Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. DOA
Malam kian dalam. Lampu minyak bergoyang ditiup angin dari sela dinding bambu, memantulkan bayangan muram di wajah-wajah yang menunggu. Suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing dari kejauhan menambah tebal suasana mencekam.
Marni kini tampak semakin lemah. Kulit wajahnya yang semula pucat mulai tampak kebiruan. Napasnya cepat, seperti tubuhnya sedang berjuang mati-matian mencari udara. Aruna meraba denyut nadinya di pergelangan tangan: lemah, cepat, tidak teratur.
Ini tanda tubuhnya sedang kalah melawan racun yang menyebar.
Aruna menatap sekeliling. Warga desa yang berkumpul tampak menunduk, beberapa berdoa lirih, sementara sebagian lagi menatapnya dengan tatapan penuh harap, seolah seluruh nasib ada di tangannya. Tekanan itu terasa berat di dada Aruna, namun ia menggenggam dirinya erat-erat.
"Aku butuh daun jinten, kapulaga, dan sedikit kulit kayu manis," katanya tegas.
Seorang ibu segera berlari ke dapur, lalu kembali membawa bungkusan kecil. Aruna menumbuk bahan-bahan itu, mencampurnya dengan rebusan jahe, lalu menyaringnya hingga menjadi cairan hangat beraroma kuat. Ramuan itu ia coba suapkan lagi ke bibir Marni. Perempuan itu tersedak, matanya terbuka setengah, tapi akhirnya menelan seteguk.
"Bagus, sedikit saja sudah cukup," bisik Aruna, tangannya mengusap lembut punggung Marni.
Nyi Ratna duduk di samping, menggenggam tangan Aruna yang gemetar. "Apakah ... apakah dia bisa selamat?" suaranya bergetar penuh harap.
Aruna menunduk, menahan air mata. Ia ingin berkata jujur: bahwa peluangnya kecil, bahwa tanpa operasi dan antibiotik modern, kemungkinan Marni bertahan tipis sekali. Namun ia tahu, kata-kata itu hanya akan menorehkan luka lebih dalam pada hati semua orang.
"Malam ini yang terpenting adalah menjaga kekuatannya ... menahan infeksi agar tak makin menyebar. Kita harus terus merawatnya," jawabnya akhirnya, memilih kata yang tidak sepenuhnya dusta.
Jam-jam panjang pun bergulir. Aruna tak berhenti berpikir, menggali setiap pengetahuan yang ia simpan. Ia teringat pengobatan Tiongkok yang menekankan titik-titik akupresur untuk meredakan nyeri perut. Dengan jari yang hati-hati, ia menekan titik di sekitar pergelangan tangan dan betis Marni, sambil berdoa dalam hati agar cara itu memberi sedikit kelegaan.
Marni sempat meringis, tapi kemudian wajahnya terlihat lebih tenang. Napasnya melambat, meski masih berat.
"Lihat, ia lebih tenang," bisik seorang perempuan desa, matanya berbinar sedikit.
Harapan sekecil itu menjadi cahaya di tengah gelap. Orang-orang pun bergantian membantu: ada yang mengambil air, ada yang menyiapkan daun segar, ada yang duduk berdoa lirih. Desa yang biasanya diam kini bersatu dalam keheningan penuh doa.
Menjelang dini hari, Aruna merasa tubuhnya sendiri mulai melemah. Matanya berat, kepalanya pening. Namun begitu ia menoleh dan melihat wajah Marni yang pucat dan tubuhnya yang masih berjuang, kekuatan baru seolah mengalir.
Ia menatap Karto yang duduk di sisi istrinya, menggenggam tangan Lastri erat-erat. Wajah lelaki itu penuh penderitaan.
"Kau harus bertahan, Marni ... demi aku, demi anak-anak kita," ucap Karto dengan suara parau.
Aruna menutup mata sebentar, lalu berbisik lirih, "Tuhan ... jika Engkau mendengar, berikan aku petunjuk, satu jalan saja, agar perempuan ini bisa bertahan."
Entah dari mana, sebuah ingatan melintas: tabib tua di dataran Cina pernah berkata bahwa kunyit dan sambiloto, bila dipadukan, mampu memerlambat infeksi di dalam tubuh. Aruna pun segera menyiapkan rebusan itu, menambah sedikit madu agar bisa tertelan lebih mudah.
Marni menelan perlahan-lahan, lalu kembali terbaring lemah. Aruna menyeka peluh dari dahinya, lalu menutupinya dengan kain tipis.
Fajar perlahan menjingga di ufuk timur. Suara ayam berkokok bersahutan, sementara di dalam rumah, semua masih tegang. Aruna duduk bersandar, matanya merah, namun tangannya tetap menggenggam nadi Marni. Ia merasakan sedikit perubahan: denyut jantungnya lebih teratur, meski tubuhnya masih panas.
"Apakah ini pertanda baik?" tanya Karto dengan suara penuh harap.
Aruna menatapnya, lalu tersenyum samar. "Ini pertanda tubuhnya masih berjuang. Kita harus tetap menjaganya."
Karto menunduk, matanya berkaca-kaca, lalu berucap, "Terima kasih, tanpa dirimu, aku tak tahu harus bagaimana."
Sepanjang pagi, Aruna terus memantau Marni. Ia menyiapkan ramuan tambahan: daun pegagan untuk memperkuat daya tahan, dan rebusan daun sirih untuk membersihkan mulut agar tidak terlalu kering. Ia juga mengajarkan perempuan-perempuan desa cara memijat ringan di sekitar kaki untuk melancarkan peredaran darah.
Marni sesekali terbangun, mengerang, tapi ia mampu menelan beberapa teguk ramuan. Itu saja sudah cukup untuk membuat semua orang sedikit lega.
Namun Aruna tahu, bahaya belum lewat. Jika infeksi sudah terlalu luas, ini hanya menunda.
Meski begitu, ia tidak menunjukkan kegelisahannya. Sebaliknya, ia terus memberi semangat pada semua orang, menguatkan mereka dengan kata-kata lembut.
Menjelang siang, suhu tubuh Marni sedikit menurun. Wajahnya tak lagi sepanas tadi malam. Warga desa bersorak kecil, lega melihat tanda-tanda itu.
Aruna pun tersenyum, meski dalam hatinya masih penuh waspada. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, namun ia juga tahu: keajaiban bisa lahir dari usaha tanpa henti.
Saat matahari menembus sela dinding bambu, menerangi wajah pucat Marni yang kini terlihat lebih damai, Aruna menutup mata sejenak, merasa air hangat mengalir di pipinya.
Hari ini, satu nyawa mungkin bisa bertahan lebih lama ... dan itu sudah cukup untuk membuat semua perjuangan berarti.
Hari itu berjalan dengan perlahan, seperti waktu ikut menahan napas bersama semua orang di rumah panggung kecil itu. Meski panas Marni sempat turun, menjelang sore tubuhnya kembali gelisah. Ia berkeringat deras, lalu tiba-tiba menggigil, matanya terbuka namun kosong. Napasnya makin cepat, seperti api yang menyala namun hampir padam.
Aruna langsung siaga. Ia meraba dahi Marni, panas lagi. Ia memeriksa perut Marni yang kian membengkak, terasa keras, dan penuh cairan yang menekan.
"Tidak," ucap Aruna lirih. Infeksinya semakin menyebar.
Wajah-wajah di sekelilingnya kembali diliputi ketakutan. Suara tangis pelan terdengar dari salah satu anak Marni yang baru berusia enam tahun, digendong neneknya di sudut ruangan.
"Mbok? Mbok? Jangan pergi," tangis anak Marni.
Tangisan itu menusuk dada Aruna seperti pisau. Ia menggigit bibirnya keras, menahan isak yang hampir pecah. Di kepalanya berputar berbagai cara, tetapi semuanya terbentur pada kenyataan: ia tidak punya alat untuk operasi, tidak ada antibiotik, tidak ada cairan infus. Semua hanya pengetahuan dan ramuan yang terbatas.
Karto, dengan mata merah sembab, menunduk ke arah Aruna. "Apakah tidak ada lagi yang bisa dilakukan?"suaranya bergetar.
Aruna menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski jantungnya remuk. "Masih ada, selama ia bernapas, selalu ada cara."
Kata-kata itu ia ucapkan lebih untuk diri Aruna sendiri daripada untuk orang lain.
Ketika malam turun, suhu tubuh Marni melonjak semakin tinggi. Ia mulai meracau, menyebut nama-nama tak jelas, kadang memanggil anaknya, kadang sekadar mengerang. Tubuhnya bergetar, napasnya tersengal. Warga desa berkumpul di halaman, banyak yang berdoa, beberapa bahkan menyalakan dupa kecil sebagai tanda permohonan keselamatan.
Aruna merasa dirinya hampir runtuh. Ia duduk di samping Marni, menggenggam tangan yang dingin dan basah.
"Bertahanlah, jangan menyerah," bisik Aruna, meski matanya sendiri berlinang.
Nyi Ratna menepuk bahu Aruna, suara lirihnya penuh iba. "Aruna, kau sudah melakukan segalanya. Jangan terlalu keras menyalahkan dirimu."
Aruna menggeleng cepat, air matanya jatuh. "Tidak, aku belum melakukan semuanya. Masih ada jalan. Harus ada jalan."
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, lalu memaksa diri mengingat setiap detail ilmu yang pernah ia pelajari. Ingatan tentang tabib Cina kembali hadir: mereka sering menggunakan kombinasi ramuan untuk membersihkan darah dari "panas beracun'. Ada satu ramuan yang pernah ia lihat: campuran daun tapak dara, sambiloto, dan kulit delima kering, diyakini mampu memerlambat pembusukan dalam perut.
Ya, mungkin itu bisa menahan sepsis, mungkin bisa memberi waktu lebih lama.
Aruna segera bangkit, matanya menyala lagi. "Aku butuh daun tapak dara, sambiloto lebih banyak, dan kulit delima kalau ada!" serunya.
Beberapa lelaki desa bergegas ke kebun dan hutan sekitar, membawa obor. Mereka rela menembus malam demi mencari bahan-bahan yang disebutkan Aruna, karena kini mereka menggantungkan nyawa Marni pada perempuan asing yang datang entah dari mana, namun penuh keberanian.
Sambil menunggu, Aruna terus berusaha menurunkan panas Marni. Ia membuat kompres dari daun sirih yang direndam air dingin, menempelkannya di dahi. Ia memijat perlahan bagian telapak kaki, sambil berdoa lirih agar aliran darahnya tetap bergerak.
Karto duduk di seberangnya, memandangi wajah pucat istrinya dengan air mata yang terus mengalir. "Aku tak bisa kehilangannya, kami sudah melewati banyak musim bersama, bagaimana anak-anakku kalau ia pergi?"
Aruna menatapnya dengan mata basah. "Dia belum pergi. Selama kau di sini, menggenggam tangannya, ia tahu masih ada alasan untuk bertahan."
Karto terisak, lalu menunduk mencium tangan istrinya. "Aku di sini, Marni, jangan tinggalkan aku."
Beberapa jam kemudian, para lelaki kembali membawa bungkusan dedaunan dan kulit delima. Napas mereka tersengal, wajah penuh keringat, tapi mata mereka berkilat penuh harap.
"Ini yang bisa kami temukan!" ujar salah satu dari mereka.
Aruna segera menumbuk bahan-bahan itu, mencampurnya dengan rebusan air bersih. Aromanya kuat, getir, menusuk hidung. Ramuan itu ia saring, lalu menunggu hingga hangat.
Ia menatap wajah Marni yang hampir tak sadarkan diri. Jika tubuhnya terlalu lemah untuk menelan, aku bisa gunakan kain untuk meneteskan perlahan.
Dengan hati-hati, ia mencelupkan kain tipis, memerasnya di dekat bibir Marni, membiarkan tetesan masuk ke mulutnya. Perlahan, perempuan itu menelan sedikit demi sedikit.
Aruna menahan napas, berharap ramuan itu mampu bekerja. Ia tahu ini bukan penyembuhan sempurna, tapi setidaknya bisa memperlambat perjalanan racun di tubuhnya.
Malam terus berjalan. Aruna tidak beranjak, meski tubuhnya sendiri hampir tumbang karena lelah. Ia bersandar sejenak, namun tangannya tetap menggenggam pergelangan Marni, memastikan denyut nadinya masih terasa.
Dan di tengah keheningan itu, ia berdoa dalam hati: Tuhan, aku tahu aku tak bisa menggantikan tangan seorang ahli bedah ... tapi izinkan aku menjadi perpanjangan kasih-Mu malam ini. Jangan biarkan perempuan ini meninggalkan anak-anaknya terlalu cepat.
Air mata jatuh tanpa bisa ia tahan. Namun ketika ia membuka mata, ia melihat hal kecil yang membuat jantungnya berdegup lagi: pernapasan Marni yang tadi tersengal kini sedikit lebih teratur. Masih berat, tapi tidak secepat sebelumnya.
"Aruna, lihat," panggil Nyi Ratna, matanya melebar. "Marni lebih tenang."
Aruna terdiam, lalu mengangguk pelan. "Ramuan itu mulai bekerja."
Orang-orang yang berada di sekitar rumah menghela napas lega, beberapa menangis pelan, bersyukur melihat perubahan kecil itu.
Menjelang fajar, tubuh Marni tak lagi menggigil hebat. Wajahnya masih pucat, tapi napasnya stabil, tidak secepat semalam. Denyut nadinya lebih kuat, meski lemah.
Aruna yang semula duduk tegak kini roboh bersimpuh, menutupi wajah dengan kedua tangan. Tangisnya pecah, bukan karena kalah, melainkan karena rasa lega. Ia tidak tahu apakah Marni akan bertahan sampai benar-benar pulih, tapi ia tahu satu hal: malam ini, ia berhasil merebut kembali nyawa dari gerbang kematian.
Karto memeluk bahunya dengan tangan gemetar. "Terima kasih, terima kasih, tak ada kata yang cukup."
Aruna hanya menggeleng, air mata masih mengalir. "Kita belum selesai, ini baru permulaan. Kita harus terus menjaganya sampai benar-benar selamat."
Dan bagi Aruna sendiri, malam itu akan menjadi kenangan yang tak pernah hilang: malam ketika ia hampir menyerah, namun justru menemukan kekuatan baru untuk terus melawan, di ambang putus asa.