Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengapa Harus Bercerai?
Dunia di sekelilingku seakan runtuh menjadi serpihan-serpihan tak berarti. Kata-kata terakhir Aldo menggema di dalam kepalaku, memantul dari satu sisi ke sisi lain, menghancurkan setiap benteng pertahanan terakhir yang kumiliki. Tidak percaya. Dia sama sekali tidak percaya.
Udara di ruang tamu terasa menipis, menyesakkan paru-paruku. Aku menatapnya, mencari celah keraguan atau kemarahan di wajahnya, tapi yang kutemukan hanyalah ketenangan yang menakutkan. Ketenangan seorang predator yang sudah berhasil menyudutkan mangsanya.
“Apa… apa maksud, Mas?” suaraku keluar sebagai bisikan parau, nyaris tak terdengar. Aku bahkan tidak yakin apakah aku benar-benar menanyakannya atau hanya berharap dia salah dengar.
Aldo tersenyum miring. Senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya yang dingin. “Maksudku? Maksudku aktingmu memang bagus, Aerra. Akting yang penuh penjiwaan. Kalau saja aku tidak memperhatikan setiap detail kecil, mungkin aku akan tertipu.”
“Aku nggak akting!” sanggahku cepat, sedikit terlalu cepat. “Aku serius. Aku mau mengakhiri semuanya dengan Windu. Aku mau memulai hidup baru sama Mas Aldo.”
“Oh, ya?” tanyanya dengan nada mengejek yang lembut. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menopang dagu dengan tangannya, matanya menelanjangiku. “Kalau begitu, jelaskan padaku beberapa hal. Kenapa matamu terus melirikku saat meneleponnya? Seolah mencari persetujuan. Kenapa tanganmu gemetar saat menyebut namaku? Dan yang paling penting…”
Ia berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di antara kami. “Kenapa kamu menangis saat memutuskan pria yang katanya sudah tidak kamu inginkan?”
Lidahku kelu. Setiap pertanyaannya adalah anak panah yang menancap tepat di sasaran. Aku tidak punya jawaban. Semua yang ia katakan adalah kebenaran yang telanjang.
“Aku… aku sedih karena sudah menyakitinya,” kilahku, sebuah upaya terakhir yang sia-sia.
“Bohong,” balasnya cepat, tanpa jeda. “Kamu nggak sedih karena menyakitinya. Kamu sedih karena kehilangan dia. Kamu menangis untuk dirimu sendiri, Aerra. Bukan untuk dia, dan sudah pasti bukan untuk pernikahan kita.”
Aku menunduk, tak sanggup lagi menatap matanya yang seolah bisa membaca isi kepalaku. Air mata yang tadi kutahan kini mengalir deras, membasahi pipiku. Isak tangis kecil lolos dari bibirku, tanda kekalahan total.
“Jadi, benar, kan?” suaranya terdengar lebih dekat. Aku tidak menyadari ia sudah berdiri dan kini berjongkok di hadapanku. Tangannya yang hangat terulur, bukan untuk mengusap air mataku, melainkan untuk mengangkat daguku, memaksaku menatapnya.
“Jawab, Aerra. Aku mau mendengarnya langsung darimu. Semua drama di telepon tadi itu bohong, kan?” desaknya, suaranya kini tak lagi dingin, melainkan tajam menuntut.
Aku hanya bisa mengangguk lemah, terlalu hancur untuk kembali berbohong. Setiap kebohongan hanya akan menjadi bumerang yang lebih menyakitkan.
“Bagus,” katanya, melepaskan daguku dengan kasar. Ia kembali duduk di sofa tunggalnya, menatapku seolah aku adalah properti yang baru saja ia beli dan ternyata memiliki cacat. “Setidaknya sekarang kamu berhenti membuang-buang waktuku dengan akting murahanmu.”
“Mas mau apa?” tanyaku lirih, suaraku bergetar. “Mas mau kita… cerai?”
Pertanyaan itu menggantung di udara. Sebagian dari diriku berharap ia mengatakan ‘iya’. Itu akan menjadi jalan keluar yang menyakitkan, tapi cepat. Namun, melihat sorot matanya, aku tahu jawabannya tidak akan sesederhana itu.
Aldo tertawa, kali ini tawa yang lebih lepas, tapi terdengar lebih mengerikan. “Cerai? Kenapa aku harus menceraikanmu? Pernikahan kita bahkan belum genap dua puluh empat jam. Apa kata orang nanti? Apa kata ibumu yang sudah susah payah menjualmu padaku?”
Kata ‘menjualmu’ terasa seperti tamparan keras di wajahku. Sakit, tapi aku tidak bisa membantahnya.
“Lalu… Mas mau apa?” ulangku, benar-benar ketakutan dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri. “Aku nggak akan melakukan apa-apa. Tapi kamu, Aerra, kamu yang akan melakukan sesuatu.”
Aku menatapnya dengan bingung. “Melakukan apa?”
“Dengar baik-baik,” katanya, nadanya berubah menjadi serius dan final, seperti seorang hakim yang akan membacakan putusan. “Aku nggak peduli siapa nama pria itu di hatimu. Aku nggak peduli berapa lama kalian pacaran. Mulai detik ini, semua itu tidak ada artinya lagi.”
Ia mengambil ponselku dari atas meja kopi. “Ini, aku sita.”
“Mas!” protesku. “Kenapa?”
“Supaya kamu nggak punya akses lagi ke masa lalumu. Anggap saja ini langkah pertama,” jawabnya enteng, memasukkan ponselku ke saku celananya. “Dan yang kedua, pernikahan ini akan tetap berjalan. Di depan semua orang, kita adalah pasangan paling bahagia di dunia. Kamu akan jadi istri yang sempurna, dan aku akan jadi suami yang sempurna.”
“Itu… itu semua cuma sandiwara,” bisikku ngeri.
“Tentu saja,” sahutnya. “Tapi bedanya, sandiwara ini akan kita mainkan sampai jadi kenyataan. Kamu akan belajar melupakan dia, dan kamu akan belajar untuk mencintaiku.”
Aku menggelengkan kepala dengan panik. “Mas nggak bisa maksa perasaan orang!”
“Aku bisa,” balasnya dengan keyakinan penuh. “Aku membelimu dari ibumu, Aerra. Aku membayarnya dengan mahar yang fantastis, rumah ini, dan semua kemewahan yang akan kamu nikmati. Jadi, ya, aku bisa memaksamu. Aku membeli tubuhmu, waktumu, dan kesetiaanmu. Kalau hatimu belum termasuk, maka itu akan jadi tugasmu untuk menyerahkannya padaku.”
Aku terdiam, membeku. Pria di hadapanku bukanlah Aldo yang kukenal sekilas selama proses perjodohan. Pria lembut dan penuh senyum itu telah lenyap, digantikan oleh sosok asing yang dingin, posesif, dan kejam.
“Aku… aku nggak bisa…”
“Kamu bisa dan kamu akan melakukannya,” potongnya tegas. “Karena kamu nggak punya pilihan lain. Kembali ke ibumu? Dia akan menyeretmu kembali ke sini. Pergi ke pacarmu itu? Aku jamin, hidupnya nggak akan tenang. Aku mungkin nggak bisa membeli hatimu, Aerra, tapi aku pastikan aku bisa membeli semua hal lain yang bisa membuat hidup kalian berdua seperti di neraka.”
Ancaman itu begitu nyata, begitu dingin, hingga membuat tulang-tulangku ngilu. Aku tahu dia tidak main-main. Pria dengan kekuasaan seperti Aldo bisa melakukan apapun yang ia katakan.
“Kenapa, Mas? Kenapa Mas lakukan ini?” tanyaku dengan sisa tenaga yang kumiliki. “Kenapa nggak lepaskan aku saja?”
Aldo menatapku lama, sorot matanya yang tajam sedikit melembut, meski hanya sesaat. “Karena aku menginginkanmu, Aerra. Sejak pertama kali aku melihat fotomu. Dan aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Entah dengan cara baik-baik, atau dengan cara seperti ini.”
Ia bangkit dari duduknya, menjulang di hadapanku. Aku merasa begitu kecil dan tak berdaya.
“Kesepakatan kita jelas?” tanyanya.
Aku tidak menjawab, hanya menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Aku anggap itu sebagai persetujuan,” lanjutnya. “Sekarang berdirilah.”
Seperti boneka tanpa tali, aku menurut. Kakiku terasa lemas saat aku berdiri menghadapnya.
“Malam sudah larut. Pengantin baru seharusnya sudah ada di kamar,” katanya dengan nada datar. Kalimat itu membuat darahku seakan berhenti mengalir.
Ia berbalik dan berjalan menuju kamar utama, kamar kami. Aku terpaku di tempat, ketakutan melumpuhkanku. Apa yang akan terjadi di dalam sana?
Aldo berhenti di ambang pintu kamar, ia menoleh ke arahku karena aku tidak mengikutinya. Wajahnya kembali tanpa ekspresi.
“Jangan membuatku harus menyeretmu, Aerra. Malam ini sudah cukup melelahkan.”
Ancaman terselubung itu sudah cukup untuk menggerakkan kakiku. Dengan langkah berat dan hati yang hancur berkeping-keping, aku berjalan mengikutinya masuk ke dalam sangkar emasku.
Ia menutup pintu di belakang kami, dan suara ‘klik’ dari kunci pintu terdengar seperti lonceng kematian bagi kebebasanku. Ruangan itu luas dan mewah, tapi terasa seperti sel penjara.
Aldo melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia kemudian melonggarkan dasinya sambil menatapku. Aku hanya berdiri mematung di dekat pintu, memeluk diriku sendiri.
“Tenang saja,” ucapnya tiba-tiba, seolah bisa membaca ketakutan terbesarku. “Aku nggak akan menyentuhmu malam ini.”
Aku sedikit bernapas lega, meski tidak sepenuhnya.
“Aku nggak tertarik tidur dengan wanita yang hatinya sedang meneriakkan nama pria lain,” lanjutnya, kalimatnya kembali menusuk. “Tapi jangan salah. Cepat atau lambat, aku akan menagih hakku sebagai suami. Saat kamu sudah siap, atau saat kesabaranku sudah habis.”
Ia berjalan ke lemari dan mengambil bantal tambahan serta selimut. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melemparkannya ke sofa panjang yang ada di sudut kamar.
“Kamu tidur di sana.”
Aku menatapnya bingung, lalu ke arah ranjang besar yang empuk, dan kembali ke sofa. Aku adalah istrinya, tapi aku diusir dari ranjang pengantin kami sendiri.
“Kenapa?” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.
Aldo menatapku dengan sorot mata yang sulit diartikan, ada kilatan amarah, kekecewaan, dan sesuatu yang lain di sana. Sesuatu yang hampir tampak seperti luka.
“Karena aku mau, setiap kali kamu membuka mata di sofa yang tidak nyaman itu,” jawabnya pelan, suaranya rendah dan berbahaya. “Kamu ingat bahwa kamulah yang memilih untuk menempatkan dirimu di sana. Bukan aku.”