. Dia sama sekali tidak menyadari pertempuran bawah meja yang sedang terjadi.

"Karmel, kamu setuju kan kalau kita harus mulai berpikir beyond batu bara dan nikel?" tanya Hartono, menunggu tanggapannya.

Karmel menarik napas dalam, berusaha fokus. "S-Setuju, Pak. Diversifikasi penting untuk sustainability jangka panjang." Suaranya sedikit bergetar, tetapi Hartono menganggapnya sebagai antusiasme.

Sementara itu, di bawah meja, Renzi dengan perlahan membawa tangan Karmel yang masih dia genggam ke arah yang lebih berani—ke paha dalamnya. Karmel menarik napas tajam, matanya membelalak.

Dia menggunakan seluruh kekuatannya untuk menarik tangannya kembali, tetapi Renzi terlalu kuat. Sebagai gantinya, dia melakukan hal satu-satunya yang bisa dilakukan: kaki kanannya yang bebas (kaki kirinya masih terjebak antara kaki Renzi) menendang tulang kering Renzi dengan keras.

Thump.

Suara itu cukup keras hingga Hartono berhenti bicara. "Ada apa?"

Renzi, yang wajahnya sempat meringis sebentar karena sakit, segera kembali ke ekspresi cool-nya. "Maaf, Pah. Renzi nggak sengaja menendang kaki meja." Dia melepaskan tangan Karmel—akhirnya—dan mengusap tulang keringnya di bawah meja.

Karmel menarik tangannya kembali secepat mungkin, menyembunyikannya di pangkuannya. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara kemarahan, rasa terhina, dan kemenangan kecil karena berhasil membuat Renzi kesakitan.

"Hati-hati," kata Hartono, lalu kembali ke topik diskusi.

Untuk sisa makan siang, Renzi tidak mencoba menyentuhnya lagi. Tapi matanya—mata yang dingin dan penuh perhitungan—terus menatap Karmel dengan intensitas yang membuatnya tidak nyaman. Setiap kali Karmel menatapnya, dia melihat senyuman kecil di bibir Renzi—senyuman yang berkata, "Aku menang. Kamu tidak bisa berbuat apa-apa."

***

Cahaya matahari sore yang keemasan menyapu koridor eksekutif lantai 40 JMG Group, menciptakan pola bayangan memanjang di sepanjang karpet abu-abu mutiara yang tebal. Suasana Jumat sore terasa berbeda—lebih rileks, lebih santai. Kebanyakan eksekutif sudah pulang lebih awal, menikmati awal akhir pekan. Hanya suara lembut AC sentral yang masih setia menemani kesunyian koridor yang biasanya ramai.

Herry, dengan kemeja lengan pendek linen putih dan celana chino beige, berjalan dengan langkah ringan menuju ujung koridor. Di tangannya tergenggam kunci mobil sport terbarunya—ritual Jumat malam sudah menjadi tradisi tak terucap antara dia dan Renzi. Club-hopping, champagne, dan wanita-wanita baru yang akan mereka temui malam ini.

Dia berhenti di depan pintu mahoni besar dengan plakat perunggu "Renzi Jayawardhana - Vice President". Tanpa mengetuk—kebiasaan lama antara sahabat—Herry langsung memutar gagang pintu dan mendorongnya terbuka.

"Renz, kita—"

Kalimatnya terhenti di tengah.

Mata Herry membelalak, bibirnya yang setengah terbuka membeku dalam ekspresi terkejut yang nyata. Di dalam ruangan kerja mewah seluas 60 meter persegi itu, ada dua orang. Renzi, seperti yang diharapkan, duduk di balik meja kerjanya yang megah. Tapi yang membuat Herry hampir tak percaya adalah sosok di seberang meja itu.

Karmel Agata.

Dia berdiri tegak di depan meja Renzi, mengenakan blazer putih yang dipadukan dengan rok pensil hitam yang panjangnya tepat di atas lutut. Rambutnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjang dan garis rahang yang tegas. Di tangannya, beberapa berkas dokumen terlihat rapi teratur. Cahaya sore yang masuk dari jendela panoramik menyinari profilnya, membuatnya terlihat seperti siluet elegan yang keluar dari mimpi—atau mungkin bagi Herry, mimpi buruk.

"Wow.... Surprise me!" seru Herry akhirnya, suaranya terdengah-dengah seperti orang yang baru saja berlari maraton. Matanya berpindah cepat antara Renzi dan Karmel, mencerna pemandangan yang sama sekali tidak dia duga. "Gue kira lo bercanda Karmel balik."

Pernyataan itu melayang di udara selama dua detik yang terasa seperti satu jam.

Renzi, yang dari tadi duduk santai di kursi kulitnya, hanya tersenyum tipis. Tangannya yang terpelihara dengan sempurna memutar-mutar pena emas di antara jari-jarinya. "Easy, Her," ujarnya, suaranya datar dan terkendali seperti biasa, seolah kehadiran Karmel di ruangannya adalah hal paling wajar di dunia.

Tapi Karmel—wajahnya yang cantik berubah. Bibirnya yang biasanya merah alami kini mengerut, matanya yang coklat madu menyempit menjadi dua garis tajam yang memancarkan sinar tidak suka yang nyaris bisa dirasakan. Tatapannya ke arah Herry bukan sekadar dingin—itu adalah tatapan penuh penghinaan, campuran antara jijik dan kemarahan yang ditahan.

Herry, yang biasanya percaya diri, tiba-tiba merasa seperti anak kecil yang ketahuan mengambil kue. Ingatannya melesat ke bulan-bulan lalu, ke percakapan di ruangan ini persis—percakapan di mana Renzi dengan santainya menyebut Karmel hanya sebagai "teman tidur". Percakapan yang tanpa mereka sadari didengar oleh Karmel di balik pintu. Percakapan yang menjadi awal dari segala kerusakan.

"Aku udah selesai!" ujar Karmel tiba-tiba, suaranya tajam memotong ketegangan. Tangannya yang ramping dengan gerakan cepat meraih beberapa berkas dari atas meja Renzi—dokumen yang sudah ditandatangani dengan tanda tangan flamboyan khas Renzi.

Dia berbalik, langkahnya tegas dan cepat di atas lantai marmer. Rok pensilnya berdesir pelan dengan setiap langkah, mengikuti ritme gerakan pinggulnya yang anggun namun penuh tekad. Dia berjalan lurus menuju pintu, menuju tempat Herry masih berdiri terpaku di ambang pintu.

Herry, dengan naluri sosialnya yang selalu aktif, mencoba memulihkan situasi. Saat Karmel hampir melewatinya, dia tersenyum—senyum ramah yang biasanya berhasil meluluhkan hati kebanyakan wanita. "Mau kemana, Mel?"

Karmel berhenti.

Langkahnya terhenti tepat setengah meter dari Herry. Perlahan, sangat perlahan, dia menoleh. Kepalanya berputar dengan gerakan seperti kucing yang mengamati mangsa—atau dalam hal ini, seperti ratu yang memandang bawahannya dengan hina.

Matanya yang indah itu kini menjadi dua kristal es yang menusuk. Bibirnya yang merah merekah, membentuk garis tipis yang keras.

"Meninggalkan dua bedebah brengsek!"

Kata-kata itu keluar dengan suara rendah, tetapi setiap suku katanya terasa seperti pukulan palu godam. "Bedebah brengsek"—istilah yang jarang keluar dari mulut seorang wanita elegan seperti Karmel, membuat penghinaannya terasa lebih personal, lebih pedih.

Kemudian, tanpa menunggu respons, Karmel melanjutkan langkahnya. Dia melewati Herry dengan jarak sedemikian dekat sehingga aroma parfumnya yang lembut—notes citrus dan white flowers—menyapu indra Herry selama sepersekian detik sebelum menghilang, digantikan oleh dinginnya kata-kata yang baru saja dia ucapkan.

Pintu tertutup dengan bunyi "klik" yang tegas.

Untuk beberapa saat, Herry hanya berdiri di sana, masih menghadap ke pintu yang sudah tertutup, seolah masih bisa melihat bayangan Karmel yang baru saja pergi. Kemudian, perlahan, dia menoleh ke arah Renzi.

Dan mereka berdua—Renzi dan Herry—serempak terkekeh.

Tawa itu bukan tawa riang, bukan tawa bahagia. Itu adalah tawa kaget, tawa yang penuh dengan ironi dan pengakuan bahwa mereka baru saja dihajar verbal oleh seorang wanita yang jelas-jelas membenci mereka.

Herry menggeleng-geleng sambil berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. Dia menjatuhkan diri di sofa kulit coklat tua di seberang meja Renzi, posisi yang sama di mana dulu dia duduk saat percakapan fatal itu terjadi.

"Oke..." Herry menarik napas panjang. "Lo berhasil bawa dia balik." Matanya menatap Renzi yang masih duduk dengan sikap santai di balik meja. "Tapi belum bisa bikin dia nurut lagi sama lo."

Renzi meletakkan penanya, menyenderkan tubuh ke kursi kulitnya yang mahal. Tangannya meraih gelas berisi air mineral di mejanya, meneguknya perlahan sebelum menjawab.

"Sabar, Her." Senyum tipis muncul di bibirnya—senyum yang penuh perhitungan, senyum seorang jenius yang sedang memainkan catur tingkat tinggi. "Semua itu berproses."

Dia berdiri, berjalan pelan menuju jendela panoramik. Di luar, Jakarta sore mulai bersiap untuk malam Jumat. Lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, membentuk mosaik cahaya yang berkelap-kelip.

"Karmel seperti kuda liar yang baru saja ditangkap kembali," ujar Renzi, suaranya rendah dan penuh intensitas. Matanya yang tajam memandangi kota di bawahnya, seolah melihat papan catur raksasa. "Dia masih memberontak, masih mencoba menggigit tangan orang yang memberinya makan. Tapi..."

Dia berbalik, menatap Herry. Di matanya, ada kilatan keyakinan yang absolut.

"...lama-lama dia akan belajar. Dia akan ingat betapa enaknya hidup di istana, betapa nikmatnya diperlakukan seperti ratu, betapa... mudahnya segalanya ketika dia berada di sisi gue."

Herry mengamati sahabatnya. Dia melihat keteguhan di wajah Renzi, tetapi juga melihat sesuatu yang lebih dalam—obsesi yang mulai berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih posesif.

"Dan kalau dia tetap nggak mau 'belajar'?" tanya Herry, suaranya lebih serius dari biasanya.

Renzi tersenyum lagi, tetapi kali ini senyumnya tidak mencapai matanya yang tetap dingin. "Setiap makhluk bisa dijinakkan, Her. Hanya butuh waktu, kesabaran, dan..." dia jeda sebentar, "...teknik yang tepat."

Dia kembali ke mejanya, mengambil jaket sports yang tergantung di sandaran kursi. "Sekarang, mari kita nikmati malam Jumat. Ada model baru dari Rusia yang katanya lagi shooting di Jakarta. Fano sudah mengatur."

Herry berdiri, tapi pikirannya masih tertinggal pada Karmel—pada tatapan penuh kebencian tadi, pada kata-kata pedas yang masih bergema di telinganya. Dia tiba-tiba merasa sedikit tidak nyaman dengan seluruh situasi ini, tetapi seperti biasa, dia mengikuti Renzi. Itu adalah dinamika mereka: Renzi memimpin, Herry mengikuti.

1
Ridho Meram
Next
Forta Wahyuni
jd males bacanya, pemeran wanitanya walau cerdas tpi tetap harga dirinya bisa diinjak2 oleh lelaki jenius tapi murahan.
muna aprilia
lanjut 👍
Forta Wahyuni
hebat Renzi bilang karmel murahan n dia tak tau diri krn tunjuk satu lg menunjuk tepat ke mukanya bahwa dia juga sampah. lelaki jenius tapi burungnya murahan n bkn lelaki yg berkelas n cuma apa yg dipki branded tapi yg didalam murahan. 🤣🤣🤣🤣
Forta Wahyuni
knapa critanya terlalu merendahkan wanita, harga diri diinjak2 n lelakinya boleh masuk tong sampah sembarangan. wanitanya harus tetap nerima, sep gk punya harga diri n lelaki nya jenius tapi burungnya murahan. 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!