Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Propaganda Dan Sekutu Baru
Meskipun hatinya remuk, Rika Nurbaya menunjukkan bahwa dedikasi adalah satu-satunya benteng yang tersisa. Begitu ia melangkah masuk ke kelas X-I, ia meninggalkan semua kehancuran pribadinya di ambang pintu. Kelas X-I, yang terkenal paling sulit diatur dan paling membenci pelajaran Bahasa Inggris, mendadak terasa seperti panggung pertunjukan bagi Rika.
Ia mengajarkan Present Perfect Tense bukan dengan deretan rumus kaku, melainkan melalui cerita.
“Okay, guys. Now, look at me. Saya berdiri di sini. Ini saya. I have taught English for five years. Artinya, saya mulai mengajar lima tahun lalu, dan sampai sekarang, saya masih berdiri di depan kalian. Itu koneksi masa lalu ke masa kini. Kalian harus punya koneksi itu. Seperti… koneksi antara usaha kalian hari ini, dengan masa depan yang kalian impikan.”
Rika bergerak enerjik, suaranya riang. Ia menyuruh para siswa membuat kalimat tentang pencapaian kecil yang sudah mereka raih sejak SMP hingga hari ini. Suasana kelas yang awalnya tegang, perlahan mencair. Tawa dan perdebatan kecil mulai terdengar. Rika tidak hanya mengajar bahasa, ia mengajar harapan.
Namun, di balik dinding kelas itu, racun kebencian sedang diracik.
****
Di ruang guru, Bu Rosba tidak pernah absen memantau Rika. Kemenangan Rika di depan Kepala Sekolah telah melukai harga diri Rosba lebih dalam daripada yang ia akui. Ia butuh sekutu, dan ia menemukannya pada Miss Rini.
Miss Rini, 45 tahun, adalah guru Bahasa Inggris senior. Selama ini, Rini merasa aman dalam posisinya. Namun, gaya mengajar Rika yang segar, interaktif, dan disukai murid-murid, mulai membuatnya tampak kuno. Rini mulai merasa terancam, dan Rosba mencium ketidakamanan itu.
“Miss Rini,” panggil Rosba dengan nada manis yang dibuat-buat, saat Rini sedang sibuk mengoreksi.
Rini mendongak. “Ya, Bu Rosba?”
Rosba menarik kursi, duduk di sebelah Rini. Ia merendahkan suaranya, menciptakan aura konspirasi. “Saya lihat akhir-akhir ini anak-anak suka Bahasa Inggris jadi aneh, ya?”
Rini mengerutkan kening. “Aneh bagaimana, Bu?”
“Ya aneh. Mereka jadi membanding-bandingkan,” bisik Rosba, matanya melirik ke arah lorong tempat Rika mengajar. “Mereka sering sekali bilang, ‘Aduh, pelajaran Miss Rini kurang asyik, Miss Rika lebih seru.’ ‘Miss Rika mengajar seperti di YouTube, Miss Rini seperti di buku usang.’ Saya dengar sendiri lho, Miss.”
Wajah Rini seketika mengeras. Jemarinya mencengkeram pulpennya. “Siapa yang bilang begitu? Saya sudah mengajar Bahasa Inggris di sekolah ini sejak Rika itu masih pakai seragam putih-biru!”
“Justru itu, Miss. Pengabdian Miss Rini luar biasa. Tapi Rika itu kan tipenya pencari panggung. Guru honorer, Miss. Harus jungkir balik membuktikan diri. Makanya dia mengajar terlalu berlebihan, terlalu show-off,” Rosba mencondongkan tubuhnya, berbisik lebih tajam lagi. “Dia ingin Miss Rini terlihat seperti guru yang tertinggal, Miss. Dia ingin menggeser posisi Miss Rini sebagai head of English department.”
Rini terdiam. Kekhawatiran yang selama ini ia tepis, kini meletus di benaknya. Rika memang terlalu mencolok. Murid-murid menyukai Rika. Dan jika Rika terus seperti ini, cepat atau lambat, dia akan menjadi wajah baru mata pelajaran itu.
“Tidak, tidak mungkin Rika sampai sejahat itu,” Rini mencoba menyangkal, tapi suaranya terdengar ragu.
Rosba tersenyum licik. “Oh, Miss Rini yang baik hati. Miss harus ingat, Rika itu punya masalah pribadi yang parah, lho. Suaminya sudah ancam cerai, dan dia baru pulang dari rumah orang tuanya. Kenapa dia ngotot kerja keras di sini? Ya karena dia tidak punya tempat lagi untuk pulang. Dia sedang putus asa, Miss. Orang putus asa itu bahaya, dia akan lakukan apa saja, termasuk mengorbankan reputasi guru senior demi posisinya.”
Propaganda Rosba berhasil menusuk tepat ke jantung ketakutan Rini. Rini kini melihat Rika bukan sebagai rekan kerja, melainkan sebagai saingan yang kejam dan licik, yang sedang mencari mangsa.
****
“Lalu saya harus bagaimana, Bu Rosba?” tanya Rini, suaranya kini penuh kekhawatiran dan amarah yang tersembunyi.
“Kita harus hentikan dia, Miss,” Rosba berbisik. “Kita harus tunjukkan bahwa dia itu guru honorer yang tidak pantas memimpin. Karena dia sudah mengadu ke Kepala Sekolah, kita harus balas dengan cara yang lebih halus, tapi mematikan. Kita harus serang integritasnya sebagai guru Bahasa Inggris.”
Rosba mengeluarkan selembar kertas lusuh dari tasnya. “Saya dapat informasi, Rika sering keluar sebentar saat jam pelajaran kosong. Dia bilang dia ke perpustakaan. Tapi saya curiga dia sering bertemu pria asing di luar gerbang sekolah.”
Rini menatap Rosba dengan mata membelalak. “Maksud Ibu?”
“Ya, Miss. Setelah pertengkaran kemarin, saya lihat dia diantar pria pakai mobil mewah. Dia sudah tidak peduli pada Ramdhan. Dia sedang cari sugar daddy, Miss! Jika informasi ini kita kaitkan dengan gaya mengajarnya yang show-off, maka citra dia akan hancur total. Kita tunjukkan pada Pak Rahmat, bahwa Rika bukan hanya ambisius, tapi juga tidak bermoral!” Rosba berbisik penuh gairah.
Rini terdiam. Rencana itu gila, tapi efektif. Menghancurkan reputasi adalah cara paling cepat untuk melumpuhkan seseorang.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Rini, keputusannya sudah bulat. Rasa cemburu dan terancam telah mengalahkan etika profesionalnya.
****
“Sederhana, Miss. Kita kumpulkan para siswa yang paling berpengaruh. Kita minta mereka bersaksi bahwa Rika memang sering bercerita tentang kehidupannya yang menyedihkan di kelas. Kita buat narasi bahwa dia menggunakan kelas sebagai terapi pribadi, sehingga melupakan materi. Dan kemudian, kita hubungkan dengan isu perselingkuhan itu. Kita katakan bahwa gaya mengajarnya yang terlalu modern itu karena dia ingin pamer kepada teman-teman prianya,” jelas Rosba, senyumnya kini menyebar mengerikan.
“Kita buat dia tampak gila dan tidak profesional di hadapan Kepala Sekolah. Bukankah guru yang sedang dalam proses cerai dilarang keras membawa masalah pribadi ke sekolah? Bukankah itu etika?”
Rini mengangguk pelan. Ide itu jahat, tapi ia merasa harus melakukannya untuk melindungi posisinya. “Baik, Bu Rosba. Mari kita mulai. Saya akan panggil perwakilan siswa sebentar lagi.”
****
Siang itu, Rika sedang tertawa bersama murid-muridnya di kelas X-I, membahas idiom Bahasa Inggris yang lucu. Ia merasa hidup kembali. Namun, di ruang kepala sekolah, Rosba dan Rini sedang melancarkan kampanye hitam mereka.
Bu Rosba, dengan mimik wajah yang meyakinkan, berkata pada Pak Rahmat, “Pak, kami khawatir. Rika ini guru yang cerdas, tapi dia sedang rapuh. Kami curiga dia sudah membawa masalah rumah tangganya ke dalam kelas. Dia sering menyinggung soal kegagalannya, soal penderitaannya, kepada anak-anak. Itu tidak sehat, Pak. Itu bisa merusak mental siswa.”
Miss Rini menambahkan, “Betul, Pak. Siswa kelas lain melaporkan, Rika terlalu emosional. Dia tidak fokus pada materi, tapi sibuk memamerkan dirinya sebagai guru ‘modern’ dan ‘pahlawan.’ Dia terlalu mencari perhatian siswa. Kami khawatir dia ingin memenangkan hati siswa untuk melawan Ibu Rosba, dan itu sangat tidak etis.”
Rosba menutup sandiwara itu dengan bisikan mematikan. “Dan Pak, saya mendengar desas-desus. Rika sering keluar saat jam kosong, bertemu dengan pria yang bukan suaminya. Saya takut, integritas moralnya sudah diragukan, Pak. Bagaimana bisa sekolah menyerahkan masa depan anak didik pada guru yang sedang kalut dan dirumorkan seperti itu?”