Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Dua Dunia, Satu Alasan Bertahan
Tahun Keempat di Akademi Militer
Pagi di barak dimulai sebelum matahari benar-benar terbit.
Peluit panjang membelah udara dingin.
Raska sudah berdiri rapi di depan ranjangnya bahkan sebelum aba-aba kedua terdengar. Seragam latihannya terpasang presisi. Sepatunya mengilap, tali terikat simetris,.detail kecil yang tak pernah ia abaikan.
“Taruna akhir, kumpul!” suara komandan barak menggema.
Di lapangan, para taruna tingkat bawah berlarian tergesa, beberapa masih membetulkan kancing, sebagian lain menyeka keringat sebelum benar-benar mulai.
Raska berdiri di barisan depan.
Tegak. Diam. Pandangan lurus.
Bukan karena ingin menonjol. Tapi karena ia sudah terlalu lama hidup dengan aturan, hingga tubuhnya bergerak bahkan tanpa perintah.
“Taruna Raska,” panggil seorang instruktur.
“Siap, Pak!”
“Hari ini kamu ambil alih simulasi komando regu gabungan.”
Beberapa pasang mata menoleh.
Simulasi gabungan berarti: taruna lintas tingkat, karakter berbeda, ego berbeda.
Dan itu bukan tugas ringan.
“Siap, laksanakan,” jawab Raska tanpa jeda.
Lapangan latihan dipenuhi rintangan. Parit buatan. Bangunan kayu. Jalur tembak simulasi.
Raska berdiri di depan regunya.
“Kita tidak sedang lomba cepat,” katanya datar. “Kita sedang belajar pulang hidup.”
Tak ada teriakan. Tak ada gaya. Tapi semua mendengar.
Latihan dimulai.
Perintah Raska singkat. Tepat sasaran.
“Kiri, jaga jarak.” “Belakang, jangan terpisah.” “Kalau ragu, berhenti. Jangan sok berani.”
Seorang taruna tingkat dua hampir terpancing maju terlalu cepat.
Raska langsung mengangkat tangan. “Tahan.”
Instruktur di menara mengamati.
Formasi rapi. Tidak agresif berlebihan. Tidak defensif pasif.
Saat simulasi selesai, regu mereka berdiri dalam kondisi terbaik.
Instruktur turun.
“Taruna Raska,” katanya dingin. “Kau tahu kenapa regumu tidak kehilangan satu pun anggota?”
“Siap. Karena mereka patuh, Pak.”
Instruktur mengangguk kecil. “Dan karena pemimpinnya tahu kapan maju dan kapan menahan.”
Beberapa taruna menatap Raska dengan cara berbeda. Bukan kagum berisik. Tapi percaya.
Siang hari, di ruang briefing kecil, papan prestasi dipasang ulang.
Nama Raska tercantum di tiga hal:
Komando lapangan terbaik
Disiplin tertinggi
Evaluasi mental stabil
Tidak ada selebrasi. Raska membaca namanya sekilas, lalu berbalik pergi.
Di barak, ia duduk di ranjangnya. Membuka helm. Menghela napas pelan.
Tangannya otomatis merogoh saku celana.
Cincin itu.
Cincin yang tak pernah lepas darinya. Yang selalu ia genggam, seolah menggenggam hati seseorang yang enggan pulang.
"Ke mana kau pergi?" gumamnya nyaris tak terdengar.
Ia mengepalkannya sebentar. Bukan sebagai pelarian. Tapi sebagai pengingat. Bahwa semua yang ia jalani ini bukan demi pangkat. Bukan demi nama.
Melainkan agar suatu hari, saat ia berdiri sebagai pria seutuhnya, ia tak perlu menunduk ketika memanggil namanya.
Dan layak menjemput belahan jiwanya.
Sore menjelang.
Latihan fisik ditutup dengan lari lintas medan.
Raska tidak finis pertama. Tapi yang paling stabil
Instruktur mencatat sesuatu di clipboard.
Taruna akhir itu berdiri di barisan, napas teratur, keringat mengalir di pelipis.
Di wajahnya tak ada senyum. Hanya keteguhan. Dan di dalam dadanya, satu nama terus hidup, menjadi alasan ia bertahan di tahun terakhir ini.
Elvara
***
Di Belahan Bumi yang Lain
Bel pintu berdenting pelan.
Seorang wanita melangkah masuk. Tubuhnya langsing, langkahnya tenang, wajahnya teduh dengan kecantikan yang tak perlu diumumkan. Hampir semua kepala di dalam rumah makan itu refleks menoleh.
Elvara.
Tak ada lagi jejak gadis yang dulu dijuluki Gasekil, gadis seratus kilo yang ditinggalkan bersama masa lalunya. Penampilannya kini akan membuat siapa pun yang pernah mengenalnya dulu ragu untuk menyebut nama yang sama.
Ia berdiri sesaat di ambang pintu.
Aroma rempah langsung menyergap. Bawang goreng, kaldu hangat, sambal yang baru diulek. Aroma rumah. Aroma bertahan hidup. Aroma yang menandai sejauh apa ia telah berjalan… dan sejauh apa ia meninggalkan dirinya yang dulu.
“Kak Vara!” seru salah satu mahasiswa Indonesia yang sedang mengangkat nampan. “Table tiga minta tambah sambal!”
“Iya!” jawab Elvara refleks, sebelum sadar dirinya masih mengenakan jaket tipis dan tas selempang dari rumah sakit.
Ia tersenyum kecil.
Ibunya berdiri di balik meja kasir, sibuk menghitung pesanan, wajahnya lelah tapi puas.
Di dekat jendela—
“Mommy!”
Suara kecil itu terdengar nyaring.
Rava berdiri di atas kursi, tubuhnya montok dengan kaus bergambar dinosaurus. Rambut hitamnya sedikit ikal, matanya besar, wajah Asia yang terlalu mencolok untuk ruangan itu.
Elvara bahkan belum sempat meletakkan tas ketika bocah itu sudah berlari menghampirinya.
“Hi Mommy! You’re back!” katanya, lalu menempelkan pipinya ke perut Elvara.
Elvara membungkuk, mencium rambut anaknya. “Yes, Baby. Mommy’s home.”
Ia mengusap wajah mungil itu. Wajah yang semakin lama semakin mirip dengan seseorang yang namanya enggan ia sebut… tapi tak pernah benar-benar terhapus dari hati dan ingatannya.
Bocah itu adalah bukti bahwa ada janji yang belum selesai, dan takdir yang masih menunggu giliran bicara.
Seorang wanita berambut pirang di meja sebelah tersenyum lebar. “Oh my God, he’s adorable.”
Rava langsung menoleh. “Thank you,” katanya polos. Lalu menambahkan dengan bangga, “Aku pintar, loh.”
Tawa pecah.
Dua mahasiswa paruh waktu yang membantu di dapur ikut tertawa kecil.
“Rava,” panggil Elda dari balik meja, setengah menegur setengah pasrah. “Do not disturb the guests."
“I’m not disturbing, Grandma. I’m talking,” sahut wanita berambut pirang serius.
Seorang pria bermata biru mengangkat jempol. “Smart kid.”
Rava membusungkan dada. “I can speak English and Indonesian,” katanya, lalu berbisik ke Elvara, “Aku mau susu.”
Elvara tersenyum, mengusap pipinya. “Duduk yang manis, ya.”
Ia berjalan ke dapur, membuatkan susu, lalu membantu menyiapkan pesanan pelanggan sebentar. Tangannya cekatan, gerakan yang sudah mendarah daging sejak remaja.
Di ruang makan, suasana terasa hidup.Orang-orang datang bukan hanya untuk makan. Tapi untuk suasana.
Untuk tawa kecil itu.
Untuk anak Asia montok yang menyapa semua orang seolah mereka kenalan lama.
Untuk rasa rumah di negeri yang jauh dari rumah.
Elvara berdiri sejenak di ambang pintu dapur, menatap semuanya.
Ibunya. Rumah makan. Anak kecil yang kini menjadi pusat dunia kecilnya.
Dan entah kenapa, dadanya terasa penuh.
Bukan sedih. Bukan juga sepenuhnya bahagia. Seperti ada bagian hidup yang berjalan lurus dan tenang…
sementara bagian lain tertinggal jauh di tempat yang tak bisa ia datangi.
Ia menoleh ke arah Rava. Anak itu sedang tertawa, menunjuk ke arah kue di etalase sambil berkata,
“I want that one, but yang kecil aja.”
Elvara tersenyum.
Dan untuk sesaat, ia membiarkan dunia di belahan bumi lain itu tetap diam,
tanpa tahu bahwa di tempat lain, seseorang sedang menggenggam cincin dengan napas tertahan.
...🔸🔸🔸...
...“Tak semua perpisahan memisahkan....
...Sebagian hanya menunda pertemuan yang tak terelakkan.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Sepertinya prestasi Baskara menitis pada Raska. Seperti istilah perwayangan - Raska titisan Baskara.
Raska secara kemiliteran dengan jalur normal pangkat masih Letnan dua.
Raska usia dua puluh dua, sudah berpangkat Kapten.
Ternyata yang melindungi Elvara Jendral Purnawirawan Bintang Empat - pak Prakosa. Belum tahu ini pak Prakosa, kenyataanya Raska menantunya Baskara.
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏