Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 07
Di rumah Hendro,
Hendro dan Angga tampak kerepotan menurunkan semua barang bawaan.
Sementara itu, Anggi, Rini, dan Ratna justru asyik mengobrol santai di ruang tengah,
seolah tak peduli dengan kesibukan yang terjadi di sekeliling mereka.
Hendro menghela napas panjang.
“Lelah sekali tanpa Zahira... Kenapa aku menceraikannya?” gumamnya dalam hati.
Ada rasa berat yang sulit dijelaskan.
Bagaimanapun juga, dua puluh tahun hidup bersama bukanlah waktu yang singkat—terlalu banyak kenangan yang tak mudah dihapus.
Hendro menatap ke arah Ratna. Seharusnya, ia merasa bahagia—akhirnya bisa bersama perempuan yang ia cintai sejak remaja. Namun entah mengapa, yang ia rasakan justru kehampaan. Kebahagiaan yang dulu ia bayangkan kini terasa kosong, tak sehangat yang pernah ia rasakan bersama Zahira.
Hendro merasa haus dan nyaris berteriak memanggil Zahira untuk mengambilkan air.
Namun seketika ia terdiam, menutup mulutnya sendiri. Kesadaran itu menyentak—Zahira sudah tidak ada lagi. Kini, tak ada lagi yang sigap merawatnya seperti dulu.
"Sayang, ambilkan aku air dong," ucap Hendro.
Tak ada jawaban. Biasanya, Zahira akan langsung datang membawakannya air tanpa perlu diminta dua kali. Hendro keluar dari kamar, berharap ada yang merespons. Namun yang ia temui hanyalah Ratna dan Anggi yang sedang asyik mengobrol, tak menghiraukannya sedikit pun.
"Sayang, ambilkan aku air," ucap Hendro sekali lagi, namun tetap tak ada jawaban. Keheningan itu menyadarkannya—Zahira sudah tidak ada, dan tak akan pernah kembali.
"Papah ini gimana sih? Ambil sendiri dong! Jangan samakan Mami Ratna dengan wanita itu. Mami Ratna nggak pantas disuruh-suruh ambil air untuk Papah," ucap Anggi dengan nada kesal.
Hendro tertegun—kenapa Anggi tiba-tiba berani berbicara seperti itu? Biasanya, jika Anggi membangkang, Zahira-lah yang akan langsung menegurnya. Saat Hendro hendak membuka mulut untuk menegur, tiba-tiba ibunya, Rini, muncul dari arah belakang.
"Iya, Hendro, sebaiknya kamu cari pembantu saja sekarang. Jangan samakan Ratna dengan Zahira. Zahira itu memang pantasnya jadi pembantu, bukan istri kamu," ucap Rini dengan nada merendahkan.
Pembantu? Dulu Rini juga pernah menawarkan pembantu kepada Zahira, tapi Zahira dengan halus menolaknya. Alasannya sederhana namun menyentuh—baginya, memasak dan mencuci untuk keluarga sendiri adalah bentuk cinta. Ia tak ingin orang-orang yang ia sayangi diberi makan atau dipakaikan baju hasil tangan orang lain.
.
Hendro menghela napas panjang. "Baiklah, Bu Rini, nanti aku akan carikan pembantu," ucapnya pelan, menahan perasaan yang campur aduk dalam hati.
Hendro berjalan ke dapur, dan sejenak ia terpaku—ia melihat sosok Zahira sedang mencuci piring dengan tenang, seperti biasa. Hatinya bergetar, tapi saat ia mengucek matanya, sosok itu menghilang. Ternyata hanya ilusi, bayangan yang ditinggalkan oleh kenangan yang masih begitu lekat dalam pikirannya.
Mata Hendro terbelalak melihat kenyataan di depannya—ternyata begitu banyak piring kotor menumpuk di wastafel, tak ada lagi tangan cekatan Zahira yang biasa menjaga dapur tetap bersih dan rapi.
"Anggi!" teriak Hendro dengan suara lantang, memanggil putrinya dari arah dapur.
"Apa, Pah?" ucap Anggi dengan suara melengking, menjawab tanpa sedikit pun rasa hormat.
"Ke dapur dulu, sini," ucap Hendro, nada suaranya mulai terdengar tegas.
"Apaan sih? Males ah, aku lagi asyik curhat sama Mamih," jawab Anggi dengan nada malas, tanpa berniat beranjak sedikit pun.
"Anggi!" teriak Hendro, suaranya meninggi, menahan kesal yang mulai memuncak.
"Apaan sih, kamu teriak-teriak segala?" ucap Rini sambil berjalan ke dapur, wajahnya menunjukkan ketidaksenangan.
"Itu, Bu! Lihat, kok bekas makan nggak dicuci sih? Aku nggak biasa lihat dapur sekotor ini, loh," ucap Hendro dengan nada kesal, menunjuk ke arah tumpukan piring kotor.
"Ya sudah, kamu cucilah sendiri," ucap Rini dengan santai, seolah tak peduli pada keluhan Hendro.
Hendro menghembuskan napas panjang. Selama menikah dengan Zahira, tak pernah sekalipun ada yang berani menyuruhnya mencuci piring. Ia adalah seorang pejabat—rasanya sungguh tak pantas jika dirinya harus melakukan pekerjaan itu, apalagi ketika masih banyak perempuan di rumah ini yang seharusnya bisa mengurus semuanya.
"Anggi, kalau kamu nggak mau cuci piring, bulan ini nggak akan ada uang jajan!" teriak Hendro dari dapur, suaranya penuh ancaman dan kesal.
Anggi berjalan mendekat ke arah Hendro dengan wajah kesal, lalu berdiri di hadapannya tanpa berkata apa-apa, menunggu dengan sikap tidak sabar.
"Papah apaan sih? Aku tuh nggak mau cuci piring, itu kan pekerjaannya pembantu!" ucap Anggi dengan nada kesal, menatap Hendro dengan wajah tak senang.
"Oke, kalau itu maumu, jangan salahkan Papah kalau bulan ini kamu nggak akan dapat uang jajan," ucap Hendro tegas, lalu bergegas menuju ruang tamu dengan wajah penuh kekesalan.
Tampak Ratna sedang bersiap-siap, mengenakan tas dan merapikan jilbabnya, seolah hendak pergi tanpa memperdulikan kekacauan yang terjadi di dalam rumah.
Tampak Ratna sedang bersiap-siap, mengenakan tas dan merapikan jilbabnya, seolah hendak pergi tanpa memperdulikan kekacauan yang terjadi di dalam rumah.
"Aku mau pulang, Mas. Di sini kamu marah-marah terus," ucap Ratna dengan nada kesal, sambil merapikan tas di pundaknya.
"Loh, kamu kan istriku. Sudah seharusnya kamu di sini, Sayang," ucap Hendro mencoba menahan Ratna dengan nada lembut, meski wajahnya masih menyimpan letih.
"Mas, aku memang istri kamu, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya ngatur-ngatur hidup aku. Aku ada meeting, jadi aku pulang dulu ya. Besok aku ke sini lagi," ucap Ratna dengan nada datar. Tanpa menunggu jawaban Hendro, ia langsung berjalan keluar ruangan dan menuju mobilnya dengan langkah cepat.
Hendro terpaku. Selama berumah tangga dengan Zahira, tak pernah sekalipun Zahira bersikap seperti itu. Setiap kali hendak pergi, Zahira selalu pamit dengan sopan, bahkan tak pernah lupa mencium tangannya terlebih dahulu.
"Prang!" Terdengar suara piring pecah dari arah dapur, memecah keheningan dan membuat Hendro refleks menoleh dengan wajah terkejut.
Hendro terbelalak saat melihat rak dapur jatuh, piring-piring berserakan di lantai, pecah berantakan menciptakan kekacauan yang tak biasa terjadi di rumah itu.
"Astaga, Anggi! Kamu ini bisa apa sih? Sudah 17 tahun, beresin dapur saja nggak bisa!" ucap Hendro dengan nada kesal. Ia lalu berjalan keluar rumah sambil mengusap kepalanya yang terasa berat. Baru beberapa jam tanpa Zahira, rumah sudah sekacau ini—dan pikirannya makin kalut.
Zahira terus melangkah, entah sudah berapa kilometer ia berjalan. Kini, ia berada di ujung kota—tempat yang mulai terasa asing dan sunyi. Usia memang tak bisa dibohongi. Dulu, ia biasa naik turun gunung saat masih muda, tapi kini tubuhnya tak sekuat dulu.
Keringat membasahi seluruh tubuhnya, napasnya mulai berat. Uang terakhir di sakunya, sebesar dua puluh ribu rupiah, ia gunakan untuk membeli sebotol air minum.
“Sekarang banyak orang ke Mekah aja jalan kaki. Masa aku nggak bisa sampai ke rumahku sendiri?” gumam Zahira, mencoba menyemangati diri sambil menyeka keringat di wajahnya.
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang.
"Neng... ojek, Neng..." suara laki-laki memanggil pelan.
Zahira spontan merasa waspada. Hatinya mencelos, bayangan akan kemungkinan buruk langsung melintas di benaknya. Ia melihat sekeliling—suasananya sepi, jalanan lengang tanpa satu pun orang lewat. Ia belum berani menoleh ke belakang, tubuhnya justru bersiap untuk berlari, mengikuti naluri bertahan yang muncul begitu saja.
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.