‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 : Drama
“Siapa, Yu?” Nelli menyenggol lengan atas Dahayu.
Namun, yang ditanya enggan menjawab. Malas pula menatap pria yang sudah dekat, dia memilih melihat hamparan perkebunan karet di seberang jalan, setelah berbatasan dengan tanah lapang berumput hijau.
“Dahayu, siapa?!” Nelli menggeram, mencubit kulit lengan sahabatnya.
“Amran Tabariq,” jawabnya sambil lalu.
“Tabariq?” Kening Nelli mengernyit dalam.
"Masuklah ke dalam mobil. Kita antar Ibu ke rumah sakit,” pria berwajah tegas, garis dagu membelah bagian bawahnya, bertutur lembut.
"Suaranya membuat rahimku seketika ingin disapa, Yu.” Ia berbisik pelan sekali, sampai hanya terasa hembusan napasnya di tengkuk Dahayu.
Dahayu mendorong ke belakang sikunya sampai mengenai dada Nelli. “Jangan gatal kau, malu kalau dia sampai dengar.”
“Malu? Rasanya tak ada dalam diri seorang Nelli. Kalau malu-maluin sih sering,” ia sengaja menggoda, ingin melihat reaksi temannya kala berhadapan dengan pria tampan, dan bau uang.
Namun sayang, Dahayu biasa saja. Dari samping tak terlihat warna merona pada pipi, gesture nya pun tetap tenang.
Tanpa mencari tahu, dia sudah mendapatkan jawabannya. Kalau pria dengan tinggi ideal itu adalah suami sahabatnya.
Amran masih menunggu jawaban, dia berdiri tidak terlalu dekat dengan dua wanita saling berbisik. “Bagaimana, Yu?”
“Ibuku tak suka naik mobil, dia minta _”
“Dik sini!”
“Hah?!” Mulut Nelli menganga, menatap sengit Bu Warni yang berdiri di pijakan mobil mewah, tangannya melambai-lambai.
“Bukan maen Ibuk kita! Menolak naik bus, ternyata firasat nya luar biasa tajam, seperti dapat wangsit akan ada mobil mewah yang datang.”
Dayu melangkah lebar, menarik tangan ibunya yang tanpa dipersilahkan sudah duduk bersila di atas jok mahal. “Turun, Buk! Nanti Ibuk muntah.”
“Tak mau!” Tangannya memeluk leher pria dari arah belakang, yang duduk di jok sebelah pengemudi.
Uhuk!
Uhuk!
“To_long!” Bondan bingung mau melawan, atau diam saja menahan sakit.
“Ibuk, tak boleh menyakiti orang!” Dayu panik, dia mencoba melepaskan cekikan tangan ibunya.
Tanpa Dayu sadari, seseorang berdiri tepat di belakangnya, ikut mencoba melepaskan, tapi lebih ke mempertahankan agar tangan ibu mertuanya tetap mencekik salah satu orang kepercayaannya.
Amran menatap tajam pada Randu yang hendak membantu Bondan, membuat sang asisten kembali duduk tegak.
“Ibuk! Ayu nangis loh nanti kalau Ibuk nakal!” Dia berbalik badan, nyaris terjatuh kalau punggungnya tidak ditahan oleh Amran. “Kalau Anda enggan membantu, harap jangan menambah beban.”
“Saya hanya ingin membuat Ibuk senang. Lihatlah dia tersenyum lebar sekali,” alibinya, lebih mengeratkan lingkaran tangannya hingga dada sang istri menempel erat.
“Drama betul! Tinggal tarik apa susahnya!” Nelli menghempas pintu depan, dimana wajah Bondan memerah, lidahnya terjulur.
“Pantaslah susah, ternyata mangsa Ibuk, indukan Gajah!” Ia buka belitan tangan tua, lalu menatap mengancam ibu Warni. “Nanti aku enggan belikan permen karet.”
Dahayu menepis tangan pria yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Dia meminta sang ibu bergeser hingga pojok, lalu dirinya duduk di bagian tengah.
"Siapapun Anda, tolong utamakan dulu sang wanita,” ucapnya berani.
Amran mundur, mempersilahkan sahabat istrinya duduk.
Sekarang giliran tiga orang pria saling pandang. Berakhir Bondan mengalah, meminta sang nyonya turun lebih dulu, agar dia bisa masuk ke jok paling belakang.
Drama naik mobil pun selesai, Randu mulai melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang.
“Nelli, kau punya nomor ponsel 'kan? Bagilah dengan Abang!” Jemari telunjuknya menusuk bahu wanita yang duduk tepat di depannya.
“Maaf, nomor ponsel ku khusus buat manusia. Takkan muat menampung indukan Gajah, nanti takutnya penyet dia.”
Cit!
Duk!
“Kau bisa menyetir tidak?! Aset berhargaku ini nyaris lecet tahu! Bisa berkurang pesonanya kalau berjoget!” Nelli mengelus keningnya yang terantuk sandaran kursi jok belakang kemudi.
Bagi Nelli, jidat bak lapangan sepakbola miliknya, adalah nilai jual. Dia selalu membanggakan dengan mengatakan, di sanalah susuk penglaris dipasang.
“Maaf, Kak. Saya tak sengaja,” nadanya terdengar layaknya burung mencicit.
“Kak, kak – sejak kapan bapakku punya anak lajang? Apa jangan-jangan dia main dua, ya?”
Ha ha ha
Bondan terpingkal-pingkal, dia sungguh menyukai seorang Nelli yang memiliki kepribadian unik.
Plak!
“Diam, Nell. Berisik!” Dayu memukul paha sahabatnya.
“Ibuk tak apa?” Diperiksanya wajah ibunya. Saat mobil mendadak mengerem – posisi bu Warni sedang menempelkan wajah di kaca jendela tertutup.
“Buk, ini jajan untuk di makan diperjalanan. Boleh dicicipi sekarang.” Amran menyamping, mengulurkan tas plastik yang berukuran lumayan besar.
Dengan senang hati, dan ekspresi penuh semangat, Bu Warni menarik plastik tersebut. "Terima kasih."
Amran yang badannya masih condong ke belakang, menatap hangat senyum tulus wanita berhijab kurung. Bu Warni mengingatkannya pada ibunya sendiri.
"Dek, boleh makan?"
Dahayu mengangguk, membantu membuka bungkus agar-agar warna hijau.
"Ini untuk teman!" Dia memberikan satu agar-agar kepada menantunya, lalu mengulurkan ke Randu, Bondan, terakhir Nelli dan juga putrinya sendiri.
'Sekarang saya mengerti darimana sifat terpuji mu itu Dahayu. Ibumu lah yang menurunkan akhlaq mulia kepadamu, kebaikan, ketulusan, serta kasih sayang tanpa syarat,' batinnya bergumam, tangannya membuka plastik jajanan, pemberian pertama ibu mertuanya.
"Siapa yang mau mengadakan acara, Nell?" Netranya menatap tenda pesta di salah satu rumah warga afdeling 4.
"Nikahan, sekaligus sunatan. Tontonannya menanggap kibot Mak Beti," jelas Nelli.
"Biduannya tunggal milik Mak Beti, atau gabungan, Nell?"
Nelli berdecak tidak suka. "Gabungan. Si mentel itu diikutsertakan."
"Berarti kau dan Fiya bakalan satu panggung lagi lah?"
"Iya."
"Abang wajib nonton lah ini. Dimanapun Adik Nelli manggung, Bang Bondan akan selalu menemani," celetuk penumpangnya paling belakang.
"Bang, Bang. Kau itu lebih pantas dipanggil kakek. Sudah tua pun tak ingat umur, malah sukanya menggoda daun muda. Ku rasa karena itu dirimu jadi duda karatan. Apa tak bosan salaman terus dengan sabun batangan?"
"Awas kalau sampai kau mengerem mendadak lagi!" lewat kaca tengah mobil, Nelli mengancam sang sopir. Yang langsung dibalas gelengan kepala.
Dahayu membiarkan saja sahabatnya berdebat dengan Bondan. Yang memang terkenal hobi joget dan menyawer para biduan.
Para warga perkebunan, tahunya Bondan masih memiliki seorang istri. Faktanya pria itu sudah bercerai sejak tiga tahun lalu.
Kehidupan pribadi penghuni villa bukit, memang sangat dijaga privasinya. Siapa saja yang mencoba membocorkan informasi, akan dikenai sangsi tegas, berujung pemecatan.
"Dik, Wisnu! Pacarmu!"
"Mampus!"
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍