NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32: Wajah di Balik Cermin

Risa merasakan denyutan hebat di pelipisnya. Udara dingin yang menusuk tulang itu kini bercampur dengan aroma melati yang pekat, menusuk indranya hingga mual. Wajah di dalam cermin retak itu... itu adalah wajah yang hanya ia lihat dalam mimpi-mimpi buruknya, dalam foto-foto usang yang disembunyikan Ayah, dan dalam siluet samar di ingatannya yang paling gelap. Wajah Ibunya. Ibunya, kini berdiri di sana, seperti pantulan yang terlepas dari realitas, menatap sosok hitam yang hendak melahap Bibi Lastri.

Sosok hitam itu, dengan api biru keunguan yang menari-nari di cakar runcingnya, membeku. Seolah waktu berhenti, dan satu-satunya yang bergerak hanyalah debu-debu yang melayang di cahaya rembulan yang menembus jendela tinggi. Api di tangan sosok itu meredup, perlahan mengecil, seolah energinya diserap, atau mungkin, dihentikan oleh keberadaan baru itu. Risa bisa merasakan getaran ketidakpastian dari sosok hitam itu, sesuatu yang asing, bukan lagi kemarahan membara yang tadi ia rasakan.

Bibi Lastri, yang sebelumnya meringkuk di lantai, kini mendongak. Matanya membelalak, bukan lagi karena ketakutan pada api, melainkan pada wanita di cermin. Bibirnya terbuka, mencoba mengeluarkan suara, namun yang keluar hanyalah desahan putus asa. Ia bahkan tidak mencoba melarikan diri, seolah seluruh jiwanya terkunci pada pemandangan itu. Di matanya, Risa melihat campuran horor, penyesalan, dan juga… semacam pengakuan yang tak terucap. Seolah Bibi Lastri melihat hantu dari masa lalu yang akhirnya datang untuk menuntut balas.

Kevin menarik lengan Risa lebih erat. “Risa, apa itu…?” bisiknya, suaranya tercekat. Kevin yang selalu logis, selalu mencari penjelasan ilmiah, kini terlihat sama terkejutnya, sama ketakutannya seperti Risa. Namun, ada tekad yang tak tergoyahkan di matanya, kesiapan untuk melindungi Risa apa pun yang terjadi. Risa tidak bisa menjawab. Tenggorokannya tercekat, matanya terpaku pada sosok Ibunya. Ada begitu banyak pertanyaan yang membuncah di dadanya, ingin ia teriakkan, namun tak ada satu pun kata yang mampu ia rangkai.

Wanita di cermin itu, Ibunya, perlahan mengangkat tangannya yang lain. Sebuah gerakan lembut, nyaris tak terlihat, namun memiliki kekuatan yang tak terlukiskan. Sosok hitam itu, yang sedetik lalu penuh amarah, kini seperti anak kucing yang tersentak. Api di cakarnya padam sepenuhnya. Dan perlahan, sosok itu mundur, menjauh dari Bibi Lastri. Langkahnya berat, seolah enggan, namun patuh. Sosok itu kemudian berbalik, menatap ke arah Risa. Sorot mata merahnya yang tadi menyala-nyala kini meredup, menyisakan semacam… kesedihan. Ya, kesedihan yang mendalam. Kesedihan yang sama yang ia rasakan dari Ibunya.

“Ibu…?” bisik Risa, nyaris tak terdengar. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kehadiran Ibunya terasa begitu nyata, begitu dekat, namun juga sangat jauh. Seperti bayangan yang tak akan pernah bisa ia sentuh. Perasaannya campur aduk antara rindu yang menusuk, ketakutan yang mencekam, dan kebingungan yang menyesakkan. Ini terlalu banyak. Terlalu banyak untuk ia cerna dalam satu malam.

Bibi Lastri mulai terisak. Isakannya pecah, memenuhi ruangan yang dingin itu. Ia tidak menatap Risa, tidak menatap Kevin, hanya menatap kosong ke arah cermin yang kini kembali tenang, seolah tak pernah ada apa-apa. “Kau… kau kembali,” bisiknya, suaranya serak dan penuh penyesalan. “Aku tidak bermaksud… aku hanya ingin… aku takut…” Kalimatnya putus-putus, seperti pengakuan yang dipaksa keluar dari jurang ketakutan terdalamnya. “Aku tidak tahu akan jadi seperti ini. Aku bersumpah, Risa… aku tidak ingin dia mati. Aku hanya ingin mereka berhenti… berhenti mengganggu!”

Kevin mengeratkan pegangannya pada Risa. Ia menatap Bibi Lastri dengan tatapan tajam, analitis. “Berhenti mengganggu apa, Bibi?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh otoritas. Ia tahu, ini adalah celah. Ini adalah saat di mana kebenaran akan tumpah ruah, mau tidak mau. Bibi Lastri terus menggeleng, rambutnya berantakan, air mata membasahi wajahnya yang kini tampak sangat tua dan lelah. Topeng keramahannya benar-benar runtuh, hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah seorang wanita yang dirantai oleh ketakutan dan rasa bersalah.

“Rumah ini… rumah ini kutukan!” Bibi Lastri menjerit, menunjuk ke sekeliling ruangan dengan tangan gemetar. Bekas luka samar di tangan kanannya, yang selalu ia tutupi, kini terlihat jelas di bawah cahaya rembulan. Luka bakar yang sama persis dengan yang Risa lihat dalam penglihatan-penglihatan singkatnya. Luka yang sama yang membuat Ibunya selalu mengeluh kesakitan. “Mereka tidak pernah pergi! Selalu menuntut… selalu menginginkan lebih! Aku hanya ingin semua berakhir! Warisan itu… rumah ini… semua ini hanya membawa kesengsaraan!”

Sosok hitam itu, yang kini berdiri di sudut ruangan, memancarkan aura dingin yang menusuk. Ia tidak bergerak, hanya berdiri di sana, mengawasi. Seolah menunggu. Atau mungkin, menyaksikan akhir dari sebuah drama panjang yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Risa menatap Bibi Lastri. Kata-kata wanita itu, isakannya, ketakutannya… semua itu merangkai kepingan-kepingan puzzle yang selama ini bertebaran di benaknya. Penglihatan tentang Ibunya yang kesakitan, tentang percakapan samar antara Ibunya dan seseorang di rumah ini, tentang Ibunya yang ketakutan. Semua terhubung.

“Bibi… apa yang Bibi lakukan pada Ibu?” tanya Risa, suaranya bergetar, namun ada kekuatan baru yang muncul dari dalam dirinya. Ketakutan itu masih ada, namun kini bercampur dengan kemarahan. Kemarahan yang membakar. Kemarahan atas kebohongan, atas pengkhianatan, atas kematian Ibunya yang tak terjelaskan. “Apa yang Bibi maksud dengan ‘mereka’ dan ‘menuntut’?”

Bibi Lastri mendongak, matanya yang sembab menatap Risa. Ada kilatan horor di sana, seolah ia baru menyadari bahwa ia telah mengatakan terlalu banyak. Ia mencoba merangkak mundur, menjauh dari tatapan menuntut Risa, dari tatapan tajam Kevin, dan dari keberadaan sosok hitam yang mengancam di sudut. Namun, Kevin bergerak cepat, menghalangi jalannya. “Jawab, Bibi Lastri,” desaknya, suaranya tegas. “Sudah cukup sandiwara ini. Apa yang terjadi malam itu? Siapa ‘mereka’?”

“Ini bukan warisan biasa, Risa… bukan!” Bibi Lastri akhirnya menyerah, suaranya pecah. “Rumah ini… ada perjanjian yang mengikatnya! Perjanjian darah! Ibuku… nenekmu… mereka semua terikat! Mereka harus ‘membayar’ agar rumah ini tetap berdiri, agar keluarga kita ‘dilindungi’!” Ia terbatuk, meraih tenggorokannya seolah dicekik sesuatu yang tak terlihat. “Tapi perlindungan apa kalau yang ada hanya kesengsaraan?! Ibu Risa… dia tidak mau melanjutkannya! Dia ingin memutuskan perjanjian itu!”

Risa merasa dadanya sesak. Perjanjian darah? Melindungi? Membayar? Apa semua ini? Seperti ada kabut tebal yang mulai tersingkap, namun di baliknya, ada jurang kegelapan yang lebih mengerikan. Sosok hitam di sudut ruangan sedikit bergeser. Matanya yang merah, kini seperti bara yang meredup, menatap tajam ke arah Bibi Lastri. Kevin merasakan getaran dari sosok itu, getaran kemarahan yang tertahan, namun juga kesedihan yang tak terukur. Ia menggenggam tangan Risa erat, mencoba menyalurkan kekuatannya.

“Membayar dengan apa, Bibi? Apa yang harus dibayar?” Risa mendesak, suaranya naik satu oktaf. Ia ingat kata-kata Ibunya dalam mimpinya, ‘jangan biarkan perjanjian itu berlanjut’. “Apakah itu sebabnya Ibu meninggal? Karena dia ingin mengakhirinya?”

Bibi Lastri kembali terisak, ia membenamkan wajahnya di lutut. “Bukan aku… bukan sepenuhnya aku!” Ia mengangkat wajahnya lagi, menatap Risa dengan pandangan memohon. “Aku hanya… aku hanya tidak ingin Ibuku mati. Perjanjian itu… butuh tumbal. Salah satu dari garis keturunan. Ibuku menolak! Dia ingin kau yang melanjutkan, Risa! Tapi Ibumu… Ibumu menghentikannya. Dia tidak mau kau terikat! Dia mencoba mengorbankan dirinya sendiri untuk memutuskan perjanjian itu. Tapi aku… aku tidak ingin dia mati! Aku hanya ingin dia sadar, Risa, bahwa kau yang harusnya menerima warisan ini! Bukan dengan kematian! Tapi dia keras kepala!”

Kevin dan Risa membeku. Tumbal. Perjanjian darah. Ini jauh lebih gelap dari yang mereka duga. Bibi Lastri, dalam ketakutannya, telah mengungkapkan semuanya. Rasa bersalahnya bukan karena membunuh, melainkan karena keterlibatannya dalam sebuah ‘perjanjian’ yang menuntut nyawa. Dan Ibunya Risa… Ibunya telah mengorbankan dirinya demi Risa. Demi membebaskan Risa dari kutukan ini. Tenggorokan Risa tercekat. Ia menatap ke arah cermin, di mana wajah Ibunya tadi muncul. Kini cermin itu hanya memantulkan ruangan yang berantakan, seolah semua yang terjadi hanyalah ilusi. Namun, ia tahu itu bukan ilusi.

“Perjanjian apa…?” Kevin berbisik, nadanya dipenuhi kengerian yang tulus. “Siapa yang membuat perjanjian ini?”

Bibi Lastri tidak menjawab. Ia hanya terus terisak, kini suaranya terdengar seperti ratapan. “Sosok itu… dia yang menuntut. Penjaga rumah ini. Dia yang mengawasi. Dia yang menerima ‘pembayaran’ itu. Ibuku… Ibu Risa… semua terikat.” Ia menunjuk ke arah sudut, ke arah di mana sosok hitam itu berdiri. Namun, saat Risa menoleh, sosok itu sudah menghilang. Hanya menyisakan hawa dingin yang menusuk dan bau melati yang semakin kuat.

“Tidak… tidak mungkin,” Risa menggelengkan kepalanya. Tubuhnya bergetar hebat. Jadi, sosok yang selama ini menghantuinya, sosok yang ia kira mungkin adalah arwah Ibunya, adalah penjaga perjanjian ini? Penjaga yang menuntut nyawa? Dan Ibunya… Ibunya mati karena mencoba mengakhirinya? Ini terlalu kejam. Terlalu menyakitkan. Bibi Lastri, dengan air mata dan isakannya, kini tampak seperti korban juga, korban dari sebuah warisan gelap yang ia tidak tahu bagaimana cara mengakhirinya.

Tiba-tiba, dari arah belakang, terdengar suara langkah kaki yang berat, perlahan, mendekat. Suara yang membuat bulu kuduk Risa merinding. Suara yang tidak berasal dari Bibi Lastri, maupun Kevin. Risa dan Kevin saling berpandangan, mata mereka memancarkan ketakutan yang sama. Langkah kaki itu semakin dekat, dan hawa dingin di ruangan itu semakin pekat, seolah ada sesuatu yang besar, yang jauh lebih tua dan lebih kuat, telah terbangun. Bibi Lastri mendongak, matanya membelalak ketakutan, bukan lagi pada Risa atau Kevin, melainkan pada sesuatu yang berada di balik mereka. Bibirnya terbuka, namun tidak ada suara yang keluar. Hanya udara dingin yang membekukan suaranya. Kevin menarik Risa lebih dekat, melindungi gadis itu di balik tubuhnya. Ia menoleh perlahan, mencoba mencari tahu apa yang datang.

Dari balik pintu ruang tamu yang terbuka sedikit, muncul bayangan hitam yang lebih besar, lebih pekat, dan jauh lebih menyeramkan dari sosok yang tadi. Bayangan itu bergerak lambat, seolah menyeret sesuatu yang berat. Matanya… matanya tidak merah, melainkan hitam pekat, kosong, namun memancarkan kekuatan yang mematikan. Dan di tangan bayangan itu, yang kini terlihat jelas, ada sebuah rantai berkarat, yang salah satu ujungnya… terikat pada liontin kunci kecil yang sama persis dengan yang Risa kenakan.

Risa merasakan kalung liontin kunci di lehernya memanas, seolah terbakar. Ia menyentuhnya, dan merasakan denyutan energi yang kuat, seolah kunci itu terhubung langsung dengan entitas yang baru muncul ini. Kevin merasakan tubuh Risa menegang di pelukannya. Ia menoleh ke arah Risa, melihat mata gadis itu membelalak ketakutan, menatap kosong ke arah rantai berkarat yang dipegang bayangan itu. Bayangan itu berhenti tepat di ambang pintu, menghalangi cahaya rembulan. Ruangan itu kini benar-benar gelap, hanya diterangi oleh pantulan samar dari cermin retak. Bayangan itu mengangkat tangannya yang memegang rantai. Liontin kunci di ujung rantai itu berkilat di kegelapan, seolah memanggil. Memanggil Risa.

“Itu… itu bukan… itu bukan dia,” Bibi Lastri berbisik, suaranya nyaris hilang. Ia mencoba merangkak mundur, menjauh dari bayangan itu, namun kakinya lemas, tak mampu bergerak. “Itu… yang sebenarnya. Yang mengikat kita semua.”

Bayangan itu tidak bergerak, tidak mengeluarkan suara. Hanya tatapan mata hitam pekatnya yang menembus Risa, seolah melihat sampai ke dalam jiwanya. Kevin merasakan hawa dingin yang begitu pekat, begitu mematikan, menyelimuti mereka. Ini bukan lagi hantu biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih tua, lebih kuat, dan jauh lebih jahat. Kevin mengerti. Ini adalah inti dari semua kutukan, semua misteri di rumah ini. Ini adalah ‘penjaga’ yang sebenarnya. Dan rantai di tangannya… rantai itu, dan kunci itu, adalah simbol dari ikatan yang mengikat keluarga Risa pada rumah terkutuk ini. Ikatan yang kini mengancam untuk menarik Risa ke dalam kegelapan abadi.

“Risa…” Kevin berbisik, suaranya tegang. Ia menarik Risa, mencoba melarikan diri, namun kaki mereka terasa terpaku. Bayangan itu melangkah maju, perlahan, setiap langkahnya terasa seperti guntur yang menggetarkan bumi. Liontin kunci di leher Risa semakin panas, berdenyut-denyut. Risa menatap rantai yang terikat pada liontin kunci di tangan bayangan itu. Matanya terpaku. Sebuah ingatan yang sangat samar, namun jelas, muncul di benaknya. Sosok bayangan yang sama, rantai yang sama, liontin kunci yang sama… di malam kematian Ibunya. Malam itu, bukan hanya Bibi Lastri, tapi juga sosok ini, ada di sana. Dan kunci itu… kunci itu adalah milik Ibunya. Kunci untuk… apa?

Bayangan itu sudah di depan mereka, menjulang tinggi, menelan cahaya. Udara terasa tipis, mencekik. Risa merasakan kekuatan tak kasat mata menariknya, seolah ada tangan-tangan dingin yang mencengkeram jiwanya. Ia menatap mata hitam pekat bayangan itu, dan di sana, ia melihat refleksi wajahnya sendiri yang ketakutan. Refleksi yang perlahan, mulai menghilang, ditelan kegelapan yang tak berujung.

“Ibu… tolong…” bisik Risa, sebelum kegelapan menelannya sepenuhnya, bersamaan dengan suara dentingan rantai yang memenuhi ruangan.

Kevin menjerit, meraih tangan Risa yang tiba-tiba terasa kosong di genggamannya. “Risa!” teriaknya, namun suaranya tenggelam dalam kehampaan yang tiba-tiba menguasai segalanya, seolah Risa tak pernah ada di sana. Hanya dentingan rantai yang terus bergema, dan kekosongan yang mengerikan. Bayangan itu… dan Risa… telah menghilang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!