NovelToon NovelToon
Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Suster Kesayangan CEO Lumpuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / CEO / Cinta Seiring Waktu / Pengasuh
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ra za

Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.

Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.

Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 Selamat Malam

Makan malam akhirnya selesai. Leon yang biasanya bersikap dingin dan enggan makan bersama, malam ini justru menunjukkan perubahan kecil yang tak luput dari perhatian semua orang. Mama Gaby masih memandangi putranya dengan tatapan penuh haru dan rasa syukur. Baginya, kehadiran Nayla seperti angin segar yang perlahan meluluhkan tembok beku di hati Leon.

Sebenarnya, Mama Gaby ingin Leon duduk sejenak di ruang keluarga, seperti dulu sebelum kecelakaan—menghabiskan waktu bersama keluarga meski hanya untuk menonton televisi atau berbincang ringan. Namun ia tak ingin memaksakan apa pun. Fakta bahwa Leon hari ini bersedia makan di ruang makan bersama sudah merupakan kemajuan besar.

"Leon, kamu nggak mau duduk sebentar di ruang tengah? Mama kangen ngobrol sama kamu," tanya Mama Gaby dengan nada lembut.

Leon menggeleng pelan. "Ma, masih ada laporan yang harus aku selesaikan. Mungkin lain kali."

Mama Gaby hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Baiklah. Tapi Mama senang kamu mau makan bareng hari ini."

Sebelum mendorong kursi roda Leon kembali ke lantai atas, Nayla terlebih dahulu berpamitan sopan kepada Mama Gaby.

"Permisi, Nyonya. Saya antar Tuan Leon ke atas dulu."

"Ya, silakan, Nayla. Terima kasih, ya." Mama Gaby menepuk lembut lengan Nayla sebelum mereka beranjak pergi.

Sesampainya di lantai atas, Leon meminta untuk langsung dibawa ke ruang kerjanya yang berada di dalam kamar.

"Aku masih harus menyelesaikan laporan hari ini. Antar aku ke ruang kerja," ujarnya datar.

“Baik, Tuan,” jawab Nayla sambil mendorong kursi roda dengan hati-hati memasuki ruang kerja pribadi Leon.

Begitu memasuki ruangan itu, Nayla sempat tercengang. Ruangan itu luas, bergaya modern minimalis dengan dominasi warna hitam dan abu-abu. Rak buku tinggi memenuhi salah satu sisi dinding, sementara meja kerja besar dengan kursi kulit mewah berada tepat di tengah ruangan, lengkap dengan pencahayaan hangat yang nyaman.

‘Seperti kantor CEO di gedung-gedung besar,’ batin Nayla kagum.

Leon segera membuka laptopnya dan mulai mengetik. Fokusnya tinggi, jarinya lincah menari di atas keyboard. Sementara itu, Nayla berdiri di sisi belakangnya. Awalnya ia merasa baik-baik saja, namun setelah hampir setengah jam, kakinya mulai terasa pegal. Ia sesekali menggeser berat badannya dari kaki ke kaki untuk mengurangi rasa kebas.

Leon yang tengah fokus tiba-tiba menghentikan gerak jarinya dan melirik ke arah Nayla dari balik layar laptop.

“Kau sudah berdiri selama ini?” tanyanya pelan.

Nayla terkejut, buru-buru menjawab, “Tidak apa-apa, Tuan. Saya baik-baik saja.”

Namun Leon hanya mengulas senyum samar, seakan tahu kalau gadis itu sedang berusaha keras menyembunyikan rasa tidak nyamannya.

Hampir satu jam kemudian, Leon akhirnya selesai. Ia menutup laptop dan memutar kursi rodanya, lalu menatap Nayla.

"Ayo keluar. Aku ingin istirahat," ucapnya singkat.

Nayla segera mendorong kursi roda Leon keluar dari ruang kerja dan membawanya ke sisi tempat tidur. Leon mengangkat tangannya.

"Bantu aku pindah ke tempat tidur."

Nayla mengangguk dan tanpa ragu, ia membantu Leon berpindah dari kursi roda ke tempat tidur. Sekali lagi, ia harus mengeluarkan seluruh tenaga untuk menopang tubuh Leon. Entah mengapa, sejak awal, Leon selalu lebih memilih dipindahkan oleh Nayla sendiri. Mungkin karena gerakan Nayla yang lembut, atau... ada hal lain yang bahkan Leon sendiri belum bisa mengerti.

Setelah Leon bersandar di sandaran tempat tidur, ia kembali memanggil Nayla.

"Pijat kakiku."

Nayla menunduk hormat. "Baik, Tuan. Tapi... izinkan saya ke bawah sebentar. Saya ingin membuatkan sesuatu dulu untuk Tuan."

Leon hanya mengangguk tanpa bertanya lebih jauh.

Nayla segera turun menggunakan lift. Begitu pintu lift terbuka di lantai bawah, ia langsung berpapasan dengan Mama Gaby.

"Nayla? Ada apa? Leon sudah tidur?" tanya Mama Gaby dengan suara pelan.

"Belum, Nyonya. Beliau minta dipijat lagi, tapi saya ingin membuatkan susu hangat dulu untuk beliau," jawab Nayla sambil tersenyum sopan.

Mendengar itu, Mama Gaby tersenyum lebar. “Kamu perhatian sekali. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan kita Nayla. Teruslah sabar, ya. Leon itu keras kepala, tapi hatinya tidak sekeras itu.”

Nayla hanya membalas dengan anggukan pelan dan senyuman.

Setelah membuatkan segelas susu hangat di dapur, Nayla segera naik kembali ke atas. Ia membuka pintu kamar Leon perlahan dan masuk dengan hati-hati.

"Tuan, ini saya bawakan susu hangat. Bagus untuk tulang dan membantu tidur lebih nyenyak."

Leon mengernyit. "Aku bukan anak kecil. Tidak perlu minum susu."

Nayla tersenyum lembut, lalu duduk di pinggir tempat tidur sambil menyodorkan gelas susu.

"Memang bukan untuk anak kecil saja, Tuan. Kondisi seperti Tuan membutuhkan banyak kalsium untuk pemulihan. Dan... kalau boleh jujur, saya juga suka susu, bukan berarti saya kekanak-kanakan."

Leon menatap Nayla dalam diam. Biasanya, ia akan langsung menolak. Tapi entah mengapa, kali ini ia tidak punya tenaga untuk membantah. Mungkin karena cara Nayla berbicara yang tenang dan sabar... atau mungkin karena hatinya perlahan mulai membuka diri.

Ia mengambil gelas itu dan meneguk susu hangatnya hingga habis tanpa banyak protes.

“Terima kasih,” gumamnya pelan.

Sambil menaruh gelas di meja samping tempat tidur, Nayla mulai memijat kaki Leon perlahan, suasana kamar terasa lebih tenang malam ini. Tidak ada lagi kata-kata kasar, tidak ada lagi kemarahan—hanya keheningan yang diisi oleh ketulusan dua hati yang perlahan mulai saling mengisi.

Di balik tatapan diamnya, Leon mulai menyadari sesuatu: kehadiran Nayla bukan sekadar pelayan atau perawat. Gadis itu mulai menjadi bagian dari hidupnya, entah ia suka atau tidak.

Dan bagi Nayla sendiri, meski lelah dan terus diuji kesabarannya, hatinya mulai terisi oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—keinginan untuk bertahan.

Nayla duduk di sisi tempat tidur, memijat perlahan kaki Leon yang terbujur kaku. Meski tahu bahwa lelaki itu tidak akan merasakan sentuhannya, Nayla tetap melakukannya dengan penuh ketelatenan dan kesabaran.

Jari-jarinya bergerak lembut, mengikuti alur otot yang sudah tak berfungsi seperti seharusnya. Namun di balik ketidak terasaan fisik, Nayla percaya—sentuhan penuh perhatian bisa menembus dinding emosional yang selama ini dibangun Leon.

Suasana kamar hening. Hanya terdengar detik jam dan napas Leon yang makin pelan, menunjukkan dirinya mulai mengantuk. Kelopak matanya sesekali terpejam sebentar, lalu terbuka lagi, seakan mencoba melawan rasa kantuk yang mulai menyerang.

“Kalau kau terus begini, aku bisa ketiduran di depanmu,” gumam Leon dengan suara serak yang nyaris tak terdengar.

Nayla menoleh dan tersenyum kecil. “Kalau Tuan Leon sudah mengantuk, lebih baik tidur saja. Istirahat yang cukup bisa membantu mempercepat pemulihan.”

Leon mendengus pelan, tapi tak membantah. “Baiklah… aku ingin tidur.”

Nayla segera menghentikan pijatannya, lalu berdiri untuk merapikan posisi Leon di tempat tidur. Dengan hati-hati, ia membantu Leon berbaring, menyandarkan punggung pria itu dengan bantal tambahan, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.

“Selimutnya sudah pas, Tuan,” ucap Nayla lembut sambil merapikan ujungnya.

Saat Nayla hendak pergi, suara berat Leon kembali terdengar. “Besok pagi… jam enam kau sudah harus ada di kamar ini.”

Nayla yang sudah berdiri di dekat pintu sempat terdiam. Alisnya sedikit berkerut, heran dengan permintaan sepagi itu. “Jam enam, Tuan?”

“Iya. Jangan telat,” jawab Leon datar, tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Meskipun rasa penasaran menyelimuti pikirannya, Nayla tidak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya mengangguk patuh.

“Baik, Tuan. Saya akan datang tepat waktu.”

Setelah itu, Nayla mematikan lampu utama, meninggalkan lampu tidur yang redup di sisi ranjang. Ia membuka pintu perlahan, namun sebelum benar-benar keluar, ia sempat membalikkan tubuh.

“Selamat malam, Tuan Leon. Semoga tidurnya nyenyak.”

Leon hanya mengangguk kecil, kemudian memejamkan mata. Entah karena pijatan Nayla, susu hangat yang ia minum, atau keduanya, malam ini terasa lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.

Sesampainya di kamar, Nayla langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Punggungnya bersentuhan dengan kasur empuk yang seolah menyambut rasa lelah yang menumpuk sepanjang hari. Ia menatap langit-langit kamar sejenak, napasnya terhela panjang.

“Ya Tuhan… hari ini benar-benar luar biasa,” gumamnya lirih sambil menutup mata sejenak.

Dalam benaknya, terbayang kembali wajah Leon yang mulai bisa diajak kerja sama. Meski tetap bersikap dingin dan sedikit menyebalkan, namun Nayla bisa merasakan perlahan-lahan pria itu mulai membuka hati—setidaknya, tidak lagi mengusirnya seperti di awal pertemuan mereka.

Nayla membalikkan tubuh, memeluk bantal kecil di pelukannya.

“Dia tidak segarang kelihatannya… Mungkin sikapnya selama ini hanya bentuk pertahanan karena merasa tidak berdaya. Aku berharap Tuan Leon bisa segera sembuh dan kembali berdiri seperti dulu.”

Senyum tipis terukir di wajah Nayla. Ia menatap jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas lewat sedikit. Tanpa membuang waktu, ia segera menarik selimut, memejamkan mata, dan menenangkan pikirannya.

Besok pagi dia harus bangun lebih awal dari biasanya. Dia tidak tahu apa yang akan Leon minta di pagi hari, tapi satu hal yang pasti—ia harus siap, demi tanggung jawabnya sebagai perawat, dan tentu nya untuk gaji yang besar yang diperlukan untuk pengobatan sang ayah.

1
murniyati Spd
sangat bagus dan menarik untuk di baca /Good/
Guchuko
Sukses membuatku merasa seperti ikut dalam cerita!
Ververr
Masih nunggu update chapter selanjutnya dengan harap-harap cemas. Update secepatnya ya thor!
Zani: Terimakasih sudah mampir kak🥰, ditunggu update selanjutnya 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!