Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.
Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 / THTM
Sudah tiga minggu sejak terakhir kali Nayara melihat Alaric.
Tiga minggu tanpa pesan aneh, tanpa tatapan tajam di koridor, tanpa rasa jantung berdebar karena suara mobil hitam itu berhenti di depan sekolahnya.
Tiga minggu… dan untuk pertama kalinya, hidup Nayara terasa normal lagi.
Ia bisa tertawa dengan Elara tanpa rasa bersalah.
Bisa berjalan pulang bersama teman-teman tanpa cemas akan mobil yang mengikutinya diam-diam.
Bisa tidur tanpa mimpi buruk — meski kadang, wajah itu masih muncul sesekali di sela mimpi.
“Mungkin dia udah bosan, ya…”
gumam Nayara sambil menatap langit-langit kamar.
Pikiran itu anehnya terasa melegakan sekaligus… kosong.
Entah kenapa, bagian kecil dari dirinya justru seperti kehilangan sesuatu.
Dan ia benci menyadari itu.
Ibunya sempat bercerita, katanya “Tuan muda” — sebutan yang dipakai orang-orang rumah besar untuk Alaric — sedang ke luar negeri.
Urusan pekerjaan, mengurus cabang utama perusahaan keluarga di Singapura.
Itu menjelaskan semuanya, dan Nayara mengangguk waktu mendengar kabar itu.
Tapi, entah kenapa, hatinya berbisik pelan:
“Kenapa lega ini malah terasa kayak bohong, ya?”
Hari berganti cepat.
Nayara mulai terbiasa dengan rutinitas tanpa gangguan.
Bangun pagi, bantu ibunya sebentar, berangkat sekolah, belajar, pulang, bantu di rumah, tidur.
Semua berjalan seperti dulu — seperti sebelum hidupnya disentuh oleh pria itu.
Namun, ketenangan memang hal yang rapuh.
Dan Nayara baru sadar sore itu, di depan gerbang sekolah.
Mobil hitam itu lagi.
Terparkir rapi di seberang jalan, kaca jendelanya terbuka sedikit — cukup untuk memperlihatkan siluet seseorang di balik setir.
Nayara menatapnya lama.
Jantungnya berdebar, tapi pikirannya menolak percaya.
“Gak mungkin…”
bisiknya pelan.
“Dia masih di luar negeri, kan?”
Tapi begitu kaca itu turun perlahan, dan senyum miring itu muncul — Nayara tahu, pikirannya salah.
Alaric keluar dari mobil dengan langkah santai.
Kemeja putihnya dilipat di pergelangan, dasinya longgar, dan tatapannya langsung tertuju padanya seolah tak ada orang lain di dunia ini.
“Lama nggak ketemu,” katanya ringan.
“Kamu keliatan… tenang.”
Nayara menelan ludah, tak bisa berkata apa-apa.
Langkahnya mundur setengah langkah, tapi Alaric justru mendekat dua langkah lebih cepat.
“Gimana rasanya, hm?”
suaranya rendah, nyaris berbisik tapi cukup jelas untuk menusuk jantung Nayara.
“Tiga minggu tanpa aku. Waktu tenang yang aku kasih.”
“K–kak Alaric… aku—”
“Aku sengaja,” potongnya cepat.
“Biar kamu tahu rasanya ‘bebas’. Supaya nanti… waktu aku datang lagi, kamu sadar kalau bebas mu cuma sementara.”
Senyum itu muncul lagi — bukan senyum jahat, tapi senyum yakin milik seseorang yang tahu dirinya takkan ditolak meski ditolak.
Senyum yang membuat lutut Nayara lemas, bukan karena suka… tapi karena takut pada hatinya sendiri.
“Sekarang…”
lanjut Alaric, mencondongkan tubuh sedikit.
“Kita mulai lagi dari mana, Nayara?”
Nayara tak menjawab.
Ia hanya berdiri di sana, antara ingin lari dan ingin tetap diam.
Dan untuk pertama kalinya, ia sadar — Alaric tak pernah benar-benar pergi.
Ia cuma memberi jeda, seperti singa yang menunggu mangsanya berhenti waspada sebelum menerkam lagi.
Nayara masih berdiri terpaku di depan gerbang sekolah itu.
Mobil hitam di belakangnya, dan Alaric yang kini berdiri terlalu dekat — jaraknya bahkan cukup untuk membuat napas keduanya terasa bercampur.
“Kita mulai lagi dari mana, Nayara?” Tanya nya lagi.
suaranya begitu tenang, tapi di balik itu tersimpan tekanan yang membuat udara seolah berhenti bergerak.
Nayara mundur selangkah, tapi bahunya sudah menyentuh tiang gerbang. Tak ada ruang lagi.
“Aku… aku harus pulang,”
katanya pelan, mencoba mengumpulkan keberanian yang entah ke mana perginya.
“Pulang?” Alaric menurunkan nada suaranya, tatapan matanya tajam.
“Kamu yakin itu yang mau kamu lakukan setelah semua waktu yang sudah ku berikan?”
Nayara menelan ludah, jantungnya seolah berdetak di tenggorokan.
Ia hendak menjawab — tapi suara langkah cepat dan tawa familiar terdengar dari arah belakang.
“Kak Alaric?”
Suara itu membuat keduanya spontan berpaling.
Elara, dengan rambut terikat dan tas sekolah di punggung, berlari kecil menghampiri mereka.
Raut wajah Nayara berubah lega seketika, sementara ekspresi Alaric menegang sepersekian detik — tapi hanya sesaat, sebelum kembali menjadi tenang seperti biasa.
“Eh… Elara,” Nayara cepat-cepat berkata, suaranya bergetar halus.
“Kamu belum pulang?” Tanya nayara.
“Aku nyari kamu tadi di kantin, tapi katanya udah keluar duluan!”
Elara menoleh ke arah Alaric, senyum lebar di wajahnya.
“Kak, ngapain di sini? Kok gak bilang mau jemput?”
Alaric tersenyum tipis — refleks cepatnya bekerja sempurna.
“Baru balik dari bandara,” ujarnya tenang, nada suaranya datar tapi penuh keyakinan.
“Sekalian aja mampir jemput kamu. Kebetulan lewat.”
“Oh gitu…” Elara mengangguk sambil menatap Nayara.
“Tapi kok Nayara di sini juga?”
“Aku cuma lagi nunggu angkot,” Nayara buru-buru menjawab, berusaha terdengar normal meski suaranya sedikit gemetar.
“Tadi jalannya panas banget, jadi mau istirahat dulu.”
“Ohh, kirain kenapa,” Elara tertawa kecil. “Ayo Nay, sekalian aja bareng! Kak Alaric kan bawa mobil.”
Senyum Alaric tidak berubah. Tapi di balik senyum itu, matanya hanya menatap Nayara, mengirim pesan tanpa suara —
pesan yang jelas:
“Jangan berani nolak.”
Nayara menarik napas panjang, mencoba menelan rasa takutnya sendiri.
“Gak usah, El… aku langsung aja ke rumah, aku masih ada sedikit urusan.”
“Yakin?”
“Iya, yakin banget. Kalian duluan aja.”
Alaric menatap Nayara lama, sebelum akhirnya menepuk pelan bahu Elara.
“Ayo,” katanya singkat. “Kita pulang.”
Elara masih sempat melambaikan tangan ke arah Nayara sebelum naik ke mobil.
Dan tepat ketika mobil itu berjalan perlahan meninggalkan halaman sekolah, tatapan Alaric di kaca spion bertemu dengan tatapan Nayara yang masih berdiri di trotoar.
Tatapan itu tak lama — tapi cukup untuk membuat tubuh Nayara gemetar, karena dari pandangan singkat itu, ia tahu satu hal:
Permainan belum selesai.
Dan kali ini, Alaric takkan membiarkan jeda terlalu lama lagi.
——————
Langit Jakarta masih menyisakan warna jingga ketika Nayara menatap jendela kamarnya yang terbuka. Hembusan angin sore masuk membawa aroma hujan yang belum turun—dan entah kenapa, membuat dadanya semakin sesak.
Ia sudah berkali-kali mencoba memejamkan mata, tapi bayangan itu selalu muncul:
tatapan Alaric di kaca spion.
Tatapan yang tenang tapi menyimpan makna yang terlalu banyak.
“Kak Alaric… kenapa harus muncul lagi?”
gumamnya lirih, suaranya hampir tidak terdengar.
Di meja belajar kecilnya, ponsel tua miliknya bergetar pelan.
Satu pesan baru masuk.
Nomor itu tidak tersimpan, tapi Nayara sudah tahu siapa pengirimnya bahkan sebelum membuka pesan itu.
Dari: Nomor tak dikenal
Isi: “Tidur nyenyak, Nayara. Mimpi yang manis. Aku akan datang menagih janjimu.”
Pesan itu membuat jantungnya melompat. Ia segera menekan tombol hapus, tapi tangannya gemetar. Layar ponsel itu terasa dingin di telapak tangannya, sementara udara kamar mendadak pengap.
“Kenapa dia tau nomorku lagi?”
bisiknya panik.
Ia mematikan ponsel dan menutup wajah dengan kedua tangan.
Seharusnya ini sudah selesai. Harusnya, setelah pria itu pergi keluar negeri, ia bisa hidup normal lagi. Tapi kenyataannya tidak. Alaric kembali… dan kembali dengan cara yang lebih menakutkan.
Suara ketukan pintu pelan membuatnya tersentak.
“Nay, udah makan belum?”
suara ibunya terdengar dari luar.
“Udah, Bu!”
balas Nayara cepat. Ia memaksa suaranya terdengar biasa.
Ibunya tidak mencurigai apa-apa, hanya berkata lembut dari luar pintu,
“Jangan belajar terus, nanti matanya lelah.”
“Iya, Bu…”
Begitu langkah ibunya menjauh, Nayara memeluk lututnya di atas kasur.
Pikiran-nya berputar.
Ia ingin cerita pada Elara, tapi bagaimana kalau Elara tahu rahasianya?
Ia ingin jujur pada ibunya, tapi bagaimana menjelaskan kalau pria yang dimaksud adalah anak dari majikan mereka?
Ia menunduk, air mata menetes di antara jemarinya.
“Aku capek… tolong, jangan ganggu aku lagi…”
Namun dunia seakan tidak peduli pada permintaannya.
Karena lima menit kemudian, ponselnya kembali bergetar—meski ia yakin sudah mematikannya.
Layar menyala sendiri. Ada pesan baru, tapi kali ini tanpa teks. Hanya sebuah foto.
Nayara menatapnya membeku.
Foto itu diambil dari kejauhan—menampilkan jendela kamarnya dengan tirai setengah terbuka, dan dirinya yang duduk di kasur, terlihat dari luar.
Ia buru-buru menutup tirai itu dengan tangan gemetar.
Di luar, suara kendaraan lewat biasa saja, tapi baginya semua terasa seperti ancaman.
“Dia… di luar sana?”
Entah mengapa kini Nayara merasa seolah sedang berada dalam kegelapan paling pekat.
Dan jauh di dalam mobil hitam yang terparkir di seberang gang kecil itu, Alaric menatap layar ponselnya dengan senyum samar.
“Kalau kamu mau tenang, Nayara…”
bisiknya pelan, nyaris seperti doa yang menakutkan.
“Datang saja padaku.”