Sinopsis
Arumi Nadine, seorang wanita cerdas dan lembut, menjalani rumah tangga yang dia yakini bahagia bersama Hans, pria yang selama ini ia percayai sepenuh hati. Namun segalanya runtuh ketika Arumi memergoki suaminya berselingkuh.
Namun setelah perceraiannya dengan Hans, takdir justru mempertemukannya dengan seorang pria asing dalam situasi yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 16
Nayla tersentak. Kepalanya menoleh akibat benturan tangan Hilda yang mendarat tepat di pipinya. Suasana seketika membeku.
"Pengkhianat!" desis Hilda dengan rahang mengeras, napasnya memburu menahan gejolak amarah yang meluap.
"Aku nggak percaya kamu bisa serendah ini, Nayla. Kamu bukan cuma hancurin rumah tangga Arumi, tapi kamu juga menusuk sahabatmu sendiri dari belakang!"
Nayla memegang pipinya yang kini memerah, matanya bergetar, tapi tak mampu membalas. Suasana dalam kamar terasa sesak. Arumi masih berdiri di tempatnya, matanya berkaca-kaca namun membeku dalam diam.
Hansel mencoba melangkah ke depan melindungi Nayla, hal itu tak luput dari mata Arumi. “Hilda, tolong jangan pakai kekerasan…”
Hilda langsung menatapnya tajam. “Diam kamu, Hansel! Kamu bahkan lebih menjijikkan! Laki-laki pengecut yang tidak tahu diri!”
"Kalau memang kalian saling mencintai, kenapa tidak sejak awal kalian bersama saja? Kenapa harus menunggu setelah Arumi memaafkanmu, baru kalian tikam dia dari belakang?!"
Nafas Hilda terdengar berat, matanya menyapu keduanya dengan pandangan penuh jijik.
Arumi akhirnya melangkah maju, perlahan tapi mantap. Tatapannya menusuk, dingin, dan penuh luka. Semua emosi yang selama ini dia tahan mulai menyeruak keluar, namun tetap dalam kendali. Tak ada lagi air mata, hanya ketegasan yang membeku di wajahnya.
“Aku cuma mau satu jawaban,” suaranya terdengar pelan, nyaris seperti bisikan, tapi cukup tajam untuk membuat Nayla dan Hansel menoleh bersamaan. “Sejak kapan?”
Hansel menunduk. Nayla mengatupkan bibirnya erat, matanya tampak gelisah. Tapi Arumi tidak sabar menunggu.
“Sejak KAPAN?!” ulangnya dengan suara meninggi, kali ini tak terbendung.
Hansel tak bisa menjawab. Tubuhnya terasa kaku, suaranya tercekat di tenggorokan.
“Jawab, Hansel! Atau biar aku simpulkan sendiri, bahwa selama ini aku hidup dalam kebohongan yang kalian ciptakan bersama!”
"Setahun yang lalu.." Jawab Hansel.
Deg!
"Satu tahun?" Arumi mentertawakan dirinya sendiri.
Satu tahun dia di bohongi oleh suami dan sahabatnya.
"Kalian menikah?" Tanya Arumi lagi.
"Sehari sebelum kamu tahu perselingkuhanku."
"Brengsek!" Seru Arumi, senyumnya kecut, getir, dan menyesakkan. “Hebat... kalian benar-benar merencanakan semuanya dengan rapi ya. Aku bahkan sempat merasa bersalah karena terlalu keras padamu, Hansel. Aku pikir, kita masih bisa memperbaiki semuanya. Tapi ternyata, kamu sudah memilih jalanmu. Bersama dia.”
Nayla melangkah maju, suaranya memohon, “Rum, tolong dengarkan aku, ini semua bukan untuk menyakitimu. Aku juga nggak pernah berniat seperti ini, tapi cinta kami tumbuh begitu saja...”
“Cinta?” Arumi menyeringai dingin. “Kamu tahu, Nayla, cinta itu bukan pembenaran untuk menusuk orang dari belakang. Cinta itu bukan alasan untuk menghancurkan kepercayaan yang aku berikan sepenuh hati pada kalian berdua.”
Hening sesaat. Hanya terdengar napas yang berat, seperti menahan emosi yang terus menggelegak dari dada Arumi.
"Aku bahkan pernah bercerita padamu, Nayla. Tentang rasa sakitku saat tahu Hansel selingkuh. Aku menangis di hadapanmu." suara Arumi gemetar. "Dan ternyata, orang yang membuat aku menangis itu, adalah kamu."
Nayla memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Tapi tidak ada satu pun simpati di mata Arumi.
“Aku nggak butuh air mata palsumu, Nayla. Dan kamu, Hansel, Kamu bahkan lebih rendah dari yang pernah aku bayangkan. Kamu hancurkan semuanya, kepercayaan, pernikahan, dan juga harga diriku sebagai istrimu.”
“Aku minta maaf, Rum, sungguh.” Hansel mencoba mendekat.
“Jangan selangkah pun mendekat,” tegas Arumi. "Kami punya dua pilihan, menceraikan aku, atau menceraikan dia."
Tanpa menunggu jawaban, Arumi berbalik, mengambil tasnya, dan berjalan keluar dari kamar itu tanpa menoleh sedikit pun.
"Dasar sampah! Kalian berdua memang cocok, sama-sama menjijikkan!" hardik Hilda dengan nada penuh amarah dan jijik. Tatapannya menusuk Hansel dan Nayla yang hanya bisa terdiam di tempat.
Tanpa berkata lebih lanjut, Hilda berbalik dan segera menyusul Arumi yang telah lebih dulu pergi, meninggalkan kamar itu dalam kehancuran dan kebisuan yang memekakkan.
Di tengah keributan yang memanas, beberapa pria tampak berdiri di koridor luar kamar, memperhatikan suasana dengan tatapan dingin namun penuh minat.
Dania, yang sejak tadi hanya menjadi penonton diam, segera tersadar dan bergegas menghampiri mereka.
"Pak," sapanya dengan penuh hormat, menundukkan kepala sedikit.
Pria berperawakan tegap dengan kemeja putih dan jas hitam menoleh pelan, ekspresinya tenang tapi tajam. "Apa yang terjadi?"
"Ada sedikit keributan antara tamu dan istrinya, Pak," jawab Dania sopan, meski nada suaranya terdengar gugup. Ketakutan terpancar jelas dari wajahnya.
Pria itu hanya mengangguk singkat. "Oh."
"Saya minta maaf atas kekacauan ini, Pak. Semuanya adalah tanggung jawab saya," lanjut Dania cepat-cepat, mencoba mengendalikan situasi.
Namun pria itu hanya tersenyum samar. "Tak perlu minta maaf. Justru aku cukup terhibur dengan pertunjukan dramanya."
Ucapannya dingin tapi santai. Lalu, tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, dia melangkah pergi, diikuti dua pria lainnya yang sejak tadi berdiri di belakangnya. Sepatu kulit mereka berdetak pelan di lantai marmer, mengiringi keheningan yang tertinggal.
"Nad, aku dan Hilda minta maaf atas keributan tadi," ucap Arumi dengan nada menyesal. Ia tahu, semua kekacauan yang terjadi bisa saja berimbas pada pekerjaan Nadia.
Nadia tersenyum tipis, menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Rum. Lagipula, sepertinya atasan aku juga nggak marah," katanya, teringat kembali pada wajah atasannya yang justru terlihat menikmati situasi tadi.
"Terima kasih... karena sudah membantuku," ujar Arumi, matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau bukan karena kamu, mungkin aku akan tetap jadi orang bodoh yang terus dibohongi."
"Nggak perlu berterima kasih, Rum," balas Nadia lembut. "Mungkin ini memang jalan Tuhan. Tuhan bawa kamu ke hotel ini bukan tanpa alasan, supaya kamu lihat semuanya dengan mata kepala sendiri."
"Thanks ya, Nad," ucap Hilda tulus.
"Iya, sama-sama," jawab Nadia sambil tersenyum hangat.
"Oh iya, aku sama Arumi pamit ya. Kita mau langsung balik ke Jakarta," lanjut Hilda sambil menepuk ringan lengan Nadia.
"Hati-hati di jalan," ujar Nadia. Ia tidak mencoba menahan kepergian mereka, ia tahu, berada di tempat yang sama dengan orang yang sudah mengkhianati tentu menyakitkan bagi Arumi.
Sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta, Arumi hanya diam. Matanya sembab, wajahnya sayu, bersandar lemas di kursi mobil. Tatapannya kosong, menembus kaca jendela, seolah mencari jawaban di balik hamparan langit dan jalanan yang terus memanjang. Tidak ada kata, tidak ada air mata yang tersisa, hanya sunyi yang mengiringi luka dalam diam.
Sementara Hilda, ia pun memilih diam. Bukan karena tak ingin menguatkan, tapi karena ia tahu, saat ini Arumi tak butuh kata-kata. Yang dibutuhkan sahabatnya hanyalah ruang untuk merasakan, untuk memproses semua luka yang baru saja terbuka begitu lebar.
Tangannya hanya sesekali terulur, menggenggam jemari Arumi dengan lembut, tanpa suara, tapi penuh makna. Aku di sini. Kamu nggak sendiri.
Mobil terus melaju menembus senja yang mulai turun perlahan. Di dalam keheningan, hanya suara mesin dan hembusan angin AC yang terdengar.
Sesekali, Arumi menarik napas panjang, menahan sesak yang menggumpal di dadanya.
********
Support author dengan like, komen dan subscribe cerita ini ya, biar author semangat up-nya. Terima kasih.....
smangat terus thor 💪💪💪
gpp lah lepas dari hansel
ketemu kai... Arumi menang banyakkkkk 😍😍😍😍