NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Sejak pagi itu, ada sesuatu dalam diri Sekar yang berubah. Mungkin perubahan itu tidak langsung terlihat oleh mata. Tapi di balik raut letihnya, ada semacam kelonggaran yang bisa dia rasakan di dalam dirinya. Dinding yang biasa ia tegakkan rapat-rapat, kini mulai retak di beberapa bagian. Retakan kecil itu cukup untuk membiarkan seseorang masuk secara pelan tanpa adanya sebuah paksaan.

Dan orang itu adalah Hanif.

Ia tidak memaksa Sekar untuk melakukan hal itu. Tidak pernah bertanya lebih dari yang Sekar siap untuk jawab. Tidak mendesak dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Ia hanya hadir, dengan caranya sendiri—kadang dalam bentuk gelas teh hangat di pagi hari, kadang dengan melontarkan candaan bodoh yang tidak lucu, tapi cukup untuk membuat Sekar mengangkat alis dan menahan tawa.

Kadang, kehadirannya cukup dalam bentuk keheningan. Duduk di samping Sekar tanpa berkata apa-apa, seolah mengatakan, “Aku ada di sini. Aku nggak ke mana-mana.”

Hanif mulai memperhatikan hal-hal kecil tentang Sekar. Bagaimana ia akan pura-pura sibuk dengan ponselnya setiap ada yang memandanginya lebih dari lima detik. Bagaimana ia suka memutar-mutar sedotan saat gugup. Atau bagaimana ia selalu memilih tempat duduk yang paling dekat dengan tembok—menggambarkan bahwa dia ingin melindungi diri dari dunia yang sedang tidak baik-baik saja ini

Ia juga mulai memperhatikan perubahan pada Sekar. Cara bicaranya yang sedikit lebih lembut saat menanggapi ucapan Hanif. Senyuman singkat yang sesekali muncul saat mereka makan siang bersama. Bahkan saat Sekar sedang diam, Hanif bisa merasakan bahwa kehadirannya mulai diterima.

Namun, semakin dekat, Hanif juga semakin sadar bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Sekar. Sesuatu yang lebih dalam dari gosip kantor, lebih rumit dari sekadar foto dengan direktur. Ada luka lama di balik cara Sekar menjauhkan diri dari orang lain. Ada rasa takut yang belum pernah ia ucapkan.

Hanif ingin tahu. Bukan karena penasaran semata, tapi karena ia peduli. Karena ia ingin menjadi seseorang yang bisa dipercaya Sekar. Tapi ia tahu, tidak semua luka ingin diceritakan. Tidak semua trauma siap untuk diangkat ke permukaan.

Jadi Hanif hanya bisa menunggu. Bukan dengan paksaan untuk bertanya tentang hal itu, tetapi dengan harapan bahwa Sekar sendirilah yang akan menceritakannya kepada dirinya.

Sampai suatu sore, setelah shift panjang, mereka duduk di taman belakang rumah sakit. Matahari mulai tenggelam, dan suara burung sore mengisi keheningan. Sekar duduk di bangku kayu, memeluk lututnya sendiri, sedangkan Hanif duduk di sampingnya, menjaga jarak yang cukup—tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh.

Sekar membuka suara lebih dulu. “Kamu tahu nggak, Hanif... aku tuh nggak pernah suka dengan yang namanya taman.”

Hanif menoleh, keningnya berkerut pelan. “Memangnya kenapa? Padahal di taman itu banyak keindahan yang terpancar di dalamnya.”

Sekar menghela napas panjang. “Karena dulu waktu kecil, aku pernah ditinggal sendirian di taman. Saat menunggu itu rasanya sangat lama sekali. Aku lihat sekeliling, nggak ada orang yang aku kenali. Aku pikir aku udah dilupain. Dan dari situ, aku jadi nggak pernah percaya kalau seseorang bakal beneran stay di sini.”

Hanif tidak menjawab langsung. Ia hanya menunduk sebentar, mencerna setiap kata.

Sekar melanjutkan, lebih lirih. “Itu cuma salah satu hal kecil, sih. Tapi banyak hal yang bikin aku belajar buat jaga jarak. Itu sebabnya kalau semakin dekat dengan sesuatu, maka semakin sakit waktu ditinggal.”

Hanif menoleh perlahan. “Sekar... aku nggak janji akan selalu ada. Aku nggak janji nggak bakal bikin salah. Tapi satu hal yang bisa aku janjiin, bahwa aku akan berusaha supaya bisa tetap di sini. Untuk nggak pergi cuma karena keadaan nggak nyaman.”

Sekar menoleh padanya, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan matanya menatap mata Hanif lebih dari tiga detik.

“Aku nggak tahu bisa percaya orang lagi atau nggak, Hanif.”

Hanif mengangguk pelan. “Nggak apa-apa. Aku juga nggak minta dipercaya sekarang. Tapi kalau suatu hari kamu butuh tempat untuk cerita, atau sekadar diam, jangan pernah sungkan karena ada aku di sini.”

Sekar menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai berair. Dan kali ini, ia tidak berusaha menepisnya. Tidak berusaha kuat. Karena di samping Hanif, ia merasa cukup aman untuk terlihat rapuh.

Dan mungkin, dari situlah semuanya bisa mulai sembuh.

****

Malam kembali jatuh ke bumi, dan Sekar baru keluar dari area rumah sakit. Bukan, bukan karena banyak kerjaan, tapi dia merasa bahwa gosip itu akan membuatnya tersakiti jika harus keluar lebih cepat dari orang kebanyakan. Jadi untuk kali ini, dia hanya bisa menunggu supaya gosip itu hilang sendiri.

Dia melihat di area parkiran sudah tidak ada mobil dari karyawan rumah sakit. Hanya ada mobilnya dan beberapa motor milik pasien yang dirawat. Saat sedang berjalan ke arah mobilnya, dia dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya.

Sekar yang merasakan itu langsung membalikkan badannya. Dan ternyata, yang menepuknya adalah Hanif.

“Kamu udah mau pulang? Apa boleh aku traktir kamu dulu untuk makan di daerah sini? Kamu kan sudah membantuku kemarin saat motorku rusak. Jadi aku mau membalas kebaikan kamu itu.” Hanif menawarkan Sekar untuk pergi berdua dengannya.

“Nggak usah repot kayak gitu. Aku nggak minta kamu membalas kebaikanku. Aku cuma menolong, seperti kebanyakan orang di dunia ini—yang kalau ada orang kesusahan, pasti akan menolong,” balas Sekar dengan ekspresi datar.

Hanif pasti sudah tahu bahwa Sekar akan menolak ajakannya. Makanya dia langsung saja menarik tangan Sekar untuk ikut pergi.

“Udah, nggak usah banyak protes. Aku di sini nggak butuh penolakan, jadi ikut aja ke mana aku pergi.”

Sekar sebenarnya ingin memberontak agar bisa terlepas dari genggaman Hanif, tapi dia merasa percuma juga melakukan itu. Karena saat mereka tidak sedekat ini saja dulu Hanif tidak mau mendengarkannya, apalagi sekarang saat mereka sudah saling kenal.

Mereka berdua berjalan ke luar rumah sakit dan ternyata ada sebuah angkringan yang tidak terlalu jauh dari sana. Hanif langsung saja pergi ke sana tanpa menunggu persetujuan Sekar.

Setiba di sana, mereka duduk lesehan di lantai yang beralaskan karpet. Sekar tampak gugup. Matanya mengedar memerhatikan keadaan sekitar, dan ... dia terlihat kikuk berada di tempat ramai seperti ini. Tapi Hanif buru-buru bicara—

“Tadinya mau ajak kamu ke restoran mahal, atau mungkin kita drive thru lagi kayak waktu itu. Tapi ... aku rasa makan di sini nggak kalah asyik. Sesekali, kamu harus menikmati pemandangan malam sambil makan makanan ringan begini. Lumayan bikin perasaan lega,” kata Hanif.

Sekar masih getir. Tapi entah kenapa, senyuman Hanif seolah membuatnya merasa aman. Senyuman paling tulus yang pernah ia temui. Dan setelah mengenal lelaki ini beberapa hari belakangan, Sekar tahu Hanif bukanlah pria kurang. Pria itu ... selalu ada di dekatnya, bahkan sampai tahu rahasia terdalamnya.

“Kamu boleh belum percaya aku, Sekar,” ujar Hanif lagi, pelan, dan dalam. “Tapi tolong kamu kasih aku kesempatan buat bikin kamu percaya diri lagi. Kita sembuh bareng ya... pelan-pelan.”

Sekar meneguk ludah. Matanya memanas, bibirnya tergigit dalam.

“Kita lalui ini bareng-bareng. Kamu nggak sendirian.”

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!