TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

BAB 1. ARUNA

Siang itu, matahari merayap cukup terik membanjiri seluruh permukaan bumi, mengirimkan cahaya keemasan yang menelusup di antara jendela kaca tinggi rumah sakit peninggalan Belanda itu. Bangunan tua bercat putih gading dengan pilar-pilar kokoh bergaya neoklasik masih berdiri anggun, meski beberapa sisinya telah retak dimakan usia. Di halaman depan, pepohonan trembesi menjulang, menaungi tanah yang dahulu sering dilewati para dokter Belanda dengan mantel panjang dan sepatu kulit mengilap. Kini, di abad ke-21, jejak itu digantikan oleh derap langkah dokter dan perawat muda berseragam putih, yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Di antara hiruk pikuk itu, berdirilah seorang perempuan muda dengan wajah tegas namun lembut: Aruna Prameswari. Usianya baru 27 tahun, namun namanya telah menjadi perbincangan banyak kalangan medis. Sejak menempuh pendidikan kedokteran, Aruna dikenal sebagai sosok jenius yang cepat memahami teori sekaligus piawai memeraktikkan keahliannya. Banyak profesor yang kagum pada ketajaman analisanya, bahkan beberapa menyebutnya sebagai 'dokter masa depan' karena idealismenya yang bersinar terang.

Bagi Aruna, menjadi dokter bukan sekadar profesi, melainkan panggilan jiwa. Ia percaya ilmu kedokteran bukan milik segelintir orang, melainkan jalan untuk menolong sebanyak mungkin manusia. Ia memandang sumpah dokter bukan hanya serangkaian kata, tetapi sebuah janji suci. Dan janji itu, baginya, harus ditepati tanpa kompromi.

Namun, idealisme itu perlahan diguncang.

Sejak pertama kali resmi bekerja di rumah sakit peninggalan Belanda di Jakarta ini, Aruna menemukan kenyataan yang berbeda dari yang ia bayangkan. Ia menyaksikan permainan kotor, dokter-dokter senior yang lebih sibuk mengejar proyek, mengutamakan pasien kaya daripada yang miskin, bahkan terkadang mengulur-ulur penanganan demi keuntungan pribadi. Hal-hal itu membuat dadanya sesak. Ia mencoba menegur, mengingatkan, bahkan melaporkan, tetapi sering kali suaranya dipandang sebagai keluguan seorang anak muda yang belum paham 'dunia nyata'.

Hari itu, amarahnya benar-benar memuncak. Seorang dokter senior sengaja menunda operasi seorang pasien miskin dengan alasan ruang operasi penuh, padahal ruangan itu justru digunakan untuk pasien lain yang berani membayar lebih mahal. Aruna menahan gemetar di tangannya ketika ia menyaksikan si pasien miskin, seorang bapak tua, menahan sakit dengan wajah pucat.

"Apa gunanya kita bersumpah untuk menolong siapa pun tanpa membeda-bedakan, kalau begini? Dasar para tikus gila uang," gumamnya lirih, hampir tak kuasa menahan air mata.

Aruna akhirnya melangkah keluar dari rumah sakit, mencari udara segar. Halaman depan dengan bangku-bangku tua peninggalan Belanda menjadi pelariannya. Ia duduk, meletakkan stetoskop di pangkuan, lalu menatap kosong ke arah langit yang sudah mulai dipenuhi awan putih tipis.

Dadanya penuh sesak. Rasanya, seluruh dedikasinya hancur terinjak-injak oleh keserakahan orang-orang yang seharusnya menjadi teladan. Ia menutup wajahnya dengan telapak tangan, membiarkan rasa frustasi itu mengalir begitu saja.

"Waarom zit zo'n mooi meisje hier alleen met zo'n boos gezicht?" (Mengapa gadis cantik duduk sendirian di sini dengan wajah kesal?)

Suara itu datang tiba-tiba, lembut namun penuh keingintahuan. Aruna terkejut, menurunkan tangannya, lalu menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya, berambut pirang pucat yang mulai dipenuhi uban. Pakaian yang ia kenakan sederhana, namun jelas terlihat bahwa ia bukan orang Indonesia. Dari sorot mata biru cerahnya dan juga bahasa yang digunakannya, Aruna langsung mengenali: wanita ini orang Belanda.

Aruna tersenyum tipis, meski wajahnya masih muram. Ia menguasai banyak bahasa, termasuk Belanda, sehingga tanpa kesulitan ia menjawab dengan lancar.

"Ach, Mevrouw, ik ben gewoon moe en een beetje teleurgesteld." (Ah, Nyonya, saya hanya lelah dan sedikit kecewa.)

Wanita itu tersenyum hangat, lalu duduk di sampingnya tanpa diminta. "Teleurgesteld? Waarom? Je bent dokter, nietwaar? Dat is toch een prachtige roeping." (Kecewa? Kenapa? Kau seorang dokter, bukan? Bukankah itu panggilan yang indah?)

Aruna mengangguk pelan. "Ja, maar soms voelt het alsof velen vergeten wat die roeping werkelijk betekent." (Ya, tapi kadang rasanya banyak orang lupa apa arti sebenarnya dari panggilan itu.)

Wanita itu menghela napas panjang. Matanya menerawang seakan terseret oleh kenangan jauh. "Dat is niet alleen van nu. Zelfs vroeger ... mensen vergeten vaak het hart van hun plicht." (Itu bukan hanya terjadi sekarang. Bahkan dulu pun ... orang sering lupa akan hati dari kewajibannya.)

Wanita itu memandang Aruna lekat, seolah melihat sanak keluarga yang dekat.

Aruna memandang wanita itu lebih dekat. "Bent u toerist?" (Apakah Anda turis?)

Wanita itu tersenyum, lalu menggeleng. "Niet zomaar toerist. Ik ben hier om de sporen van mijn voorouders te zien. Mijn familie leefde ooit hier, in dit land." (Bukan sekadar turis. Saya datang untuk melihat jejak leluhur saya. Keluarga saya pernah tinggal di sini, di negeri ini.)

Aruna mengerutkan dahi, rasa ingin tahunya bangkit. "En uw voorouder ... wie was hij?" (Lalu leluhur Anda ... siapa dia?)

Wanita itu menoleh, menatap Aruna dengan sorot mata yang dalam, seakan kalimat yang akan ia ucapkan bukanlah sesuatu yang remeh.

"Van der Capellen," jawab wanita itu dengan senyum yang luar biasa lembut. Seolah nama itu adalah nama dari orang yang paling ia kasihi sepanjang hidupnya.

Nama yang meluncur dari bibir wanita itu membuat Aruna terdiam. Sebuah nama yang pernah ia baca sekilas dalam catatan sejarah: seorang Gubernur Jenderal Belanda pada masa kolonial.

Wanita itu melanjutkan dengan suara lirih, "Mijn voorouder hield van dit land, van de mensen hier. Hij stichtte scholen, probeerde hun leven te verbeteren. Maar in zijn tijd werd hij door zijn eigen mensen gehaat. Ze noemden hem zwak, omdat hij te veel van dit land hield. Uiteindelijk werd hij gedwongen teruggestuurd, na tien jaar." (Leluhur saya mencintai negeri ini, mencintai orang-orang di sini. Ia mendirikan sekolah, berusaha memperbaiki kehidupan mereka. Tapi di masanya, ia justru dibenci oleh kaumnya sendiri. Mereka menyebutnya lemah karena terlalu mencintai negeri ini. Akhirnya, ia dipaksa pulang, setelah sepuluh tahun berkuasa.)

Aruna tertegun. Kisah itu menyentuh hatinya. Ia membayangkan seorang pejabat kolonial yang seharusnya menindas, justru memilih mencintai negeri jajahannya, hingga akhirnya ia sendiri dianggap pengkhianat oleh bangsanya. Ya, Aruna pernah membaca tentang Gubernur ini. Aruna bahkan tahu kalau Gubernur itu adalah satu-satunya pimpinan Hindia-Belanda yang paling manusiawi di antara semua Gubernur Belanda yang pernah berkuasa di negeri ini pada era kolonial dulu.

Namun sebelum Aruna bisa bertanya lebih jauh, terdengar suara laki-laki dari kejauhan. "Moeder! Het is tijd voor uw onderzoek!" (Ibu! Sudah waktunya pemeriksaan Anda!)

Aruna menoleh, mendapati seorang pria tinggi berwajah khas Eropa melangkah mendekat. Sorot matanya tajam, tubuhnya tegap, jelas bahwa ia bukan sekadar pengunjung biasa.

Wanita itu bangkit perlahan. Ia menepuk bahu Aruna lembut. "Ik moet gaan. Maar Meisje ... je lijkt echt op haar." (Aku harus pergi. Tapi gadis ... kau benar-benar mirip dengannya.)

Aruna terdiam, kebingungan. "Op wie, Mevrouw?" (Dengan siapa, Nyonya?)

Wanita itu hanya tersenyum samar, lalu melangkah pergi bersama pria itu.

Aruna masih duduk terpaku di bangku, mencoba mencerna kata-kata terakhir wanita itu.

Mirip dengan siapa? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

Aruna akhirnya berdiri, menghela napas panjang, lalu kembali melangkah masuk ke dalam rumah sakit. Ia mencoba menyingkirkan rasa penasarannya, berniat melanjutkan pekerjaan. Namun baru beberapa langkah ia ambil, suara retakan keras terdengar dari atas bangunan tua itu.

"Aruna! Awas!" teriak seseorang.

Ia menoleh, namun terlambat. Salah satu bagian atap tua yang lapuk mendadak runtuh, menimpa tubuhnya. Segalanya menjadi gelap.

Rasanya Aruna seperti berada di dalam air yang dalam. Pengang, sepi, menyesakkan dan gelap. Samar-samar suara terdengar seperti radio yang mencari sinyal.

Saat Aruna membuka mata, ia tidak lagi berada di rumah sakit itu.

Yang pertama ia rasakan adalah tanah yang lembut dan aroma rerumputan basah. Ia terbaring di area terbuka, dengan langit biru membentang luas di atasnya. Udara terasa jauh lebih segar, lebih murni, seolah tak tercemar polusi. Ia terengah, mencoba bangkit, namun pandangannya teralihkan oleh sosok seorang wanita tua di sampingnya.

Wanita itu mengenakan kebaya lusuh berwarna cokelat, kain panjang sederhana melilit pinggangnya. Wajahnya keriput, namun matanya jernih penuh ketegasan. Ia menatap Aruna seolah sudah lama menunggunya.

"Anak muda ... kau akhirnya terbangun."

Aruna terpaku. Suaranya lirih, namun membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan, seakan sebuah cerita panjang akan segera terungkap.

Dimana aku? batin Aruna.

Terpopuler

Comments

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

aku mampir thor, semangat buat karya nya

2025-09-07

1

Jelita S

Jelita S

udah mampir thor

2025-09-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!