 
                            Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.
Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah
Adrian menghela napas panjang sambil melirik kaca spion. Mobil hitam yang ia kemudikan melaju mulus di jalanan kota. Di kursi belakang, seorang gadis duduk diam, tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Sesekali ia menatap keluar jendela, tapi lebih sering menunduk, seperti menyembunyikan keresahan dalam dirinya.
Naraya Arinda—begitu nama yang Adrian dengar saat menjemputnya di rumah kecil di desa pinggiran kota. Gadis itu baru berusia dua puluh tahun. Usianya masih muda, wajahnya masih menyimpan banyak kepolosan. Kulit kuning langsatnya bersih, rambut hitam panjang tergerai rapi, dan kebaya putih sederhana membalut tubuhnya. Ada kecantikan alami yang tidak dibuat-buat, seakan ia tidak sadar bahwa dirinya menarik.
Namun sejak perjalanan dimulai, Arinda lebih banyak diam. Bibirnya yang mungil tak bergerak sedikit pun, hanya sesekali mengerjap menahan gugup. Hingga akhirnya, suaranya pecah lirih, memecah keheningan yang menyesakkan.
“Tuan… apa… apa Tuan yang mau menikahi saya?” tanyanya dengan suara ragu, hampir seperti bisikan.
Adrian sempat kaget, refleks mendelik lewat kaca spion menatap wajah gadis itu. Pertanyaan itu polos sekali, membuatnya sulit menahan tawa kecil. Ia cepat-cepat menggeleng sambil menyahut, “Bukan saya, Nona. Tapi Tuan saya. Kamu tenang saja. Saya ini hanya tangan kanannya. Tuan itu orangnya baik sebenarnya… cuma ya, wajahnya agak… sangar. Jadi jangan takut.”
Arinda terdiam lagi. Pipinya merona, entah malu atau gugup. Tangannya semakin erat menggenggam kebaya putihnya, seakan mencari pegangan.
Adrian melirik sekali lagi lewat kaca spion, lalu menambahkan dengan nada sedikit lebih lembut, “Tuan sudah datang duluan, dia menunggu. Jadi kamu tak usah cemas. Semua sudah diatur.”
Gadis itu hanya mengangguk pelan. Hatinya tetap berdegup tak karuan. Ia sendiri tak paham bagaimana bisa berada dalam situasi ini. Beberapa hari lalu hidupnya begitu sederhana: bangun pagi, menimba air, membantu tetangga yang sedang panen, lalu kembali ke rumah kecil peninggalan almarhum orang tuanya. Sepi, sunyi, dan sederhana. Namun kini, seakan takdir menyeretnya ke dunia asing yang penuh misteri.
Naraya Arinda memang sebatang kara. Sejak kedua orang tuanya meninggal, ia hidup seorang diri. Tidak ada saudara dekat yang benar-benar peduli. Ia sering merasa kesepian, meski wajahnya selalu menyimpan senyum. Maka ketika seseorang datang membawa kabar bahwa ada seorang pria kaya raya ingin menikahinya, hatinya campur aduk. Takut, bingung, sekaligus penasaran.
“Pernikahan…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. “Bukankah seharusnya ada lamaran dulu, pertemuan keluarga, atau… apa begini caranya?”
Adrian yang mendengarnya hanya menahan senyum getir. Kalau bukan karena perintah tuannya, ia pasti sudah menyarankan gadis itu untuk kabur sejauh mungkin. Leo memang pria dingin, tak pernah bisa ditebak jalan pikirannya. Tiba-tiba ingin menikah, tanpa basa-basi, tanpa proses panjang. Begitu sudah menetapkan sesuatu, semua orang hanya bisa mengikuti.
“Percayalah, Nona,” ucap Adrian akhirnya. “Tuan saya orang yang memegang janji. Kalau sudah memutuskan menikahimu, dia pasti akan menjagamu. Hanya… ya, cara Tuan memang selalu mengejutkan.”
Arinda menoleh, menatap Adrian dengan mata bulat polos. “Kalau dia marah… apa saya akan dimarahi juga?”
Adrian nyaris tergelak, tapi buru-buru menahan diri. “Kamu terlalu banyak khawatir, Nona. Yang penting, jangan pernah melawan kata-katanya. Itu saja kuncinya.”
Arinda kembali diam. Pertanyaan-pertanyaan lain masih bergulir di kepalanya, tapi ia tak tahu harus ditanyakan pada siapa. Adrian terlihat sibuk menyetir, wajahnya datar meski sebenarnya ia juga sedikit kasihan pada gadis itu.
Mobil akhirnya berhenti di depan gedung KUA yang sederhana. Malam sudah merayap turun, lampu jalan menyinari halaman depan. Suasana sepi, hanya beberapa orang yang tampak seperti staf sudah menunggu.
Adrian turun lebih dulu, lalu membuka pintu belakang. “Silakan, Nona.”
Arinda melangkah turun dengan hati yang berdebar-debar. Langkahnya kecil, ragu-ragu, namun tetap ia ikuti arahan Adrian. Di dalam gedung, ia melihat seorang pria duduk tenang. Wajahnya tegas, sorot matanya dingin, posturnya tegap dengan jas hitam yang membuatnya terlihat semakin berwibawa.
Leo.
Arinda langsung menunduk, tak berani menatap lama. Ada hawa yang berat, membuat jantungnya semakin tak terkendali. Adrian berdehem kecil lalu berkata, “Tuan, ini dia.”
Leo hanya menoleh sebentar, matanya mengamati gadis yang dibawa Adrian. Tatapan tajamnya seakan menembus hingga ke dasar jiwa, membuat Arinda merasa semakin kaku. Namun Leo tidak banyak bicara. Ia hanya memberi anggukan kecil pada penghulu yang sudah siap.
Semua terasa begitu cepat.
Penghulu mulai membaca doa, lalu menyiapkan akad nikah. Arinda bahkan belum sempat benar-benar mencerna apa yang terjadi. Tangannya sedikit gemetar ketika diminta duduk di samping Leo. Suara penghulu bergema jelas, sementara Leo menjawab ijab kabul dengan lantang, tegas, tanpa keraguan sedikit pun.
Hanya satu kali ucap. Sah.
Arinda menutup mata sejenak. Air bening hampir saja menetes, tapi segera ia tahan. Kini, ia bukan lagi gadis desa yang sebatang kara. Malam itu juga, ia resmi menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru kali ini ia lihat wajahnya secara langsung.
Di sisi lain, Leo menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan seakan tidak ada hal istimewa. Baginya, ini hanya sebuah keputusan. Sebuah langkah yang sudah dipikirkan dan tidak bisa diganggu gugat.
Adrian menghela napas panjang. Dalam hati ia berucap lirih, Selamat datang di dunia Tuan Leo, Nona. Semoga kamu kuat menjalaninya.
Suasana di halaman KUA masih ramai dengan orang yang keluar masuk. Namun, di satu sudut tempat parkir, ada mobil hitam mewah yang sudah menunggu dengan pintu terbuka. Mobil itu jelas berbeda dengan mobil sederhana yang dikendarai Adrian.
Arinda melirik ragu ketika Adrian menepuk bahunya pelan.
“Nona, silakan masuk. Tuan sudah menunggu,” ucap Adrian dengan nada tenang.
Arinda menoleh, wajahnya masih bingung. “Tapi… tadi waktu ke sini, Arinda kan naik mobil itu,” ujarnya polos, menunjuk ke arah mobil yang dikendarai Adrian sebelumnya.
Adrian sedikit tersenyum geli melihat kepolosan gadis itu. Ia sempat mendelik tipis, bukan marah, tapi karena merasa si gadis begitu lugu hingga tak tahu bagaimana menjelaskan perbedaan sederhana seperti itu. “Nona, mobil itu milik saya. Hanya mobil pribadi, bukan milik tuan saya. Sekarang tugas saya sudah selesai. Jadi mulai sekarang, silakan naik mobil ini. Itu milik tuan… dan jangan lupa, beliau adalah suami nona sekarang.”
Arinda mengangguk cepat, wajahnya memerah. Kata “suami” yang keluar dari mulut Adrian membuat jantungnya berdebar aneh. Ia sendiri masih belum benar-benar percaya, baru saja beberapa menit lalu seorang lelaki asing—yang hanya ia kenal dari nama dan reputasi—sudah sah menjadi pendamping hidupnya.
Dengan langkah ragu, ia melangkah ke arah mobil hitam itu. Aroma khas mobil baru langsung menyambut hidungnya ketika ia masuk. Jok kulit yang dingin membuat tubuhnya sedikit kaku. Di sana sudah duduk seorang pria bertubuh tegap, berwajah tajam, dengan tatapan dingin yang membuat bulu kuduk Arinda meremang.
Leo. Suaminya.
Arinda menelan ludah, lalu duduk pelan di sisi kursi, menjaga jarak sebisa mungkin. Tangan mungilnya saling menggenggam di pangkuan, tubuhnya menunduk sopan.
Beberapa detik hanya ada keheningan yang mengikat. Hanya suara mesin mobil yang bergetar pelan. Arinda sesekali mencuri pandang ke arah pria di sampingnya, tapi setiap kali tatapan Leo bergerak, ia langsung menunduk cepat, wajahnya memanas karena ketakutan.
Tatapan Leo memang tajam, seolah bisa menembus ke dalam hati. Ekspresi wajahnya kaku, garis rahangnya tegas, dan bibir tipisnya terkatup rapat. Bagi Arinda, semua itu menambah kesan menyeramkan.
Tangannya yang mungil mulai gemetar. Ia ingin menenangkan diri, tapi tubuhnya seakan tak mau mendengar. Nafasnya cepat, dada terasa sesak karena ketegangan.
Menyadari hal itu, Leo akhirnya menggerakkan tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia meraih tangan mungil Arinda yang berada di pangkuannya.
Arinda terkejut bukan main. Matanya melebar, jantungnya berdegup tak karuan. “Tu-tuan…” suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Namun, genggaman Leo kokoh. Tangan besar dan hangatnya menutupi telapak tangan Arinda sepenuhnya. Dalam satu genggaman saja, tangan Arinda hilang, begitu mungil dibandingkan milik Leo.
“Arinda” suara Leo berat, rendah, dan dalam. “Berhenti gemetar. Saya tidak akan menyakitimu.”
Arinda terdiam. Ia ingin menarik tangannya, tapi seolah ada kekuatan yang menahannya. Ia mencoba bergerak pelan, namun genggaman itu terlalu kuat. Tidak kasar, tapi juga tidak memberi ruang untuk kabur.
Ia akhirnya hanya bisa diam, duduk kaku dengan wajah menunduk. Pipinya memanas, bukan hanya karena takut, tapi ada sesuatu yang ia sendiri tak mengerti.
Leo menatap gadis di sampingnya beberapa saat, seolah menimbang-nimbang. Ia bukan tipe pria yang suka berbasa-basi, apalagi menjelaskan panjang lebar. Namun, ia tahu gadis ini berbeda. Arinda polos, lugu, bahkan mungkin sama sekali tidak tahu dunia seperti apa yang kini sedang ia masuki.
Dengan suara lebih lembut, Leo berkata, “Mulai sekarang, kamu bukan lagi sendiri. Ingat itu. Apa pun yang terjadi, kamu sudah sah menjadi istri saya. Jadi… jangan takut.”
Arinda tertegun. Kata-kata itu membuat matanya sedikit berkaca-kaca. Selama ini ia memang terbiasa hidup sebatang kara, tanpa keluarga yang bisa membela atau melindungi. Kini, ada seorang pria yang dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak sendiri lagi.
“Tapi… tuan, Arinda—Arinda hanya gadis desa. Apa tuan tidak menyesal sudah memilih Arinda?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja, polos dan jujur.
Leo mendengkus pelan, tapi bukan karena marah. Lebih kepada rasa heran dengan kepolosan istrinya ini. “Jika saya menyesal, saya tidak akan menikahimu.”
Jawaban singkat, tapi tegas.
Arinda menunduk lagi, pipinya makin merah. Ada rasa hangat yang perlahan menggantikan rasa takutnya. Meskipun wajah sang suami terlihat sangar, entah mengapa hatinya sedikit merasa tenang setelah mendengar kata-kata itu.
Mobil melaju melewati jalanan kota yang padat. Di dalamnya, dua orang yang baru saja sah menjadi pasangan suami-istri duduk berdampingan dalam keheningan yang terasa canggung. Sesekali Arinda melirik tangan mereka yang masih tergenggam, dan setiap kali melihatnya, hatinya berdebar semakin kencang.
Leo tidak melepaskannya. Seolah genggaman itu adalah tanda kepemilikan, sekaligus perlindungan.
Dalam hati, Arinda berbisik lirih: *Mungkin benar kata tuan Adrian… tuan ini tidak seburuk wajahnya*.
 
                    