 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ciuman pertama
Arinda berdiri cukup lama di depan lemari besar yang penuh dengan deretan pakaian rapi. Semua sudah dijelaskan Sofia padanya—baju rumah, baju tidur, baju untuk acara, bahkan pakaian khusus jika harus menemani Leo keluar menghadiri undangan resmi. Tapi tetap saja, meski sudah dijelaskan, ada satu hal yang membuatnya bingung.
Tangannya menyentuh kain satin tipis berwarna biru muda yang bergelantung manis di hanger. Arinda memicingkan mata, bibirnya merengut kecil.
“Kenapa baju Arinda… kayak gini semua? Apa Mbak Sofia salah pilih baju?” gumamnya lirih, polos.
Satu persatu pakaian tidur yang ada di sana memang hampir seragam—gaun tidur berbahan satin, tipis, ringan, dengan desain sederhana namun tetap terlihat mewah. Tidak ada satupun piyama longgar yang biasa ia pakai di rumahnya dulu, apalagi daster sederhana. Semua terlalu elegan untuk ukuran baju tidur menurutnya.
Dengan kebingungan yang akhirnya berujung pasrah, Arinda memilih satu gaun tidur satin berwarna biru muda tadi. Panjangnya hanya sebatas lutut, lengannya pendek, dan kainnya terasa lembut sekali di kulit. Ia memakainya pelan-pelan, menatap dirinya di cermin yang besar di dalam ruang ganti.
“Arinda jadi… kelihatan aneh gini,” bisiknya pada bayangan sendiri. Pipi polosnya memerah.
Akhirnya, dengan langkah pelan ia keluar dari ruang ganti menuju tempat tidur besar yang kini menjadi kamarnya. Tapi begitu membuka pintu kecil menuju area ranjang, langkahnya langsung terhenti.
Matanya membelalak, napasnya tercekat.
“T-Tuan…?”
Di sana, di sisi kasur, duduklah Leo. Ia mengenakan kemeja santai berwarna gelap, kancing bagian atas terbuka, menampilkan sedikit garis lehernya yang tegas. Sebuah laptop terletak di pangkuannya, jemarinya sibuk mengetik sesuatu. Aura serius dan dingin yang selalu menyelimutinya terasa memenuhi ruangan.
Arinda berdiri terpaku, seperti seorang murid ketahuan melakukan kesalahan. Degup jantungnya tak karuan. Ia bahkan meremas ujung baju tidurnya sendiri karena gugup.
Leo menghentikan gerak jarinya sejenak, lalu menoleh dengan tatapan tajam yang intens. “Mengapa lama sekali?” suaranya dalam, tenang, tapi entah kenapa membuat bulu kuduk Arinda meremang.
Arinda menelan ludah. Dengan langkah ragu ia berjalan mendekat, kepalanya sedikit menunduk. “Tuan bukannya tadi sibuk ya…?” tanyanya polos, suaranya lirih sekali.
Kalimat sederhana itu sukses membuat Leo terdiam sejenak. Jemarinya yang semula kembali mengetik kini berhenti total. Tatapan matanya menajam, menelusuri wajah lugu istrinya itu. Ada sesuatu di nada polos Arinda yang tanpa sadar membuatnya menoleh penuh perhatian.
Arinda yang menyadari dirinya ditatap begitu intens, langsung semakin gugup. Kedua tangannya saling meremas di depan perut, pipinya merona semakin merah.
Leo menutup laptopnya perlahan, lalu meletakkannya di meja kecil dekat kasur. Gerakannya begitu tenang, tapi justru membuat suasana makin mencekam. Ia menepuk sisi kasur di sebelahnya.
“Duduk.”
Arinda terdiam. Matanya melebar, bibirnya terkatup rapat. Jantungnya berdetak semakin cepat. Duduk di samping lelaki itu? Rasanya menakutkan. Aura Leo yang dingin benar-benar membuatnya gentar.
“Arinda,” suara Leo kembali terdengar, kali ini sedikit lebih rendah, penuh wibawa. “Saya bilang, duduk di sini.”
Arinda menggigit bibirnya sebentar, lalu dengan langkah pelan ia mendekat. Ia berhenti tepat di depan Leo, namun tetap tidak berani langsung duduk. Kepalanya menunduk, tangan masih sibuk meremas kain tipis bajunya sendiri.
“Sini,” Leo mengulurkan tangan, menarik pelan lengan Arinda hingga gadis itu terduduk kaku di sampingnya.
Arinda menahan napas. Bau parfum maskulin yang khas dari tubuh suaminya langsung memenuhi inderanya, membuat wajahnya semakin panas. Ia melirik sedikit, tapi cepat-cepat menunduk lagi ketika mata dingin itu nyaris menabrak tatapannya.
Leo bersandar sebentar, seolah mengamati reaksi polos istrinya. “Kenapa kelihatan takut?” tanyanya datar.
Arinda menelan ludah. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Akhirnya ia hanya menggeleng pelan, meski jelas wajahnya penuh kegugupan.
Leo menarik napas dalam, lalu pandangannya turun meneliti gaun tidur yang dikenakan Arinda. Kain satin biru muda itu membalut tubuh mungil istrinya, memberi kesan anggun meski sederhana. Gadis itu tampak seperti anak kecil yang dipaksa memakai pakaian orang dewasa.
“Siapa yang pilihkan baju ini?” tanya Leo tiba-tiba.
Arinda terlonjak kecil, buru-buru menjawab dengan suara lirih, “M-mbak Sofia, Tuan.”
Leo menatapnya lama. Senyum samar—hampir tidak terlihat—terbentuk di sudut bibirnya. Ia tidak menyangka Arinda bisa terlihat begitu polos dengan pakaian mewah itu. Bukan kesan menggoda yang muncul, melainkan justru rasa iba yang aneh bercampur geli.
Arinda makin salah tingkah. Ia menggenggam ujung bajunya, menunduk dalam. Tatapan Leo benar-benar membuatnya merasa telanjang.
“Tuan…” suaranya bergetar, nyaris berbisik. “Apa Arinda… salah pakai baju?”
Leo terdiam sejenak, menatap dalam ke arah gadis polos itu.
“Tidak.” suaranya akhirnya terdengar, dingin tapi mantap. “Kau terlihat… cukup.”
Arinda mengangkat wajah sekilas, lalu buru-buru menunduk lagi. Ia tidak tahu apakah itu pujian atau hanya kalimat biasa. Tapi apapun itu, cukup membuat hatinya berdebar lebih kencang.
Suasana hening sejenak. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Leo masih menatapnya, sementara Arinda semakin sibuk menunduk.
Akhirnya, Leo bersuara lagi, kali ini lebih tegas.
“Mulai malam ini, kau tidur di sini. Ini kamarmu.”
Arinda langsung menegang. Tubuhnya membeku, matanya melebar. Ia bahkan lupa bernapas beberapa detik.
“Punya Arinda?” suaranya hampir tidak terdengar.
Leo mengangguk pelan, matanya masih menatapnya dengan intens. “Ya. Kau istri saya. Wajar kalau berada di sisi saya.”
Arinda menggenggam erat kain bajunya, hatinya bergejolak hebat. Ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Leo begitu dingin, begitu berwibawa, tapi justru itu yang membuatnya semakin gugup.
Sementara Leo, meski wajahnya tetap datar, dalam hati ada sesuatu yang berbeda. Ia tahu Arinda masih polos, masih lugu, tapi entah mengapa kehadirannya mulai mengusik ketenangan yang biasa ia miliki.
Arinda menunduk semakin dalam, wajahnya merah padam. Ia hanya mampu bergumam lirih dalam hati:
“Kenapa degup jantung Arinda seperti ini…”
Arinda menggigit bibirnya sendiri sebentar, lalu memberanikan diri bertanya dengan wajah polosnya.
“...Apa tuan mau seperti orang-orang itu?”
Kening Leo sedikit berkerut. “Orang-orang itu?” ulangnya seakan menunggu penjelasan.
“Ya…” Arinda menarik napas, matanya masih tak berani bertemu dengan tatapan suaminya. “Mereka yang… kalau sudah menikah, terus… sama istrinya… eumm…” ia berhenti, wajahnya memerah. “Apa ya artinya… lupa…”
Leo sempat mengangkat satu alis, lalu akhirnya tersenyum miring. Tatapannya semakin tajam saat bertanya, “Malam pertama?”
Pertanyaan itu membuat Arinda sontak menoleh cepat, matanya membesar, dan pipinya kian merah padam. Ia mengangguk pelan, tapi anehnya penuh antusias, seakan penasaran tentang hal yang tak pernah ia ketahui.
“I-iya… malam pertama itu… seperti apa, tuan?” tanyanya polos, suara nyaris bergetar.
Leo menatapnya lekat, seakan ingin menembus isi kepala gadis itu. Ia tidak langsung menjawab dengan kata-kata. Perlahan dia mendekatkan tubuhnya ke Arinda, lalu tubuh tegapnya condong ke arah Arinda.
“Seperti ini…” suaranya rendah, berat, dan penuh kuasa.
Dalam sekejap, Leo menarik pinggang istrinya hingga tubuh mungil Arinda langsung terduduk di atas pangkuannya. Arinda terlonjak kaget, tangannya refleks menahan di bahu suaminya.
“T-tuan…” bisiknya dengan wajah panik.
Leo hanya tersenyum samar, lalu menggenggam tangan kecil istrinya dan meletakkannya di belakang lehernya sendiri. “Pegang erat,” ucapnya pelan.
Arinda menurut. Tangannya kini melingkar kaku di leher Leo, wajahnya begitu dekat hingga ia bisa merasakan hangatnya napas sang suami. Hatinya bergemuruh tak karuan.
“Seperti ini, tuan? Ini cuma… duduk…” katanya gugup, mencoba menutupi rasa malunya.
Leo menatap intens, matanya berkilat tajam. “Kamu masih terlalu polos, Arinda.”
Gadis itu hanya bisa menunduk, wajahnya makin merah. Ia tidak mengerti apa maksud ucapan itu. Namun sebelum sempat bertanya lagi, Leo mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka hanya berjarak tipis.
Tanpa peringatan, Leo melumat bibir istrinya.
Arinda terkejut. Matanya membesar, tubuhnya kaku, bahkan ia sempat menahan napas karena panik. Rasanya asing—hangat, lembut, dan membuat jantungnya berdetak tak terkendali. Ini pertama kalinya bibirnya disentuh oleh seseorang, apalagi dengan cara seperti itu.
“T-tuan…” suaranya terputus di sela lumatan singkat itu.
Leo melepaskan ciuman hanya untuk sejenak menatap wajah polos gadisnya. “Kaget?” tanyanya dengan suara rendah.
Arinda mengangguk cepat, matanya berkaca-kaca. “I-iya… bibir Arinda… ini pertama kali…”
Leo tersenyum tipis, lalu menyentuh pipi Arinda dengan telapak tangannya yang hangat. “Bagus.” Jemarinya mengusap lembut kulit pipi istrinya yang merona. “Makanya saya ajarkan.”
Belum sempat Arinda mencerna ucapan itu, bibirnya kembali direbut oleh Leo. Kali ini lebih dalam, lebih lama. Arinda awalnya kaku, tapi perlahan ia belajar mengikuti ritme suaminya. Ia menggenggam leher Leo lebih erat, takut terjatuh dari pangkuannya.
Dadanya sesak, tapi juga hangat. Ada sesuatu yang aneh merambat dari dadanya ke seluruh tubuh, membuatnya lemas namun juga enggan melepas.
Ketika Leo akhirnya menarik wajahnya, Arinda megap-megap kecil. Nafasnya memburu, matanya masih terpejam sebentar lalu terbuka dengan tatapan bingung.
“Tuan…” ia berbisik lirih. “Kalau malam pertama itu… cuma begini?”
Leo terkekeh singkat. “Bagi kamu, cukup begini dulu.” Tangannya mengelus rambut panjang Arinda, lalu menundukkan kepala hingga dahi mereka saling menempel. “Kamu terlalu berharga untuk disakiti.”
Arinda terdiam. Kata-kata itu menusuk lembut di hatinya. Ada rasa hangat sekaligus haru yang ia rasakan.
Ia tersenyum kecil, masih malu, lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang suami. “Kalau begitu… Arinda suka malam pertama begini saja, tuan. Tidak menakutkan… malah… hangat.”
Leo merangkul pinggang istrinya lebih erat. Ia tidak berkata apa-apa lagi, hanya menatap wajah polos itu dengan perasaan yang belum pernah ia ungkapkan. Malam itu, tanpa harus banyak kata, mereka berdua mulai merasakan arti kebersamaan—meski sederhana, tapi begitu mendalam.
Arinda menutup matanya, tubuhnya masih berada dalam pangkuan Leo. Untuk pertama kalinya, ia merasa aman meski berada dalam dekapan pria yang selalu terlihat dingin itu.
Dan bagi Leo, malam itu adalah awal dari sesuatu yang baru. Ia sadar, polosnya gadis bernama Arinda itu bisa jadi justru benteng yang perlahan meluruhkan dinginnya hatinya.
 
                    