Lima tahun cinta Shannara dan Sergio hancur karena penolakan lamaran dan kesalah pahaman fatal. Bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali di atas kapal pesiar. Sebuah insiden tak terduga memaksa mereka berhubungan kembali. Masalahnya, Sergio kini sudah beristri, namun hatinya masih mencintai Shannara. Pertemuan di tengah laut lepas ini menguji batas janji pernikahan, cinta lama, dan dilema antara masa lalu dan kenyataan pahit.
Kisah tentang kesempatan kedua, cinta terlarang, dan perjuangan melawan takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RYN♉, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB : Permainan Catur Sang Ratu
Karina menyesap air lemon hangatnya, mata indahnya terpaku pada pantulan dirinya di cermin rias. Di sana, wajah Shannara yang pucat tampak buram di latar belakang, sebuah kontras yang sempurna.
Senyum tipis dan dingin terukir di bibirnya. Dia tidak salah. Shannara adalah realitas yang selama ini ia hindari, realitas yang sering muncul dalam bisikan lirih Sergio saat pria itu mabuk. Nara... jangan pergi... Bisikan yang diucapkan dalam tidur itu, seolah nama itu adalah sebuah mantra yang menyakitkan.
Wajah itu adalah hantu yang selama tiga tahun pernikahan ini selalu ia takutkan akan menjadi kenyataan. Dan kini, hantu itu berdiri di studionya, memegang gaunnya, memasang mic di tubuhnya. Ironis, sekaligus menjijikkan.
Karina, bukan hanya seorang artis papan atas, ia adalah seorang manipulator ulung. Ia telah mencari tahu tentang Shannara jauh sebelum nama itu muncul di daftar Monica. Setelah mendengar gumaman Sergio, ia menyewa seorang detektif swasta untuk membuat profiling mantan kekasih suaminya itu. Ia tahu tentang Orion, tentang Jurusan HI, tentang kapal pesiar. Bahkan, ia tahu tentang kehidupan Shannara yang kini sedang terhimpit.
Ketika Monica menyebut nama Shannara, Karina melihatnya sebagai hadiah, sebuah kesempatan langka yang dikirim oleh takdir.
Mengapa kau di sini, Nara? Karina bertanya dalam hati, matanya memancarkan perhitungan tajam. Karena aku ingin kau berada di tempat yang bisa kuawasi. Di bawah kakiku, di dalam kandangku.
Karina meletakkan gelasnya dengan suara pelan. Kemudian, ia dengan sengaja memulai ‘pengumuman’ romantisnya kepada Monica, kali ini dengan penekanan yang jauh lebih mematikan.
Senyum tipis muncul di bibir Karina. Senyum milik seorang perempuan yang tahu dirinya sedang memegang seluruh papan permainan.
Dia harus melihat ini. Dia harus tahu siapa yang menang.
Karina menegakkan tubuh, lalu menatap Monica yang tengah memeriksa jadwal di tablet.
Suara Karina meluncur lembut, tapi setiap katanya mengandung racun yang halus.
"Monica, tolong reservasi tukang pijat langgananku ya." kata Karina, suaranya dipenuhi nada lelah yang dibuat-buat, cukup keras agar Shannara mendengarnya.
"Pijat lagi?" Tanya Monica, sedikit terkejut
Karina menghela napas panjang, gestur yang sangat teatrikal, seolah beban malam itu terlalu berat untuk ia tanggung. "Semalam itu, Sergio benar-benar tidak melepaskanku. Kami menghabiskan malam panjang di rumah, dan jujur saja, badanku pegal-pegal semua. Rasanya semua ototku kaku, terutama di pinggang dan paha dalam. Mungkin aku harus minta dia lebih pelan sedikit, tapi dia memang selalu menuntut begitu setelah dia merasa sangat emosional. Jadi nanti aku mau langsung pijat begitu selesai syuting. Pasti enak banget setelah malam panjang seperti itu."
Ia tertawa kecil, tawa yang mengalun pelan, sensual tapi juga kejam. Karina melihat Shannara di cermin. Shannara menunduk cepat, fokus pada tugasnya, tetapi jemarinya gemetar dan keringat dingin muncul di pelipisnya.
Karina melihatnya dan menikmati setiap detik ketegangan itu.
Ya, begitu. Rasa sakit dan keraguan di wajahmu itu cukup sebagai permulaan. Aku akan memupuknya menjadi racun.
Karina kemudian menatap Monica dengan nada lebih tenang.
"Mon," ucap Karina setelah jeda, dengan nada tenang tapi tegas, "sekalian panggil Shannara untuk bantu aku nanti. Aku nggak mau orang lain yang terlalu dekat denganku saat kerja. Aku suka Shannara ada di dekatku. Dia membawa aura yang bersih, dan aku ingin memastikan dia tetap fokus dan tidak terganggu."
Kalimat itu terdengar biasa, tapi bagi Shannara, itu seperti tali halus yang perlahan melilit lehernya lebih kencang. Karina tahu. Dan sengaja memelintir rasa nyaman menjadi alat kontrol, memastikan Shannara tidak lepas dari pengawasannya.
Shannara merasakan seluruh tubuhnya kaku, mendengarkan detail menjijikkan dari kebohongan Karina. Cengkeramannya pada hanger gaun Karina menguat hingga buku-buku jarinya memutih.
Kenapa dia bohong seperti itu?
Dia bilang Sergio bersamanya semalam … tapi aku tahu persis di mana Sergio berada.
Shannara menggigit bibir. Dalam pikirannya masih terbayang Sergio di rumah sakit wajahnya cemas, tangannya yang menggenggam erat tangannya sendiri, suaranya yang parau ketika berkata ingin melindunginya. Lalu … ciuman itu.
Kebodohan itu.
Dia bilang itu karena dia emosional. Apakah emosionalnya itu karena aku?
Tiba-tiba, pikiran buruk itu datang menusuk, meracuni benaknya:
Atau … apakah setelah keluar dari ruangan itu, setelah ciuman yang berakhir tamparan, Sergio justru pulang dan mencari kepastian dari istrinya?
Setelah semua yang dia lakukan padaku… dia masih bisa memeluk perempuan lain dan menuntut tubuh istrinya, hanya beberapa jam kemudian?
Panas menjalar di dadanya, bukan hanya dari rasa malu karena menjadi pelarian, tapi juga kemarahan yang ia benci karena masih peduli. Cemburu. Ya, cemburu yang dibalut rasa jijik. Sergio adalah pria brengsek yang tahu cara memanipulasi, dan kini ia berhasil membuat Shannara merasa kotor dan terbuang.
Dasar pria brengsek.
Mendengar Karina memintanya untuk selalu berada dekat dengannya terasa seperti hukuman penjara. Shannara adalah tahanan yang terikat oleh utang pada Sergio, dan kini menjadi sandera di bawah pengawasan Karina. Ia harus bertahan. Demi keluarganya.