Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Bukan Orang Asing
Di ruang tamu rumah besar itu, suasana sore terasa begitu lengang. Tirai beludru berwarna merah marun menutup sebagian cahaya matahari, menyisakan ruangan yang nyaman namun penuh hawa kesombongan. Ratna duduk di kursi empuk sambil menyeruput teh hangat. Di hadapannya, Diana asyik memoles kukunya dengan warna merah menyala.
Suasana tenang itu pecah oleh tawa Diana. “Ma, aku tadi dapat kabar dari Bu Maya. Katanya Elma benar-benar sudah pergi dari kontrakan pagi tadi.”
Ratna tersenyum puas, matanya menyipit penuh kepuasan. “Bagus. Itu artinya rencana kita berhasil. Elma pasti sekarang sedang kebingungan, tidak tahu harus kemana. Hamil, miskin, tidak punya siapa-siapa, apa yang bisa dia lakukan selain menangis di jalan?”
Diana terkekeh sambil memandang kuku barunya. “Aku bisa membayangkan wajahnya. Wajah pucat, mata bengkak karena menangis, dan tubuh gemetaran sambil membawa koper lusuh. Menyedihkan sekali, kan? Kelaparan dan harus tidur di pinggir jalan."
Ratna ikut tertawa kecil. “Semua itu pantas didapatkan Elma. Sejak awal Mama sudah tidak suka dengan perempuan itu. Tidak tahu malu, menikah dengan Dion hanya membawa kesialan. Lihat saja, bisnis keluarga hancur, keluarga kita banyak hutang. Dan dia? Masih berani berharap bisa hidup enak di sini.”
“Benar, Ma,” sahut Diana cepat. “Kalau saja Elma masih tinggal di kontrakan itu, siapa tahu ada orang baik yang menolongnya. Sekarang setelah dia benar-benar diusir, aku yakin dia akan mati kelaparan. Uang pun pasti sudah habis untuk membayar kontrakan sebelumnya.”
Ratna mengangguk, wajahnya penuh kepuasan. “Dan kalau sampai dia kelaparan, kandungannya juga akan terganggu. Itu lebih baik. Mama tidak mau anak Elma lahir lalu mengusik kehidupan kita atau bahkan mengganggu Dion di masa depan.”
Diana menyeringai. “Ya, anak itu tidak boleh lahir. Tidak ada gunanya. Lagipula orang seperti Elma tidak pantas menjadi seorang ibu. Bayi itu hanya akan menambah beban hidupnya. Cepat atau lambat, dia akan hancur juga.”
Ratna meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, kemudian bersandar santai. “Kita hanya perlu menunggu. Waktu akan mengurus segalanya. Kita tidak perlu mengotori tangan lebih jauh. Dengan keadaan seperti ini saja, Elma pasti tidak akan bertahan lama. Tidak ada keluarga, tidak ada rumah, tidak ada uang. Aku yakin dalam beberapa minggu dia akan menyerah.”
Diana terkekeh, suaranya terdengar puas sekaligus kejam. “Bayangkan kalau saja Elma benar-benar terlunta di jalan, orang-orang akan memandanginya dengan hina, diejek dan direndahkan dengan status jandanya."
Ratna pun tertawa kecil, suaranya dingin. “Benar sekali. Dan itu akan menjadi pelajaran untuk siapa saja yang berani melawan keluarga kita. Tidak ada yang bisa menantang Ratna atau Diana. Termasuk Elma.”
Tawa mereka menggema di ruang tamu yang megah itu, seakan menjadi perayaan kemenangan.
Namun, di balik semua kepuasan itu, mereka tidak tahu bahwa Elma tidak sedang tergeletak di jalan seperti bayangan mereka. Mereka tidak tahu bahwa Amar, teman lama yang kaya raya, sudah datang menolong Elma dan memberinya tempat tinggal yang jauh lebih layak daripada sekadar kontrakan.
Bagi Ratna dan Diana, hari itu terasa seperti hari keberhasilan terbesar. Mereka benar-benar yakin bahwa Elma sudah kalah.
“Ma,” kata Diana sambil tersenyum sinis, “aku rasa kita tidak perlu memikirkan Elma lagi. Dia sudah tamat.”
Ratna mengangguk, wajahnya tenang penuh keangkuhan. “Ya, biarkan dia binasa dengan sendirinya.”
Dan sore itu, tawa mereka masih berlanjut, tidak menyadari bahwa kehidupan justru sedang menyiapkan kejutan yang tak pernah mereka bayangkan.
***
Malam itu, setelah kepenatan dan air mata yang tak kunjung berhenti, Elma masih duduk di ruang tamu kamar hotelnya. Selimut tipis yang diberikan Amar melingkupi tubuhnya, meski hawa dingin masih menusuk dari celah jendela. Ia memeluk perutnya yang perlahan membuncit, merasa asing sekaligus takut dengan apa yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.
Amar datang membawa segelas susu hangat. “Minum ini dulu, El. Jangan sampai sakit. Kau harus kuat, demi dirimu dan anakmu.”
Elma menatapnya ragu, lalu menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meneguk perlahan, hangatnya menenangkan dada yang sejak tadi terasa sesak.
Ketika suasana hening, Amar duduk di kursi seberang, menatap Elma dengan serius. “Besok kita ke rumah sakit,” ucapnya pelan, namun tegas.
Elma terkejut, matanya membesar. “Aku tidak bisa, Mar. Aku tidak punya uang. Lagi pula, aku tidak ingin merepotkanmu.”
Amar menggeleng cepat, seolah sudah mempersiapkan jawaban. “Dengar, El. Aku tidak menerima penolakan. Anak yang ada di kandunganmu punya hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang layak. Kau juga berhak hidup sehat. Uang, urusan nanti. Yang penting kau selamat.”
Kata-kata itu membuat dada Elma bergetar. Tangannya meremas selimut, menahan air mata yang hendak jatuh. Selama ini, ia terbiasa menanggung segalanya sendiri, bahkan ketika suaminya meninggalkannya. Tidak ada seorang pun yang peduli, kecuali dirinya sendiri. Tapi kini, ada orang yang memaksa untuk tetap berada di sisinya.
“El, aku tahu kau takut. Aku bisa melihat dari wajahmu. Tapi tolong, kali ini jangan keras kepala. Aku hanya ingin kau baik-baik saja,” lanjut Amar dengan nada penuh ketulusan.
Elma tak sanggup menahan isak. Air matanya menetes, membasahi pipi pucatnya. “Kenapa kau peduli padaku sejauh ini? Padahal aku bukan siapa-siapa untukmu. Aku bahkan hanya orang asing yang tiba-tiba datang ke hidupmu dan kita sudah lama tidak bertemu."
Amar menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Kau bukan orang asing. Kau itu manusia, El. Manusia yang sedang kesusahan. Kalau aku bisa membantu, kenapa harus berpaling? Lagi pula anakmu tidak bersalah. Dia harus lahir dengan sehat.”
Elma terdiam lama. Suara Amar terdengar tulus, membuatnya ingin percaya lagi pada kebaikan orang lain. Ia mengusap matanya dengan punggung tangan, lalu mengangguk perlahan. “Baiklah, aku ikut, tapi aku janji akan berusaha mencari cara untuk membayar kembali kebaikanmu.”
Amar tersenyum lega, lalu menepuk bahunya dengan lembut. “Itu tidak perlu dipikirkan sekarang. Fokusmu hanya satu, menjaga dirimu dan bayimu.”
Malam semakin larut. Elma akhirnya bisa tertidur di ruang tamu, ditemani rasa hangat yang berbeda. Bukan hanya hangat dari selimut, tapi juga hangat dari kepedulian Amar yang begitu tulus. Untuk pertama kalinya setelah ditinggal suaminya, Elma merasa tidak benar-benar sendirian.
Di dalam hati, ia berbisik lirih sambil mengelus perutnya, “Nak, sepertinya Tuhan masih sayang pada kita. Tuhan mengirimkan seseorang untuk menjaga kita. Semoga besok semua berjalan lancar.”
Dan malam itu, meski masih diliputi luka, Elma bisa memejamkan mata dengan sedikit tenang, membayangkan harapan baru yang mungkin bisa ia genggam bersama buah hatinya nanti.