Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Rencana Makan Malam
Setelah pelajaran selesai dan dosen killer keluar dari kelas tanpa senyum seperti biasa. Naya langsung menjatuhkan diri ke kursi paling belakang sambil mengerang keras.
“Ya Allah… kaki aku... serasa habis lomba lari tujuh kilo,” keluhnya dramatis.
arya yang baru saja beres mengemasi laptop ikut duduk di sebelahnya.
“Wajar orang tadi kamu lari dari kantin ke lantai dua kayak dikejar anjing gila.”ucapnya
“Aku dikejar lebih serem dari itu,” Naya mendesah. “Dikejar absensi dosen killer yang bisa jadi penyebab skripsiku gagal.”keluhnya lagi.
Ia menyandarkan kepala ke meja sambil mengusap lehernya badannya masih panas karena dihukum berdiri satu setengah jam di depan kelas. Apalagi habis lari dengan kecepatan maksimal dari kantin ke gedung perkuliahan.
“Sumpah itu dosen nggak punya perasaan,” gumam Naya. “Kayak nggak ada nurani sama sekali.”
“Jangan salahin dosen nya nay, Tadi pagi udah aku ingetin kan kalau pak Alvan ada kelas mengajar dikelas siang, eh malah leha-leha sambil minum kopi kayak nggak punya beban.”
Naya mendesah keras lalu merosot kan tubuhnya ke sandaran kursi seperti karung beras. “Iya iya, aku salah. Tapi kenapa juga harus dosen itu sih yang ngajar hari ini? Kenapa bukan dosen yang lain aja kayak Bu Eli gitu yang suka ketawa-tawa itu? Atau pak Fadli yang ngajar sambil cerita horor?”
Alvan memutar bola matanya. “Karena dunia ini nggak berputar sesuai mood kamu, Nay.”
Naya menatap langit-langit kelas dengan lemas. “Aku berdiri hampir satu jam lebih loh, ya hampir Satu jam! Padahal tadi udah hampir mati di tangga.”
“Pantesan pas kamu masuk, kelihatan kayak orang baru kabur dari film action.”
Naya menyikut lengan Arya pelan. “Gara-gara dia, harga diriku turun ke lantai.”
“Yaa... nggak turun sih, lebih kayak... ngubek tanah.”
Arya terkekeh puas melihat wajah kesal Naya.
Karena merasa sudah punya tenaga lagi naya keluar dari kelas ingin pergi ke kantin karna perut nya yang keroncong minta diisi sejak pagi apalagi tadi dia hanya minum kopi untungnya asam lambung nya tidak kumat padahal ini sudah termasuk kategori puasa yang tidak diniatkan.
“Aku ke kantin dulu ah,” gumam Naya sambil merapikan tasnya.
“Perasaan tadi kamu udah ke kantin?”tanya Arya.
“Itu tadi aku cuma minum kopi, bukan makan.”
arya tertawa pelan.
“Ya udah tapi inget jangan pesen mie pedas level lima kamu itu bukan Iron Stomach takutnya nanti malah pingsan.”
“Aku pingsan cuma kalau liat mantan, bukan karena cabai.”
Dengan langkah mantap naya keluar kelas. Tapi saat berjalan melewati koridor menuju kantin belakang gedung F langkahnya melambat. Matanya menangkap sosok yang tak asing berdiri di dekat tiang besi depan warung kecil kampus.
Kemeja putih lengan digulung rapi elana bahan abu gelap, sepatu hitam licin dan laptop di tangan kirinya.
Pak Alvan.
Naya langsung refleks bersembunyi di balik tembok pembatas koridor.
“Ya Allah... kenapa juga harus dia nongol di jam-jam keroncongan gini?”
Matanya melirik ke arah kantin ada tukang nasi goreng, bakwan hangat, teh tarik... semua seperti memanggil-manggil namanya.
Tapi dosen killer itu berdiri di depan warung kecil kampus seperti sedang ngecek nilai hidup para mahasiswa.
"Masa aku harus balik ke kelas? Nggak bisa. Perut aku nggak bisa diajak kompromi."
Tapi setelah tarik napas panjang naya mengambil keputusan cepat.
Lewat taman belakang.
Ia melipir pelan membelok ke jalur becek yang biasa dilewati anak-anak mapala kalau perlu nyeker pun dia rela. Daripada ketemu calon dosen killer... dalam kondisi laper karena bagi Naya martabat sebagai mahasiswi pembangkang harus dijaga meski harus muter satu kampus duluan.
____
Setelah semua urusan kampus selesai naya pulang dengan tubuh remuk redam dan semangat minus lima. Sumpah serapah terhadap dosen killer masih memenuhi pikirannya. Tapi belum sempat ia mencapai tangga menuju kamarnya, suara bariton yang sangat dikenalnya menghentikannya.
“Naya, Papa mau bicara.”
Naya menghela napas panjang. Kenapa sih, hidupnya nggak bisa tenang satu hari saja?
Ia menoleh dengan malas. “Apa?” tanyanya datar.
Pak Firman menatapnya dengan sorot mata tegas duduk di kursi ruang tamu dengan jas masih menempel dan wajah seperti mau rapat direksi.
“Malam ini ada tamu spesial yang akan datang. Papa minta kamu jangan keluar rumah.”
Naya mengangkat alis. “Tamu spesial? Siapa?”
Sebelum Pak Firman menjawab, suara halus yang dibuat-buat datang dari arah dapur.
“Ih, Papa kamu tuh, kalau ngasih kabar selalu dadakan ya, Nay…”
Ibu Mita mama tirinya muncul dengan senyum selembut awan membawa piring kue yang ditata cantik. Penampilannya rapi seperti selalu siap difoto tapi bagi Naya di balik senyum manis itu, tersembunyi lidah paling tajam seantero rumah.
Ia duduk manis di sebelah papanya, lalu menatap Naya penuh senyum palsu.
“Yang mau datang itu keluarga teman nya papa kamu, sayang,” katanya sambil menyuapkan kue kecil ke mulut suaminya.
“Teman papa?” Naya mengerutkan kening. “Siapa?”
Pak Firman menjawab.
“Alvan Dosen kamu. Papa kenal baik dengan keluarganya dan hari ini mereka akan datang untuk makan malam bersama dan kami merencanakan untuk menjodohkan kamu dengan dante.”
Dunia seakan berhenti sejenak.
Naya menatap ayahnya, lalu ke Ibu Mita. lalu berkata, “Kidding!”
Tapi tidak ada yang tertawa.
“Apa??” suara Naya nyaris melengking. “Papa mau jodohin aku sama... dosen killer itu?!”
Ibu Mita langsung tertawa kecil. “Sayang jangan bilang dosen killer nggak sopan dong. Arya itu sopan, pintar, punya prinsip. Cocok banget buat kamu yang... ya... masih butuh banyak bimbingan.”
Naya melotot. “Aku nggak mau dijodohin sama dosen itu, pa!”
Pak Firman meletakkan cangkir tehnya pelan. “Papa sudah sepakat keluarganya baik dia juga bukan orang sembarangan. Dan kamu butuh laki-laki yang bisa menuntun kamu. Bukan yang selevel dengan tongkronganmu itu.”
Naya hampir membanting tasnya.
Ibu Mita tersenyum halus tapi tatapannya tajam menusuk. “Lagipula, lebih baik kamu nikah dengan laki-laki mapan dan dewasa... dari pada nanti kamu jatuh cinta sama mahasiswa seumuran yang masih belum tahu arah hidup, iya kan?”
Dan di kepalanya, hanya satu suara menggema:
“Dijodohkan… sama dosen killer?! Yang tadi pagi ngasih aku hukuman berdiri hampir satu jam?! Yang mukanya kayak robot pas ngajar?! Ini mimpi buruk!”
Naya mengepalkan tangan tapi mita menangkap hal itu.
"Aku tidak mau"tolaknya mentah mentah.
"Dan papa tidak mau ada penolakan"ucap papanya lebih tegas
“Papa, ini gila. Aku bahkan barusan dihukum berdiri sama dia!”
Pak Firman hanya berkata pelan, “Kalau kamu masih ngelawan, Papa bisa pertimbangkan ulang status kamu sebagai pewaris.”
Dan itu sudah cukup membuat Naya terdiam. Lagi.
Lagi-lagi ancaman itu.
Saat ia berbalik hendak masuk kamar, Ibu Mita menambahkan, setengah berbisik:
“Kalau kamu nggak suka... pura-pura aja dulu, sayang. Yang penting Papa kamu tenang. Biar kamu bisa dapat bagian kamu nanti. Lagian, siapa tahu... kamu malah jatuh cinta beneran.”
Senyumnya manis tapi dingin seperti pisau es tapi hanya naya yang bisa melihat itu.
Di luar, senja mulai turun. Lampu-lampu taman sudah menyala. Pelayan rumah mulai menata meja makan panjang di ruang tengah. Naya menatap ke arah pintu utama dengan tatapan kosong.
Dan tepat pukul tujuh malam nanti... pintu itu akan terbuka.
Dan laki-laki yang selama ini ia kutuk sebagai dosen killer… akan duduk di meja makan sebagai calon tunangannya.
🍒🍒🍒