Najwa, siswi baru SMA 1 Tangerang, menghadapi hari pertamanya dengan penuh tekanan. Dari masalah keluarga yang keras hingga bullying di sekolah, dia harus bertahan di tengah hinaan teman-temannya. Meski hidupnya serba kekurangan, Najwa menemukan pelarian dan rasa percaya diri lewat pelajaran favoritnya, matematika. Dengan tekad kuat untuk meraih nilai bagus demi masa depan, dia menapaki hari-hari sulit dengan semangat pantang menyerah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanafi Diningrat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Api dan tuduhan
Najwa duduk sendirian di pojok perpustakaan sambil membaca buku matematika. Hari Jumat siang ini sekolah terasa lebih sepi karena banyak siswa yang udah pulang duluan. Dia sengaja nongkrong di perpustakaan biar gak ketemu banyak orang.
"Najwa, kamu masih di sini?" Bu Dewi, petugas perpustakaan, menghampiri dengan senyum ramah. "Sekolah udah sepi loh."
"Iya Bu, aku lagi baca-baca." Najwa menunjukkan bukunya. "Besok ada ulangan matematika."
"Rajin banget kamu. Tapi jangan lupa istirahat ya."
Najwa mengangguk sambil tersenyum tipis. Bu Dewi salah satu dari sedikit orang di sekolah yang masih bersikap normal ke dia.
Pas lagi fokus baca, hidung Najwa mencium bau aneh. Kayak bau plastik terbakar campur sama sesuatu yang menyengat. Dia ngendus-ngendus sambil ngeliatin sekeliling.
"Bu Dewi, ada bau aneh nggak?" Najwa menoleh ke arah Bu Dewi yang lagi beresin buku.
"Bau apa?" Bu Dewi mengendus-endus udara. "Oh iya, ada bau gosong. Mungkin dari kantin."
Tapi bau itu makin lama makin kenceng. Najwa merasa ada yang nggak beres. Dia jalan ke arah jendela perpustakaan yang menghadap ke halaman belakang sekolah.
"Bu! Api!" Najwa teriak sambil nunjuk ke arah gedung laboratorium. "Gedung lab kebakaran!"
Bu Dewi langsung lari ke jendela. Mata mereka melotot ngeliat kobaran api yang mulai membesar di jendela lantai dua gedung laboratorium.
"Ya Allah! Najwa, cepat tekan alarm kebakaran!" Bu Dewi berlari ke telepon sambil panik.
Najwa langsung pencet tombol alarm kebakaran yang ada di dinding. Suara alarm yang nyaring langsung berbunyi di seluruh sekolah.
WEEEEOOOOO! WEEEEOOOOO!
Dalam hitungan menit, petugas pemadam kebakaran datang dan berhasil memadamkan api. Tapi kerusakannya cukup parah - seluruh gedung laboratorium hangus, ditambah dua ruang kelas yang berdekatan.
Hari Senin pagi, Najwa datang ke sekolah dengan perasaan berat. Berita kebakaran udah tersebar kemana-mana. Gedung lab yang hangus keliatan jelas dari gerbang sekolah.
"Najwa, lo kemana aja hari Jumat sore?" Kevin tiba-tiba menghampiri dengan wajah curiga.
"Aku di perpustakaan. Kenapa emangnya?"
"Lo yang pertama kali tau ada kebakaran kan?"
"Iya, terus kenapa?"
Kevin saling pandang sama beberapa teman sekelasnya yang pada ngerubungin Najwa.
"Aneh aja. Kok lo yang pertama tau?"
Najwa mulai merasa ada yang gak beres. "Aneh gimana? Aku kebetulan lagi di perpustakaan yang deket sama lab."
"Atau lo yang bakar terus pura-pura jadi penemu?" Indah ikut nimbrung dengan nada menuduh.
"HAH?" Najwa melotot. "LU BILANG GUE YANG BAKAR SEKOLAH?"
"Ya siapa tau. Lu kan udah pernah bunuh orang. Bakar gedung mah gampang buat lu."
"GUE NGGAK BAKAR APA-APA!" Najwa teriak sambil maju ke arah Indah. "LU JANGAN ASAL TUDUH!"
"Loh, kenapa marah-marah? Kalau emang nggak bersalah, santai aja dong."
Semakin banyak siswa yang ngerubungin mereka. Najwa ngerasa terpojok lagi kayak beberapa hari yang lalu.
"Eh, tapi bener juga sih." Rizki ikut komentar. "CCTV sekolah kemarin mati. Jadi nggak ada bukti siapa yang masuk lab terakhir."
"CCTV mati?" Najwa baru tau info ini.
"Iya, dari hari Kamis udah rusak. Kebetulan banget ya kebakaran pas CCTV mati." Kevin menyeringai. "Suspicious banget."
"LU PIKIR GUE YANG RUSAKIN CCTV JUGA?"
"Siapa tau. Lu kan pinter. Pasti bisa ngatur-ngatur kayak gitu."
Najwa udah gak bisa mikir jernih lagi. Semua tuduhan itu bikin kepalanya pusing banget.
"KALIAN SEMUA GILA! GUE NGGAK BAKAR SEKOLAH!"
"Terus siapa? Kebetulan banget lu yang pertama tau kebakaran." Indah masih ngotot.
"GUE KEBETULAN LAGI DI PERPUSTAKAAN! ADA SAKSINYA, BU DEWI!"
"Bu Dewi bisa aja diminta bohong sama lu."
"BOHONG APAAN? GUE GAK PUNYA ALASAN BUAT BAKAR SEKOLAH!"
"Ada dong. Lu kan benci sekolah ini. Benci sama kita semua." Kevin melipat tangannya di dada. "Makanya lu bakar biar sekolah tutup."
"Kevin, jangan gitu dong." Sinta akhirnya angkat suara. "Najwa nggak mungkin lakuin itu."
"Lu yakin? Dia kan udah pernah bunuh orang. Bakar gedung mah gampang."
"Itu beda urusan!"
"Beda gimana? Sama-sama kejahatan kan?"
Najwa udah gak kuat denger tuduhan-tuduhan itu. Air mata mulai keluar dari matanya.
"GUE... GUE NGGAK BAKAR SEKOLAH." Suaranya mulai bergetar. "KENAPA KALIAN SELALU NYALAHIN GUE?"
"Soalnya lu emang selalu bikin masalah." Indah menyeringai. "Dari lu dateng ke sini, masalah terus."
"MASALAH APA? GUE CUMA MAU SEKOLAH TENANG!"
"Tenang? Tiap hari berantem mulu."
"KARENA KALIAN YANG MULAI DULUAN!"
Bu Ratih tiba-tiba muncul dengan wajah tegang. "Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut lagi?"
"Bu, mereka nuduh aku yang bakar sekolah." Najwa lapor sambil masih nangis.
"Apa?" Bu Ratih kaget. "Siapa yang bilang?"
"Mereka semua, Bu." Najwa nunjuk ke arah Kevin dan kawan-kawan.
"Kevin, kamu beneran bilang kayak gitu?"
Kevin agak mundur. "Bu, kan cuma dugaan aja. Soalnya dia yang pertama tau kebakaran."
"Dugaan nggak boleh sembarangan! Apalagi tuduhan separah itu!"
"Tapi Bu, kebetulan banget CCTV mati pas kebakaran."
Bu Ratih menghela napas panjang. "Kalian semua masuk kelas. Nanti saya panggilkan pihak kepolisian buat jelasin kronologi kebakaran."
Semua siswa bubar masuk kelas dengan wajah gak puas. Najwa berjalan paling belakang sambil masih nangis.
"Najwa, kamu tenang dulu." Bu Ratih memegang pundak Najwa. "Ibu percaya kamu nggak mungkin lakuin itu."
"Makasih Bu. Tapi sepertinya semua orang udah yakin aku yang bersalah."
Di kelas, situasinya makin mencekam. Semua siswa ngeliatin Najwa dengan tatapan curiga dan takut. Bahkan yang biasanya netral, sekarang ikut menjauh.
"Gila sih, sekarang dia bakar sekolah." Bisik salah satu siswa.
"Iya, untung nggak ada yang mati. Kalau ada yang mati gimana?"
"Serem banget. Anak kayak gini kok bisa sekolah bareng kita."
Najwa duduk di bangkunya sambil merasa kayak binatang di kebun binatang. Semua mata menatapnya dengan horror dan disgust.
"Sin, kamu percaya aku kan?" Najwa berbisik ke Sinta.
"Tentu aja aku percaya. Kamu nggak mungkin lakuin itu." Sinta megang tangan Najwa. "Tapi kenapa sih mereka selalu nyalahin kamu?"
"Karena aku udah punya label 'pembunuh'. Jadi apapun yang terjadi, aku yang disalahkan."
Waktu istirahat, Najwa gak berani ke kantin. Dia takut ketemu lebih banyak tuduhan. Sinta menemaninya duduk di kelas sambil makan bekal.
"Najwa, kamu mau pindah sekolah nggak?" Sinta bertanya pelan.
"Pindah ke mana? Siapa yang mau nerima aku?"
"Mungkin Bu Ratih bisa bantu cariin."
Najwa terdiam sambil menatap jendela kelas. Di luar, gedung lab yang hangus keliatan jelas. Reminder dari tuduhan yang akan menempel selamanya.
"Sin, aku capek banget."
"Capek gimana?"
"Capek dituduh melulu. Capek dijauhii. Capek hidup kayak monster."
Sinta memeluk Najwa sambil ikut nangis. "Sabar ya, Najwa. Pasti ada jalan keluarnya."
Tapi Najwa udah mulai kehilangan harapan. Setiap kali dia pikir situasinya udah gak bisa lebih buruk, selalu ada yang bikin hidupnya makin susah.
Sore itu, Najwa pulang dengan hati yang hancur total. Tuduhan membakar sekolah itu lebih berat dari tuduhan pembunuh. Karena kali ini, dia bener-bener innocent.
"Najwa!" Kirana menyambut dengan wajah cemas. "Aku denger ada kebakaran di sekolah kamu!"
"Iya, dan mereka nuduh aku yang bakar."
"HAH? GILA BANGET!" Kirana naik pitam. "Emang mereka punya bukti?"
"Nggak ada. Cuma karena aku yang pertama nemuin kebakaran, terus CCTV kebetulan mati."
"Bangsat banget sih mereka! Selalu nyalahin kamu!"
Najwa tiduran di kasurnya sambil memeluk guling. "Kir, aku udah nggak kuat lagi. Rasanya aku mau gila."
"Jangan gitu dong, Najwa. Kamu harus kuat."
"Kuat buat apa? Tiap hari dituduh, dijauhiin, dikucilkan. Hidup kayak gini mending mati aja."
"EH! JANGAN NGOMONG KAYAK GITU!" Kirana kaget. "Kamu nggak boleh nyerah!"
"Tapi aku udah nggak tau harus gimana lagi."
Kirana duduk di sebelah kasur Najwa sambil ngusap kepalanya. "Najwa, kamu masih punya aku, punya keluarga di sini. Jangan nyerah."
"Aku tau. Tapi di sekolah rasanya kayak neraka."
"Terus kamu mau gimana? Pindah sekolah?"
Najwa terdiam. Pindah sekolah mungkin solusi terbaik. Tapi dia takut masa lalu bakal ngikutin ke mana-mana.
Malam itu, Najwa tidur sambil mikirin masa depannya. Apakah dia harus bertahan di SMA 1 Bogor dengan segala tuduhan dan pengucilan? Atau mencari tempat baru yang mudah-mudahan lebih menerima?
Satu hal yang pasti - dia nggak bisa terus hidup kayak gini. Something has to change.
Entah itu sekolahnya, atau dirinya sendiri.