NovelToon NovelToon
Fragmen Yang Tertinggal

Fragmen Yang Tertinggal

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Romansa / Enemy to Lovers / Cintapertama / Cinta Murni / Berbaikan
Popularitas:27
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

​Di antara debu masa lalu dan dinginnya Jakarta, ada satu bangunan yang paling sulit direnovasi: Hati yang pernah patah.
​Lima tahun lalu, Kaluna Ayunindya melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya: meninggalkan Bara Adhitama—pria yang memujanya—dan cincin janji mereka di atas meja nakas tanpa sepatah kata pun penjelasan. Ia lari ke London, membawa rasa bersalah karena merasa tak pantas bersanding dengan pewaris tunggal Adhitama Group.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Tamu Tak Diundang

​Ruangan CEO di lantai 40 Adhitama Tower didesain untuk mengintimidasi.

​Dinding kaca setinggi langit-langit menyajikan pemandangan Jakarta yang angkuh, sementara perabotan di dalamnya didominasi warna hitam dan abu-abu gelap. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada tanaman hias. Hanya ada meja kerja luas yang terlalu rapi, seolah penghuninya tidak memiliki kehidupan selain tumpukan dokumen.

​Kaluna berdiri kaku di depan meja Bara, kedua tangannya memegang erat beberapa lempengan sampel marmer. Sudah lima belas menit dia berdiri di sana, sementara Bara sibuk membaca dokumen di iPad-nya, sama sekali mengabaikan keberadaan Kaluna.

​Kaluna tahu ini taktik psikologis. Bara sengaja membiarkannya menunggu seperti pajangan bisu.

​"Pak Bara," panggil Kaluna akhirnya, memberanikan diri. Kakinya mulai pegal karena dia mengenakan heels 7 cm—tuntutan dress code kantor pusat yang ketat. "Tentang sampel marmer untuk lobi..."

​Bara akhirnya meletakkan iPad-nya. Ia memutar kursi kebesarannya menghadap Kaluna, menatap wanita itu dengan sorot mata yang sulit diartikan.

​"Letakkan di meja," perintahnya datar.

​Kaluna meletakkan tiga lempengan marmer berbeda warna itu di atas meja mahoni yang mengkilap.

​"Yang kiri adalah Statuario Italia, klasik dan mewah. Yang tengah Carrara, lebih ekonomis tapi tetap elegan. Yang kanan marmer lokal Ujung Pandang kualitas ekspor, harganya paling masuk akal dan durabilitasnya tinggi," jelas Kaluna profesional.

​Bara mengambil sampel marmer lokal, membolak-baliknya sejenak, lalu meletakkannya kembali dengan bunyi tak yang keras.

​"Murahan," komentar Bara singkat.

​Kaluna menghela napas sabar. "Itu kualitas ekspor, Pak. Secara visual hampir mirip Carrara dan kita bisa menghemat anggaran hampir 40%."

​"Adhitama Group tidak membangun hotel bintang lima dengan barang diskonan, Kaluna," potong Bara tajam. Ia menunjuk marmer Statuario yang paling mahal. "Pakai yang ini."

​"Tapi Pak, Statuario sangat rentan noda dan perawatannya sulit untuk area high traffic seperti lobi. Selain harganya tiga kali lipat, kita harus impor dan itu memakan waktu pengiriman dua bulan. Bapak sendiri yang minta proyek selesai dalam enam bulan."

​Bara menyandarkan punggungnya, menatap Kaluna dengan seringai tipis yang mengejek. "Kau arsiteknya. Cari caranya. Kalau kau tidak bisa mengatur logistik impor, untuk apa saya membayarmu mahal?"

​Kaluna mengeratkan rahangnya. "Baik. Saya akan usahakan. Tapi konsekuensinya anggaran interior kamar akan dipangkas."

​"Terserah. Asal jangan ganggu standar saya."

​Perdebatan itu terhenti ketika pintu ruangan terbuka tanpa ketukan. Suara langkah kaki yang diredam karpet tebal terdengar masuk.

​"Bara, Mama sudah bilang jangan lupa makan siang dengan putri Pak Haryo hari ini..."

​Suara wanita itu.

​Darah Kaluna serasa surut dari wajahnya. Tubuhnya membeku seketika. Suara itu masih sama seperti lima tahun lalu—halus, berwibawa, namun menyimpan ketajaman silet yang siap mengiris mental siapa pun yang mendengarnya.

​Ratna Adhitama melangkah masuk dengan anggun. Wanita paruh baya itu mengenakan gaun terusan sutra berwarna champagne, tas Hermès Birkin di lengan, dan rambut yang disanggul sempurna tanpa satu helai pun yang keluar dari tempatnya.

​Bara berdiri dari kursinya, wajahnya tampak sedikit terusik. "Ma? Aku sedang rapat."

​"Rapat bisa ditunda, Sayang. Ini soal masa depan..." Kalimat Ratna terhenti.

​Mata wanita itu menangkap sosok Kaluna yang berdiri mematung di samping meja.

​Keheningan yang turun di ruangan itu terasa memekakkan telinga.

​Ratna Adhitama menatap Kaluna seolah ia baru saja melihat kecoa di atas piring makan malam mewahnya. Keterkejutan di wajahnya hanya berlangsung sedetik, sebelum tergantikan oleh topeng dingin yang mengerikan.

​"Oh," ucap Ratna pelan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum yang tidak sampai ke mata. "Saya pikir mata saya salah lihat. Ternyata hantu dari masa lalu benar-benar bisa bangkit kembali."

​Kaluna menundukkan kepalanya, tangannya gemetar hebat di samping tubuh. Trauma itu datang kembali. Rasa kerdil, rasa tidak pantas, dan ketakutan yang ditanamkan wanita ini lima tahun lalu.

​"Selamat siang, Bu Ratna," sapa Kaluna lirih, suaranya hampir tak terdengar.

​Ratna berjalan mendekat, mengabaikan sapaan itu. Ia memutari Kaluna perlahan, menilainya dari atas ke bawah dengan tatapan merendahkan.

​"Saya dengar dari staf di bawah, kamu arsitek yang menangani Hotel Menteng," ujar Ratna, nadanya ringan tapi menusuk. "Saya cukup terkejut. Saya pikir setelah uang saku yang cukup besar untuk 'biaya hidup di London' itu, kamu akan punya cukup harga diri untuk tidak menginjakkan kaki di gedung ini lagi."

​Jantung Kaluna serasa berhenti. Ia melirik Bara dengan panik.

​Bara mengernyit. "Uang saku? Apa maksud Mama?"

​Ratna menoleh pada putranya, tersenyum manis. "Oh, kamu tidak tahu, Bara? Pacar kecilmu yang manis ini tidak pergi dengan tangan kosong lima tahun lalu. Mama memberinya sedikit... bekal. Sebagai kompensasi karena dia sudah sadar diri untuk meninggalkanmu."

​"Itu tidak benar," potong Kaluna cepat, matanya memanas. Keberanian entah dari mana membuatnya mendongak. "Saya tidak pernah menyentuh uang itu, Bu. Saya mengembalikan cek itu di meja Ibu sebelum saya pergi ke bandara."

​Wajah Ratna mengeras. Kebohongannya terancam. "Jangan membual di depan anak saya. Kamu pergi karena kamu tahu kamu tidak selevel dengan kami. Dan sekarang? Kamu kembali? Apa? Uangnya sudah habis? Atau kamu dengar Bara sekarang sudah jadi CEO dan ingin merayunya lagi?"

​"Cukup, Ma," suara Bara terdengar rendah, memperingatkan.

​Tapi Ratna tidak peduli. Ia melangkah lebih dekat ke arah Kaluna, aroma parfum Chanel No. 5 yang menyengat membuat perut Kaluna mual.

​"Dengar baik-baik, Nak," desis Ratna, kali ini suaranya hanya ditujukan untuk Kaluna. "Hotel Menteng adalah warisan kakek Bara. Jangan kotori tempat itu dengan tanganmu. Selesaikan pekerjaanmu, ambil bayaranmu, dan pergi. Jangan pernah bermimpi untuk kembali ke keluarga ini. Sekali sampah, tetap sampah."

​"MAMA!"

​Bentakan Bara menggelegar di ruangan itu, membuat Ratna tersentak mundur. Kaluna tersentak kaget, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya namun ia tahan sekuat tenaga agar tidak jatuh.

​Bara keluar dari balik mejanya, wajahnya merah padam menahan amarah. Ia berdiri di antara Ratna dan Kaluna, memisahkan mereka.

​"Ini kantor saya," geram Bara, matanya menatap tajam ibunya sendiri. "Kaluna di sini sebagai profesional. Dia memenangkan tender secara adil. Keputusan siapa yang bekerja untuk saya ada di tangan saya, bukan Mama."

​Ratna menatap putranya tak percaya. "Kamu membelanya? Setelah apa yang dia lakukan padamu? Dia meninggalkanmu hancur berantakan, Bara! Dan sekarang kamu membiarkannya masuk lagi?"

​"Aku tidak membelanya," sanggah Bara dingin, melirik Kaluna sekilas dengan tatapan kosong. "Aku membela otoritas saya sebagai CEO. Tidak ada yang boleh menghina karyawan atau mitra kerja saya di dalam gedung ini. Termasuk Mama."

​Ratna mendengus, merapikan tasnya dengan gerakan kasar. Ego bangsawannya terluka.

​"Baik," ucap Ratna ketus. Ia menatap Kaluna sekali lagi dengan tatapan penuh ancaman. "Nikmati waktu singkatmu di sini, Nona Kaluna. Tapi ingat, saya selalu mengawasi. Satu kesalahan kecil... dan saya pastikan karirmu di Jakarta tamat."

​Ratna berbalik dan melenggang keluar ruangan, membanting pintu di belakangnya.

​Suasana hening kembali, namun kali ini terasa menyesakkan.

​Kaluna masih berdiri gemetar. Kata-kata Ratna tentang "uang saku" itu terus berdenging di telinganya. Ia takut Bara mempercayainya.

​"Pak Bara," Kaluna memulai dengan suara serak, "soal uang itu... saya bersumpah demi Tuhan, saya—"

​"Keluar," potong Bara.

​Kaluna terdiam. Bara membelakanginya, menatap jendela luar. Bahunya terlihat tegang.

​"Pak, saya perlu meluruskan—"

​"SAYA BILANG KELUAR!" bentak Bara, berbalik badan. Matanya menyalang penuh emosi.

​Bukan emosi benci pada Kaluna, tapi campuran dari rasa frustrasi, marah pada ibunya, dan kebingungan. Namun bagi Kaluna, itu terlihat seperti kemarahan yang ditujukan padanya.

​"Bawa sampel marmer bodohmu itu dan keluar dari ruangan saya. Sekarang," ucap Bara lebih pelan namun penuh penekanan. "Sebelum saya berubah pikiran dan memecatmu untuk menyenangkan ibu saya."

​Kaluna menelan ludah yang terasa pahit. Ia sadar, tidak ada gunanya membela diri sekarang. Bara sudah membangun tembok yang terlalu tinggi.

​Dengan gerakan cepat, Kaluna menyambar tas dan sampel marmernya. "Permisi, Pak."

​Kaluna setengah berlari keluar dari ruangan itu. Begitu pintu tertutup, ia bersandar di dinding koridor, napasnya memburu. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh.

​Di dalam ruangan, Bara mengusap wajahnya kasar. Ia berjalan ke meja bar kecil di sudut ruangan, menuang air mineral dengan tangan gemetar.

​Ibunya berbohong. Bara tahu itu.

​Saat Kaluna pergi lima tahun lalu, Bara menggeledah kamar kos Kaluna yang sudah kosong. Dia menemukan buku tabungan Kaluna yang tertinggal. Saldonya nyaris nol. Jika Kaluna menerima uang dari ibunya, dia tidak akan pergi dengan koper butut dan tiket pesawat kelas ekonomi promo.

​Bara tahu Kaluna tidak mata duitan. Dan justru itu yang membuatnya semakin marah.

​Jika bukan karena uang, dan jika ibunya memang menekannya... kenapa Kaluna tidak pernah memberitahunya? Kenapa Kaluna tidak percaya bahwa Bara bisa melindunginya?

​"Kau pengecut, Kaluna," bisik Bara pada ruang kosong. "Dan aku benci karena aku masih ingin melindungimu dari wanita itu."

BERSAMBUNG....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!