"Revano! Papa minta kamu menghadap sekarang!"
Sang empu yang dipanggil namanya masih setia melangkahkan kakinya keluar dari gedung megah bak istana dengan santai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sari Rusida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
"Tugas kalian akan dikerjakan kapan?" Putra bertanya disela menikmati sarapan pertama bagi Revano, Risya juga Dita.
"Nanti," Risya menjawab singkat.
"Tugas apa?" tanya Nadia.
"Tugas kuliah. Sama dosen diminta buat mewawancarai salah satu karyawan di perusahaan yang menggarap di bidang konstruksi," jawab Risya kemudian meneguk air putihnya.
"Cuma itu? Kenapa harus ikut ke Kalimantan kalau tugasnya hanya untuk mewawancarai karyawan doang?" tanya Bagas yang disambut anggukan oleh Putra.
Risya nyengir, menampakkan deretan giginya yang tertata rapi. "Kan mau jalan-jalan, Bang. Nggak pa-palah sekali-kali."
Putra menggelengkan kepalanya. "Karyawan Papa di perusahaan di Surabaya juga banyak, Risya. Kamu ini ada-ada aja."
"Tapi ini penting, Pa. Nilai hasil wawancara ini bisa jadi nilai tambahan buat skripsi kita besok. Ya 'kan, Dit?" Risya menoleh ke arah Dita, meminta pendapat. Tentu saja Dita membalasnya dengan anggukan, secara ini juga menguntungkan buatnya.
"Terserah kamu, Risya." Putra meneguk air minumnya, kemudian berdiri. "Papa harus berangkat sekarang. Kalau kamu dan Dita ada urusan di luar, tidak boleh tanpa pengawalan Revano. Bagas, ayo berangkat."
Bagas menganggukkan kepalanya. Segera minum dan kemudian menyusul Putra yang sudah lebih dulu berjalan keluar.
"Kak Nad, aku sama Dita mau jalan-jalan bentar, ya. Nggak jauh kok, sekitaran sini doang."
Revano yang memang sudah siap sarapan segera ikut berdiri kala melihat Risya serta Dita berdiri. Tanpa berkata apa pun, dia memilih pergi dari sana.
"Kalau perginya sama Revano, pergi aja. Walau pun cuma sekitaran sini, kamu tetap harus sama Revano," ucap Nadia sambil membantu ART-nya membereskan meja makan.
Risya dan Dita menjawab bersamaan. Mereka segera berdiri dan berjalan bersamaan keluar.
Sesampainya di luar, Risya dan Dita dikejutkan dengan Revano yang membawa tas pribadi mereka berdua yang berisi buku-buku untuk tugas kuliah.
"Kenapa tasnya di bawa keluar, Pan?" tanya Risya yang kini masih berdiri terpaku di depan pintu.
"Untuk mengerjakan tugas, kalian tentu membutuhkan buku, 'kan?" Revano segera menyerahkan kedua tas itu pada Risya dan Dita.
"Tapi kita ngerjainnya nanti, Revano," ucap Dita ikut protes.
"Sekarang atau nanti sama saja. Semakin cepat tugas kalian selesai, semakin cepat kalian bisa bersenang-senang menikmati liburan." Revano menatap wajah ditekuk Risya dan Dita dengan tatapan datar.
"Tapi kan nggak ada salahnya kalau pagi ini kita jalan-jalan dulu. Lagian kita masih punya waktu dua minggu lagi, 'kan?" Risya masih tidak setuju dengan usul Revano.
"Tidak ada salahnya juga jika anda mengerjakan sekarang." Revano berbalik dan segera berjalan mendekati mobil yang akan membawa mereka menuju sebuah perusahaan nantinya.
"Bodyguard kamu nyebelin, Ris. Tapi tetap ganteng," bisik Dita sambil menatap Revano.
"Sekali nyebelin, tetep aja nyebelin. Lagian ganteng doang nggak ada gunanya kalau nada bicara dia kayak ngomong sama musuh. Datar banget, Masya Allah."
"Tapi itu jadi daya tarik tersendiri buat dia, Risya. Coba liat baik-baik. Gantengan dia daripada Alex, 'kan?" tanya Dita sambil membandingkan Revano dan Alex.
"Kata-kata kamu lebay banget, Dit. Udah, ah. Mendingan kita nurut aja sama dia, biar cepet bisa jalan-jalan," ucap Risya kemudian berjalan memasuki mobil.
***
Di Kalimantan sekarang jam 20.25 malam. Risya dan Dita baru saja melangkahkan kakinya di halaman rumah Bagas. Mereka baru pulang dari mengerjakan tugas kuliah masing-masing.
"Baru pulang, Dek?" tanya Bagas yang kini tengah duduk manis di teras bersama Putra.
"Nggak, udah dari tadi," jawab Risya dengan asal. Badannya yang terasa remuk membuatnya tidak fokus dengan keadaan sekitar.
"Kenapa lama? Jalan-jalan terus kerjaan kamu. Udah tahu ke sini buat tugas kampus, bukan jalan-jalan," ucap Putra.
"Kita ngerjain tugas, Papa. Ini tuh gara-gara Epan. Capek badan Risya, pegel semua." Risya meregangkan persendiannya yang terasa kaku.
"Kenapa Revano?" tanya Bagas dan Putra bersamaan.
"Bukan salah Revano, Om, Bang Bagas. Tapi salah Risya sendiri. Kalau punya Dita udah selesai, punya Risya doang yang belum," jawab Dita sambil mengangkat buku yang dibawanya.
"Sstt ... Kamu diem aja, Dit." Risya mencubit pelan pinggang sahabatnya itu, membuat Dita sedikit meringis.
"Kenapa punya Risya belum siap, sedangkan punya kamu sudah, Dita?" tanya Bagas heran.
"Risya pilih-pilih karyawan, Bang. Nggak mau yang perempuan, harus laki-laki. Mana umurnya harus di bawah dua puluh lima tahun, masih single, ganteng. Aduuh ... pokoknya pilihan Risya aneh-aneh." Dita menjelaskan alasan Risya tanpa mempedulikan mata Risya yang melotot tajam ke arahnya.
"Nggak, Pah. Dita ngarang, ih." Risya melambaikan tangannya di depan dada.
"Bener kali, Ris. Kamu sendiri yang ngeluh sepanjang jalan tadi. Ya 'kan, Van? Revano aja denger sendiri tadi," ucap Dita kini meminta dukungan Revano.
Revano mengangguk. Bukan karena setuju dengan Dita, tapi karena memang itu kenyataannya.
"Risya, Risya. Kamu ini aneh banget, sih? Nggak sering ada karyawan yang kamu minta itu," ucap Bagas sedikit terkekeh dengan alasan konyol adiknya itu.
"Ya ampun, Risya capek banget. Mau tidur, ah." Risya segera menarik tangan Dita dan meninggalkan Abang, Papa serta bodyguardnya di luar.
***
Hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa sudah sepuluh hari Revano, Risya, serta Dita berada di Kalimantan. Tugas Risya sampai sekarang masih terbengkalai. Buku masih di tas dan sepuluh hari terakhir tidak pernah dikeluarkan.
Risya selalu kabur setiap Revano menampakkan wujudnya dengan tangan membawa tas punggung Risya. Bersama Dita tentunya.
Gadis yang menjadi sahabat Risya itu hanya ongkang-ongkang kaki saat Risya tengah sibuk dengan rencana kaburnya setiap pagi. Di saat Risya tengah dihantui oleh tugas yang masih belum selesai, Dita malah dihantui rasa senang karena lagi pedekatean sama cogan.
"Apa masuk bagasi mobil Bang Bagas aja, Dit? Bisa 'kan, waktu Bang Bagas sama Papa berhenti di kantor, Kita langsung keluar dan kabur lagi," ucap Risya memberikan ide selanjutnya.
"Beberapa hari lalu kita udah coba itu, Ris. Tapi gagal, 'kan? Dan kita berakhir di perusahaan ke sekian kalinya yang lagi-lagi nggak cocok buat kamu," ucap Dita yang kini tengah asik dengan handphone-nya. Senyum gadis itu tidak lepas saat tangannya dengan lincah membalas pesan lewat benda persegi itu.
"Itu kemarin, sekarang belum tentu gagal, Dit. Ayolah, Dita. Aku harus ketemu sama--"
"Sama siapa? Laki-laki lain yang kamu ajak foto kemudian kamu post di ig kamu? Astaga! Udah berapa banyak laki-laki yang kamu masukin di ig kamu itu, Risya? Buat apa lagi? Masih dendam sama Alex?" tanya Dita sambil memutar bola mata malas.
"Ya ... nggak gitu juga kali. Aku belum puas kalau belum liat muka Alex cemburu saat aku sama laki-laki lain," ucap Risya sambil menjatuhkan dirinya di ranjang, sebelah Dita.
"Buat apa kamu lakuin itu? Masih berharap balikan sama dia? Kalau dia udah jadi suami orang sekarang gimana, Risya?" tanya Dita sambil menipuk kepala Risya dengan bantal di sebelahnua, kemudian kembali tersenyum dengan handphone-nya yang membunyikan alarm chat masuk.
"Ya jangan nikah dulu lah. Aku belum dapet pengganti dia, masak dia udah nikah aja gitu. Nggak iya banget," ucap Risya bersedekap dada dengan masih terbaring di sebelah Dita.
"Namanya jodoh, mau gimana lagi," lirih Dita mulai malas meladeni Risya, masih pentingan chat di handphone-nya dong.
"Eh, kali ini cowok itu ganteng banget, Dit. Kita--"
"Males! Yeesss ... kenalan aku ngajak ketemu!" Dita berjingkrak girang di atas ranjang dengan tangan memeluk benda pipihnya.
"Apaan sih, Dit? Kayak bocah tahu nggak?" Risya mendelik kesal ke arah Dita. Melempari sahabatnya itu dengan bantal agar mau berhenti.
"Akhirnya ... setelah sepuluh hari digantungin, dia ngajak ketemu! Yaahuu ... ketemu gebetan! Ketemu gebetan!" Seperti anak kecil yang mendapat permen, Dita bersorak riang di atas ranjang. Hal itu mampu membuat Risya sebal, akhirnya memutuskan pergi dari kamar.
***
Revano kini tengah berada warnet. Dia memutuskan untuk membeli kartu baru untuk handphone-nya. Dia butuh informasi lebih lanjut mengenai keluarganya di Jakarta.
Setelah sepuluh hari berfikir, akhirnya Revano menemukan pilihan. Dia memilih mengganti nomornya saat itu, dan kembali mewanti-wanti adiknya agar tidak kembali kecolongan.
"Bang Van?!"
Terdengar suara girang dari seberang sana kala Revano menyapa duluan si pemilik nomor. Revano menghembuskan nafas pelan, berharap semoga tidak ada yang mendengar adiknya berteriak tadi.
"Bagaimana keadaan di sana?" Revano bertanya dengan nada datar. Sebelumnya ia tidak pernah berkata dengan nada itu ketika bersama adik bungsunya, berbeda lagi dengan saudaranya yang lain.
"Reyna baik, Bang. Abang ke mana aja? Mama selalu menghubungi Reyna kalau Abang belum ketemu juga. Abang baik-baik aja, 'kan?" tanya Reyna dengan nada khawatir.
"Bukan keadaan kamu yang abang tanya, Rey. Bagaimana keadaan di sana? Papa? Mama? Reno dan Rifki? Apa mereka belum kembali?"
Sejenak tidak ada jawaban dari Reyna. Revano mengusap wajahnya, berharap semua baik-baik saja.
"Belum, Bang." Suara Reyna terdengar bergetar.
Revano terdiam.
"Bang ..." Terdengar isakan kecil di seberang sana. "Reyna sendiri, Bang. Papa, Mama, Bang Reno, Bang Rifki, sibuk dengan urusan mereka. Reyna sendiri, Bang."
"Rey ...."
"Mama terlalu sedih dengan hilangnya Abang, sampai lupa ada Reyna di sini yang juga butuh kasih sayang Mama. Papa terlalu sibuk dengan bisnisnya, seperti biasa."
Suara Reyna tersendat-sendat. Revano jarang sekali melihat adiknya ini menangis, terbesit rasa bersalah di relung hatinya.
"Rey ...."
"Reyna nggak berharap banyak sama Bang Reno dan Bang Rifki. Selain Bang Van, nggak ada Abang-abang Reyna yang paling ngertiin Reyna. Reyna sedih, Bang."
"Reyna jangan sedih."
"Reyna berharap banyak dari Bang Van. Reyna sedih karena sepuluh hari lebih nggak bisa hubungi Bang Van. Reyna minta maaf kalau sudah buat Bang Van kecewa, Reyna nggak sengaja."
"Ini bukan salah kamu, Rey."
"Abang pasti tahu kalau Reyna sayang Abang." Revano menganggukkan kepalanya. "Tapi Abang nggak tahu betapa masker Reyna lebih berharga dari ini semua."
Kening Revano berkerut. Masker?
"Huaa! Abang jahat! Muka Reyna jelek banget dengan masker hitam gini!"
Revano menjauhkan handphone-nya dari telinganya saat mendengar teriakan Reyna. Kenapa dengan adiknya ini? Masker? Maksudnya gimana?
"Muka Reyna jelek gara-gara Abang! Masker Reyna belepotan ke mana-mana gara-gara nangisin Abang! Abang harus tanggung jawab!"
Revano sedikit mengerti sekarang. Adiknya ini tengah maskeran wajah saat ini. Pasti wajah Reyna hitam tidak beraturan karena menangisinya tadi. Padahal Revano sudah sedikit melow mendengar curhatan adiknya, rupanya?
"Sebentar! Reyna cuci muka dulu! Jangan dimatiin! Awas aja Abang!" Gadis dua belas tahun itu membuat senyum tipis menghiasi wajah Revano dalam keterangan warnet.
Revano berjalan kaki menuju pulang --ke rumah Bagas. Letak warnet yang memang tidak terlalu jauh membuat Revano tidak perlu berlama-lama. Sebelum suara Reyna terdengar kembali Revano sudah memasuki halaman rumah yang terlihat sepi.
Revano melangkah masuk dan langsung menuju kamarnya di lantai dua. Revano termasuk beruntung karena sudah dianggap keluarga oleh Putra. Jadinya Revano bisa tidur di lantai dua, kamar tamu.
"Bang! Masih di sana?!" Reyna kembali berteriak.
Revano hanya menjawabnya dengan gumaman. Untungnya Reyna dengar. Karena saat ini Revano sedang berada di tangga, tidak mungkin menjawab dengan suara.
"Bang, Reyna ingat!" Suara Reyna kembali terdengar saat Revano memasuki kamarnya. Revano segera menutup pintunya, namun tidak dikunci.
"Apa, Rey?" tanya Revano singkat.
"Papa membawa Bang Reno ke Kalimantan tepat setelah Abang menghilang."
Deg
Bagaimana bisa?
•••••
Bersambung