"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Popy
Popy Sekar Kinansih, nama yang Abah berikan saat pertama kali melihatnya hadir ke dunia ini.
Perempuan itu terlahir dari keluarga yang sederhana. Ayah Popy adalah ketua RW di kampung itu sementara Ibu Popy sudah meninggal delapan tahun yang lalu. Popy merupakan anak kedua dari empat bersaudara, kakak pertamanya sudah menikah dan hidup di luar jawa mengikuti keluarga istrinya. Dua adik Popy masih bersekolah, yang satu kelas 2 SMP dan yang satu masih kelas 6 SD.
Sedari kecil Popy sudah terbiasa mengikuti Abahnya bekerja, selain bekerja di ladang Abah juga melatih bela diri anak-anak di kampung. Lumayan bisa menambah penghasilan walaupun bayaranya tidak seberapa.
Sehingga Popy juga mahir bela diri, katanya perempuan wajib mempelajari bela diri untuk menjaga dirinya sendiri.
Berkat kecerdasaan dan keberuntungan Popy, dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Universitas Anugerah Sejati milik BSA Group, karena kepintaranya di bidang IT di atas rata-rata mahasiswa lain, Popy menjadi anak kesayangan salah satu dosen di sana. Sejak saat itulah Popy menjadi dekat dengan Anggara, yang merupakan keponakan Bu Siska Atmojo .
Suatu hari kabar baik datang dari Bu Siska di tengah banyaknya kebutuhan adik-adik Popy yang beranjak besar, dia harus bisa membiayai sekolah mereka sampai tamat. Kasian jika Abah yang sudah tua itu terus-terusan kerja di ladang. Tawaran menjadi hacker rahasia perusahaan BSA group dia terima demi uang yang cukup menggiurkan.
Begitulah awal mula Popy mengenal Anggara, sampai pada akhirnya keampuan bela diri juga terdengar sampai telinga Atmojo. Tak lama setelah itu dia menempatkan Popy disamping Anggara sedari masih kuliah, jangan salah kemampuan bela diri Popy menyelamatkan Anggara dari banyaknya kejadian yang membahayakan nyawanya.
Terlahir sebagai anak yang bergelimang harta bukan jaminan lolos dari pembulyan. Teman-teman Anggara justru memanfaatkan itu untuk mendapat banyak keuntungan, itulah yang membuat Atmojo geram anaknya tidak bisa melawan.
"Awas kalau kau berani muncul lagi !" ancam Fandi musuh bebuyutan Anggara. Popy yang diambang kesadaran saat itu karena tinju bagian perut atas membuat Abggara murka. Melihat Popy terkapar penuh dengan luka seperti itu akhirnya membuat Anggara berani melawan.
"Bugh !" satu pukulan mendarat ke mata kanan Fandi. Tak mau kalah, Fandi juga menghajar Anggara tepat di pipinya. Anggara mengaduh, darah segar keluar dari sudut bibirnya. Sejak saat itu Anggara mulai belajar bela diri secara privat kepada salah satu pelatih ternama. Sekarang, kemampuan bela diri Anggara sudah tidak di ragukan lagi.
Kembali ke ruang tengah rumah Popy.
Abah keluar dari dapur dengan membawa satu cangkir kopi hitam untuk Anggara. Bisik-bisik Popy terdengar sampai telinga Abah. Setelah tahu bahwa Anggara adalah orang yang sering Popy ceritakan itu, dia jadi sungkan . Abah duduk di samping Popy berhadapan dengan Anggara dan Lyana di hamparan karpet bewarna kuning itu.
"Ly, ayo kita pulang, " ucap Anggara kemudian setelah menyesap kopi buatan Abah.
"Aku masih mau di sini kak," jawab Lyana datar tanpa menoleh ke arah Anggara.
"Kenapa? kalian sedang ada masalah? " tanya Abah.
"Enggak bah , kami cuma salah paham aja." pungkas Anggara .
"Kalau salah paham harus segera diluruskan jangan menghindar." kata Abah yang membuat Lyana sedikit tersinggung. Lyana terdiam, apa yang di katakan Abah ada benarnya juga , tapi hatinya masih belum bisa menerima.
"Aku masih butuh waktu kak, maaf ," Lyana berlalu meninggalan meja itu. Abah melirik ke arah Anggara untuk segera menyusulnya.
"Benar itu yang namanya Anggara, anak majikanmu?" Abah menyenggol lengan Popy.
"Iya bah, maaf ya sudah merepotkan Abah," ujar Popy menggenggam tangan keriput Abahnya.
"Ya sudah, suruh mereka menginap saja di sini. Kamu tidur kamar tiara ya nanti." Abah bangun dari duduknya berlalu meninggalkan Popy yang masih terdiam sambil memainkan jari-jarinya diatas meja. Mendadak kepalanya terasa penuh, dia harus melaporkan apa kepada atasanya nanti.
Sementara di kamar Popy, Lyana tidur di atas ranjang lalu Anggara tidur di bawah. Ruangan itu terasa sangat sempit jika dibandingkan kamar Anggara.
"Ly, udah tidur?" tanya Anggara.
Lyana tidak menjawabnya, dia memilih memejamkan mata dan menutup selimut sampai ke bahu .
"Tidurlah, kamu pasti lelah." Anggara mematikan lampu dan ikut berbaring dengan beralaskan tikar itu. Lama keduanya terdiam, seperti bunga yang layu sebelum mekar, seperti tunas yang tak menemukan cahayanya untuk tumbuh.
"Ly, seandainya bisa memutar waktu apa mungkin kita bisa bertemu?"
"Ly, kamu masih ingat nggak awal pertemuan kita?" ternyata kamu seceria itu ya, masih bisa tertawa di tengah-tengah kegelisahanku yang berusaha menolak mentah perjodohan ini. " celoteh Anggara sambil menatap jendela yang terkena pantulan cahaya dari luar.
"Ly, kenapa kamu nggak menolak waktu itu?" imbuhnya lagi.
"Ly, aku jahat ya?" tanya Anggara lagi.
"Aku minta maaf ya Ly, soal obrolanku dengan Ayahmu tolong jangan di ambil hati. Aku hanya ingin memastikan sesuatu kepada beliau, setelah itu aku akan ...,melepaskanmu." suara Anggara tercekat, entah Lyana akan mendengarnya atau tidak tapi hati nya terasa lega. Setelah memejamkan matanya lama Anggara masih belum bisa tidur. Apalagi setelah mendengar derit kayu dari tempat tidur di sampingnya.
"Kak, Lyana membalikan tubuhnya melihat Anggara yang tidur hanya beralaskan tikar hatinya terenyuh.
"Tidurlah di atas kalau di situ tidak nyaman." ucap Lyana pelan, dia menggeser tubuhnya sampai mepet ke tembok.
Anggara dengan senang hati menerima permintaan Lyana, membawa bantal dan selimut ke tempat tidur lalu berbaring.
Anggara mengusap lembut puncak kepala Lyana kemudian memeluk lembut tubuhnya. Rindu itu telah sampai pada pemiliknya. Kini, mereka bisa tidur dengan nyenyak.
Mentari pagi datang menyambut sepasang suami istri yang masih saling memeluk. Burung-burung yang mulai keluar dari sarang pepohononan kini berterbangan di angkasa. Nyanyian mereka membuat pagi ini terasa lebih nyata. Kepakan sayap mereka membuat daun-daun di pohon itu meneteskan embunya di pipi Popy yang sedang membantu Abah membersikan rumput di halaman depan.
Lyana yang mendengar kicauan burung itu berusaha membuka matanya perlahan, dia menggeliatkan tanganya yang berada diatas dada Anggara.
"Eh. Apa ini." ujar Lyana sambil mengedip-ngedipkan matanya, baru mau menurunkan tangan Anggara malah menggenggamnya.
"Sepuluh menit lagi, biarkan saja seperti ini. "Anggara mengecup kening Lyana.
"Kak, aku ...." anggara menyentuh bibir Lyana dengan jemarinya. Lyana terdiam, Anggara memeluk lebih erat seolah takut kehilangan lagi.
Kata-kata Hardianto tadi masih jelas terpatri dalam ingatanya. "Lepaskan putriku, aku akan berbicara langsung dengan Ayahmu."
"Ly, " panggil Anggara.
"Iya kak, " Lyana mendongkak, menatap manik mata berwarna coklat itu.
"Bagaimana kalau Ayahmu memintamu pulang?" tanya Anggara.
"Aku akan pulang kak, kalau kak Gara ngijinin," ujar Lyana.
"Kalau aku tidak ngijinin bagaimana?" Anggara mengusap rambut depan Lyana.
"Ya enggak apa-apa, kenapa sih kok tanyanya gitu? Kak Gara benar-benar mau nglepasin aku?" giliran Lyana yang bertanya.
"Enggak." jawabnya singkat.
"Terus?" tanya Lyana semakin penasaran.
"Kamu harus tetap ada di samping aku." ucap Anggara, tanganya mengusap pipi Lyana dengan lembut.
"Tapi tadi kata kakak ....." kata Lyana terhenti seketika ketika bibirnya disambar Anggara.
Cup.
"Sudahlah, ayo bangun, aku lapar."
.
.