Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Koridor kampus siang itu masih ramai, mahasiswa berlalu-lalang dengan tawa ringan. Di sudut dekat tangga, Stella berdiri dengan wajah masam, tangannya mengepal kuat di balik tas mungilnya.
“Dasar Moira… dasar perempuan murahan.” gumamnya penuh benci.
Stella membuka ponselnya, mengetik cepat. Dia sengaja memotong foto Moira yang diambil diam-diam saat di restoran bersama Arland, lalu mengeditnya seolah-olah Moira sedang berduaan mesra dengan pria lain.
“Kalau semua orang lihat ini, reputasi lo hancur, Moira. Gue bakal bikin lo kembali jadi bahan hinaan kayak dulu.”
Tak butuh lama, Stella menyebarkan foto itu ke grup mahasiswa kampus, lengkap dengan narasi manis penuh racun:
“Katanya calon tunangan orang kaya, tapi malah ketauan selingkuh sama cowok lain. Pantes aja dua hari kemarin ngilang. Ada yang masih mau temenan sama Moira Evander?”
Notifikasi pun langsung berdering di ponsel banyak mahasiswa. Bisik-bisik mulai menyebar di lorong kelas.
“Serius itu Moira?”
“Wah, pantes dia berubah… ternyata ada yang sponsorin kali ya.”
“Parah sih, kasian Arland.”
Stella tersenyum miring melihat hasilnya. “Bagus. Semakin cepat rumor nyebar, semakin cepat Arland benci sama lo, Moira.”
Namun, yang tidak Stella sadari—Moira sudah berdiri beberapa meter di belakangnya. Tatapan dingin Moira menusuk punggung Stella, senyum samar menghiasi bibirnya.
“Lucu juga, ya. Ada orang yang hobi banget bikin fitnah murahan. Sayangnya…” Moira melangkah pelan mendekat, suaranya rendah tapi tegas. “…lo milih lawan yang salah, Stella.”
Stella menoleh kaget, wajahnya seketika pucat.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Stella menelan ludah, wajahnya pucat saat Moira mendekat. Mahasiswa yang masih berkerumun di lorong nggak sadar kalau ada ketegangan di antara mereka.
Moira berhenti tepat di depan Stella, menundukkan kepala sedikit sambil menyeringai. “Hm… rajin banget tangan lo, ya. Bikin gosip, nyebarin rumor. Gue jadi kasihan sama lo.”
Stella buru-buru menutup ponselnya, pura-pura senyum manis. “M-moira… lo salah paham. Gue cuma—”
Moira mengangkat jari telunjuknya, menempel ke bibir Stella. “Sstt… jangan banyak alasan. Gue tau banget lo tipikal cewek yang nggak bisa hidup kalau nggak ngejatuhin orang lain.” Tatapannya menajam. “Tapi inget, Stella… setiap racun yang lo sebar, bisa balik ke lo sendiri.”
Stella terdiam, tangannya gemetar di balik tas.
Moira lalu melangkah mundur, kali ini dengan suara cukup keras agar orang-orang sekitar bisa mendengar. “By the way, Stella… lain kali kalau mau nyebarin gosip tentang gue, pastiin editan fotonya rapi. Masa bayangan kursi aja masih dobel? Itu bikin lo keliatan bego, tau.”
Beberapa mahasiswa yang mendengar langsung saling berbisik, sebagian cekikikan.
“Eh serius, iya tuh… editannya kasar banget.”
“Hahaha, Stella ketauan banget bohongnya.”
“Wah, gila… gue kira beneran, ternyata hoax.”
Wajah Stella memerah karena malu, apalagi tatapan Arland dari kejauhan kini tertuju langsung padanya dengan ekspresi dingin.
Moira menatap Stella sekali lagi, kali ini dengan senyum penuh kemenangan. “Main cantik dong, kalau mau main kotor.”
Lalu dia pergi begitu saja, meninggalkan Stella yang hampir meledak karena dipermalukan di depan umum.
Stella menggertakkan gigi. Sialan… kali ini gue kalah. Tapi gue nggak akan berhenti. Gue harus bikin Moira hancur, apapun caranya!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Arland berdiri bersandar pada dinding koridor, tangannya bersilang di dada. Tatapannya dingin, tapi ada sedikit ketertarikan yang sulit ia sembunyikan. Dia sudah melihat jelas bagaimana Moira membalikkan keadaan dan mempermalukan Stella tanpa harus berteriak atau drama berlebihan.
Saat Moira lewat, Arland bersuara pelan namun cukup untuk membuat langkah Moira terhenti.
“Pintar juga lo, Moira.”
Moira menoleh setengah, matanya menatap Arland dengan senyum tipis. “Heh, gue cuma males dituduh sesuatu yang nggak gue lakuin. Gue nggak punya waktu buat ngurusin rumor receh kayak gitu.”
Arland menatapnya lama, lalu tersenyum miring—senyum langka yang jarang sekali muncul. “Dulu lo diem aja kalau diinjak-injak. Sekarang beda banget.”
Moira mengangkat bahu santai. “Manusia kan bisa berubah. Lo kira gue bakal selamanya jadi cewek kacamata cupu yang bisa seenaknya diinjak?”
Arland mendekat dua langkah, jarak mereka hanya tinggal beberapa senti. Aura dinginnya membuat beberapa mahasiswa lain yang lewat buru-buru menghindar.
“Gue nggak keberatan kalau lo berubah. Tapi hati-hati, Moira…” suaranya dalam dan tenang. “…kalau lo terlalu menarik perhatian, banyak orang yang bakal coba ngejatuhin lo. Termasuk orang yang paling lo anggap deket.”
Moira menatap balik dengan tajam, senyum samar di bibirnya. “Thanks buat peringatannya, Land. Tapi tenang aja… gue udah kebal sama tikaman orang terdekat.”
Arland menahan tatapannya, seperti sedang meneliti sosok Moira lebih dalam. Sekilas, ekspresinya berubah—ada rasa penasaran bercampur kagum.
Stella yang masih di ujung koridor mengepalkan tangan kuat-kuat. Tidak! Gue nggak boleh kalah sama Moira! Gue harus cari cara buat bikin Arland benci sama dia lagi!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Arland berdiri di depan mobilnya, matanya tajam mengikuti setiap gerakan Moira. Dia melihat jelas bagaimana Moira tertawa kecil saat Gentha membuka pintu mobil untuknya.
Darah Arland mendidih. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Siapa dia? Kenapa Moira keliatan nyaman banget sama cowok gondrong itu?
Stella yang dari tadi memperhatikan reaksi Arland langsung memanfaatkan kesempatan. Dia pura-pura mendesah dramatis sambil melipat tangan di dada.
“Selingkuhan kali, Land. Baru tahu lo kelakuan Moira? Makanya dia berubah gitu. Dia jadi ani-ani sekarang.”
Arland menoleh cepat, tatapannya menusuk Stella. “Tutup mulut lo.”
Stella tercekat, tapi masih berusaha senyum. “Eh… gue cuma ngasih tahu doang. Gue nggak mau lo ditipu sama dia, Land. Bayangin aja, baru juga lo mulai tertarik sama dia, eh ternyata—”
“Gue bilang tutup mulut lo, Stella.” Suara Arland dingin, tapi kali ini dengan nada perintah yang membuat Stella langsung terdiam ketakutan.
Arland kembali menatap ke arah mobil Gentha yang kini melaju pergi bersama Moira. Matanya menyipit. Moira… apa yang sebenarnya lo sembunyiin dari gue?
Sementara di dalam mobil, Moira santai bersandar sambil menyeruput minuman kaleng yang Gentha belikan.
“Thanks ya, Tha. Gue butuh ini banget. Badan gue capek kuliah seharian.”
Gentha melirik sekilas, senyum tipis muncul di bibirnya. “Lo makin jago acting sekarang, Bi. Semua orang percaya lo itu Moira yang polos. Padahal aslinya lo udah kayak bom waktu yang siap meledak.”
Moira terkekeh kecil. “Heh, gue cuma mainin peran gue aja. Tapi lo tau kan, Gentha… ada satu orang yang nggak gampang dibohongin. Gue bisa liat matanya terus ngikutin gue.”
“Arland?” tebak Gentha.
Moira mengangguk pelan, senyumnya samar. “Yap. Dan itu bisa jadi masalah… atau justru keuntungan buat gue.”
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/