"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal? Ingat?
Langkah Sella memang terasa mantap di hadapan lobi yang ramai itu, tetapi di balik tekadnya, lututnya gemetar. Ia baru saja menjual kenyataan dirinya untuk sebuah sandiwara berbalut berlian. Semua mata di lobi, dari resepsionis hingga manajer yang lalu-lalang, berhenti sesaat ketika Edo melewatinya. Aura CEO itu begitu dominan hingga udara di sekitarnya terasa lebih tipis.
Mereka diantar langsung ke sebuah ruangan konferensi privat di lantai teratas. Di sana sudah duduk seorang pengacara dengan raut wajah kaku dan seorang notaris wanita yang membawa setumpuk dokumen. Tidak ada basa-basi. Edo memang dikenal tidak menyukai pemborosan waktu.
“Sella, silakan duduk. Pengacara Handoyo akan membacakan ringkasan kontrak pertunangan palsu ini. Anda harus menandatangani salinan legalnya, dan kita akan pindah ke bagian transfer dana,” ujar Edo, nadanya datar seolah sedang membahas pengadaan pensil.
Sella menelan ludah. Ia memaksakan dirinya untuk menyimak penjelasan cepat dan ringkas dari Pengacara Handoyo mengenai klausul kerahasiaan, batasan fisik, hingga konsekuensi hukum jika ia melanggar etika perusahaan di depan umum.
“Jadi, Nyonya Sella,” ujar Handoyo, menjepit berkas. “Intinya, Anda harus bertindak sebagai calon istri Bapak Edo di depan publik. Durasi kontrak enam bulan, dengan opsi perpanjangan jika masalah Bapak Andra belum tuntas. Sebagai kompensasi atas waktu dan reputasi Anda, perusahaan Bapak Edo akan mengurus ganti rugi sebesar 300 juta rupiah yang Anda sebutkan, ditransfer segera setelah penandatanganan selesai.”
Sella melirik Edo, yang hanya bersandar tenang, tampak sangat berkuasa dan tidak terpengaruh. Tiga ratus juta. Uang yang melayang karena kebodohan dua hari kini kembali dalam bentuk janji palsu.
Sella meraih pena yang ditawarkan notaris. Tangannya sedikit bergetar, tetapi ia ingat tekadnya di dalam mobil. Ia tidak akan lagi menjadi korban yang hanya bisa menangis.
Dengan tarikan napas panjang, Sella membubuhkan tanda tangan pada setiap halaman yang ditunjuk, termasuk dokumen transfer aset. Ketika ia selesai, notaris itu mengangguk dan mengambil berkasnya kembali. Transaksi resmi.
“Selamat, Sella. Sekarang Anda sudah memiliki kekuatan finansial kembali,” ujar Edo, tanpa mengucapkan selamat, lebih seperti pernyataan faktual. Ia lalu menekan tombol interkom di meja. “Maya, tolong siapkan dokumen daftar rekening untuk Sella. Segera transfer kompensasi 300 juta rupiah ke sana.”
Tak lama kemudian, masuk seorang wanita paruh baya, sangat rapi dan berwibawa. Matanya meneliti Sella dari ujung rambut hingga kaki dengan cepat. Ini pasti Maya, sekretaris kepercayaannya.
Maya meletakkan sebuah buku cek di depan Sella. “Selamat datang, Nyonya. Uang sudah masuk. Dan ini adalah kartu debit sementara. Angka di rekening Anda sekarang adalah…” Maya menyebutkan nominal 300 juta rupiah dengan dua digit angka penting di belakangnya.
Sella merasakan dadanya sesak. Benar-benar nyata. Edo tidak main-main. Tetapi ia segera menyadari tatapan Maya. Tatapan skeptis dan dingin. Maya jelas tidak senang dengan kehadiran tunangan CEO yang mendadak ini.
Setelah pengacara dan notaris pergi, tinggallah Sella, Edo, dan Maya di ruangan itu. Suasana berubah dari formalitas hukum menjadi sesi interogasi.
“Sella, kini sandiwara dimulai,” kata Edo, melonggarkan dasinya sedikit. “Dan untuk permulaan, kamu gagal total.”
Sella mengerutkan kening. “Gagal? Aku sudah tanda tangan, dan aku sudah memanggilmu Edo, bukan Tuan!”
Edo tertawa sinis, suara yang jarang Sella dengar, dan itu lebih tajam daripada bentakan. “Benar. Tapi perhatikan cara kamu duduk. Bahumu membungkuk, matamu masih seperti kelinci yang ketakutan. Dan pakaianmu…” Edo melirik jins dan blus kusam yang Sella kenakan. “Tidak cocok untuk seorang calon CEO’s Wife. Kamu harus melupakan penampilan lamamu.”
“Aku belum sempat ganti pakaian!” Sella membela diri. “Aku datang ke sini dalam keadaan berantakan, ingat? Karena Andra…” Ia berhenti, nyaris menyebut nama terlarang itu.
Edo mengedikkan bahu. “Maya sudah menunggumu. Dia bukan hanya sekretaris, dia adalah Direktur Penampilan Sementaramu. Kamu harus mendengarkan dia dalam segala hal yang berhubungan dengan citra publikmu. Kamu punya janji makan malam dengan beberapa pemegang saham malam ini. Waktumu empat jam untuk berubah dari ‘korban penipuan’ menjadi ‘calon nyonya besar’.”
Sella terkejut. “Makan malam? Hari ini? Tapi aku tidak punya baju, dan aku tidak tahu harus bicara apa dengan pemegang saham!”
“Tugas Maya adalah menyelesaikan masalah itu. Mulai sekarang, kartu debit yang kuberikan tadi bukan hanya untuk urusan ganti rugi, tapi juga modal penampilan,” tegas Edo. “Kamu akan menjalani sesi pelatihan kilat hari ini, Sella. Gaya bicara, etiket makan, bahkan cara memegang garpu. Kamu tidak boleh mempermalukanku di depan investor yang bernilai triliunan.”
Edo bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota. “Satu kesalahan konyol, dan kontrak ini batal. Dan 300 juta itu harus kembali utuh, dikurangi semua pengeluaranmu.”
Sella merasa tekanannya jauh lebih berat daripada ketika ia harus menyenangkan Andra. Edo tidak peduli pada emosinya, ia hanya peduli pada citra. Ia mengambil risiko yang besar demi dirinya.
“Maya,” panggil Edo tanpa menoleh. “Bawa dia. Dan ajarkan cara berjalan yang elegan. Jangan biarkan dia terlihat seperti dia masih memakai cincin mokondo di jari lain.”
Maya melangkah mendekati Sella. Wajahnya tetap dingin, profesional, dan menakutkan.
“Mari, Nyonya Sella,” ujar Maya, mengambil alih Sella dengan aura komando. “Prioritas pertama, gaun malam. Prioritas kedua, kursus kilat table manner yang hanya berlaku untuk 30 menit ke depan. Setelah itu, saya akan memperkenalkan Anda pada tim yang akan mengubah wajah Anda secara drastis.”
Saat Sella mengikuti Maya keluar ruangan, ia berbalik melihat Edo. Pria itu masih berdiri di dekat jendela, terlihat seperti penguasa dunia, tak tersentuh.
“Semoga berhasil, Sella,” Edo berkata, tetapi suaranya bukan berisi dorongan, melainkan peringatan keras. “Jangan buat aku rugi.”
Sella menghela napas, kini bukan hanya berlian berat yang ia tanggung di jari manisnya, melainkan juga harapan Edo. Saat Maya menyeretnya menuju elevator pribadi, mereka melewati deretan ruang kerja staf Edo. Di salah satu kubikel, seorang pria yang Sella yakini sebagai pengelola properti memandang kartu nama yang tergeletak di mejanya, tampak sangat panik.
Tiba-tiba, mata pria itu menangkap sosok Sella. Wajahnya langsung pucat pasi. Ia berusaha mendekat, tetapi Maya sudah sigap menarik Sella menjauh.
“Tunggu, Nona! Apakah Anda Sella?” teriak pria itu panik. “Anda yang menjual ruko di Jalan Mawar! Saya sudah mencari Anda sejak lama! Kapan saya bisa bertemu notaris? Saya butuh tanda tangan Anda untuk validasi aset Andra!”
Langkah Sella terhenti. Pengelola properti? Yang terlibat dalam penjualan asetnya pada Andra? Pria ini tahu persis seberapa besar kerugiannya. Sebelum Sella sempat menjawab atau lari, Maya menatap tajam ke arah pengelola properti itu.
“Permisi,” potong Maya tajam. “Wanita ini adalah tunangan resmi Bapak Edo. Dia tidak punya urusan dengan urusan properti level Anda. Hubungi saja bagian legal perusahaan. Sekarang, pergilah.”
Maya kembali menarik Sella, tetapi mata pria properti itu tetap menatap cincin berlian Sella. Wajahnya dipenuhi kebingungan. Bagaimana mungkin wanita yang beberapa minggu lalu dikejar-kejar karena dokumen yang hilang, kini berdiri di samping sang CEO dengan cincin miliaran?
Saat pintu lift tertutup, Sella menoleh ke Maya. “Siapa dia? Kenapa dia mencari tanda tanganku?”
Maya menyeringai tipis. “Tentu saja dia mencari Anda. Andra tidak akan menipu sendirian. Orang seperti itu punya jaringan. Dan itulah yang harus kita cari tahu. Semua aset yang Anda jual mungkin tidak dijual, Sella. Tapi dipindahtangankan. Ini adalah langkah pertama sandiwara Anda: menghadapi masa lalu tanpa merasa takut, karena Anda sudah di pihak yang berkuasa. Sekarang fokus. Kita punya waktu 30 menit untuk etika. Kamu akan makan malam bersama orang yang bernilai triliunan, bukan sekadar pria mokondo.”
Lift berdenting, dan Sella tahu bahwa dunia barunya baru saja dimulai. Sandiwara ini nyata, ancamannya nyata, dan satu-satunya perlindungan adalah berlian dingin di jarinya, dan nama Edo.