🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 : Dia milikku...
Pagi ini terasa sedikit berbeda, Aini yang biasanya sudah bangun dari jam tiga pagi kini bangun sedikit kesiangan dimana jarum jam sudah menunjuk di angka lima. Dan lebih mengejutkannya lagi ketika dia sekarang sudah ada diatas ranjang, seingatnya dia semalam ketiduran di atas sofa saat sedang menunggu Daffa mandi.
Dengan ragu-ragu Aini menoleh ke arah Daffa yang masih terlelap, dan sepertinya dia tau siapa yang sudah memindahkannya semalam ke atas ranjang.
"Ya Rabbi, jika Engkau berkehendak, maka bukakanlah hatinya untukku. Sama sepertiku yang mencoba untuk menerimanya dalam hidupku, semoga dia pun sebaliknya,"
Tak ingin membuang waktunya karena dia belum melakukan kewajiban dua rakaatnya, Aini bergegas turun dan masuk ke dalam kamar mandi. Dan tepat setelah pintu kamar mandi tertutup, Daffa membuka kedua bola matanya. Karena sebenarnya dia memang sudah terjaga sejak tadi dan sempat mencuri pandang menatap wajah Aini yang masih tertidur.
-
-
"Hemm... Janjian banget semalam pada nggak ikut makan malam, emang nggak pada lapar apa?"
Pertanyaan Devita jelas membuat Aini bertanya-tanya, apakah semalam Daffa juga tidak ikut turun untuk makan malam dikarenakan dia sudah ketiduran?
"Kami tidak terlalu lapar, dan kebetulan juga sudah sempat makan diluar," dustanya demi agar mamanya tidak banyak bertanya lagi. "Hari ini aku yang akan mengantar kamu kerja, kamu tidak perlu naik-naik motor lagi,"
Pandangan semua orang beralih menatap ke arah Daffa. Sejak semalam dia menunjukkan sikap yang berbeda terhadap Aini, lebih lembut, lebih perhatian, dan mulai berbicara tanpa melibatkan emosi lagi. Jelas saja Arya dan Devita merasa sangat bahagia melihatnya.
"Ciyee... Berangkat bareng," ledek Dina sambil kembali mengunyah roti yang sudah sempat masuk ke mulutnya.
"Dina..." desis Devita saat melihat wajah menantunya itu sudah mulai bersemu malu.
Melihat raut wajah kebahagiaan yang terpancar di wajah kedua mertuanya, jelas Aini tidak sanggup untuk menolak ajakan Daffa karena takut membuat mereka kecewa. Hingga setelah dia selesai sarapan, Aini lebih dulu mengirim pesan pada Hana untuk tidak menjemputnya pagi ini.
Tidak ada obrolan khusus selama didalam mobil, Aini yang jelas masih merasa canggung lebih memilih untuk diam dan mengedarkan pandangannya keluar mobil. Ketika melewati sebuah halte, Aini segera meminta Daffa untuk menghentikan laju mobilnya.
"Sampai disini saja, Mas. Lagian pabriknya juga sudah dekat kok,"
Sebelum bertanya, Daffa lebih dulu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, "Dimana pabriknya?"
"Disebelah sana, Mas. Jalan sepuluh menit juga sampai kok," jawab Aini sembari menunjuk ke arah depan, dan memang pabrik tempatnya bekerja belum terlihat jika dilihat dari sana.
"Kenapa tidak aku antar sampai ke depan pabrik saja?" tanyanya sedikit heran karena Aini malah meminta berhenti ketika ternyata bangunan pabriknya bahkan masih jauh.
"Jangan Mas, aku tidak mau kamu merasa malu,"
"Kenapa aku harus malu, Aini?" sekarang dia lebih suka memanggil Aini dengan nama, entah mengapa dia mendadak suka dengan nama itu.
"Aku takut kamu malu jika istri kamu hanya bekerja di pabrik, sementara kamu adalah seorang pemimpin perusahaan. Sebenarnya kita ini seperti bumi dan langit Mas, apakah kita bisa mempertahankan pernikahan ini ditengah perbedaan yang ada? Dan hatimu juga belum untuk aku,"
Diluar dugaan, Daffa yang mendengar Aini menjawab seperti itu malah tersenyum dan mengusap lembut kepala Aini. Jelas Aini langsung ketar-ketir saat menerima perlakuan itu, debaran jantungnya mulai tidak aman.
"Kenapa harus malu? Justru aku bangga karena istriku ternyata adalah wanita yang hebat dan mandiri."
"Istriku? Apakah itu artinya dia sudah mulai menerima kehadiranku disisinya?"
"Aku antar sampai depan,"
Tak ada bantahan, Aini hanya mengangguk kecil sebelum Daffa menyalakan kembali mesin mobilnya. Dan seperti dugaan Aini, sekarang mereka menjadi pusat perhatian para karyawan yang bekerja disana ketika melihat Aini turun dari dalam mobil dengan seorang pria berjas. Beberapa karyawan pria yang memang mengagumi Aini jelas terlihat kecewa saat melihat gadis pujaan hati mereka datang dengan diantar oleh seorang pria tampan dan mapan.
Dan tatapan para pemuda itu tak luput dari perhatian Daffa, ada rasa tidak suka saat istrinya ini ditatap seperti itu oleh laki-laki lain. Daffa mulai mengikis jarak dan memberikan ciuman singkat dikening Aini, seolah ingin menunjukkan jika gadis itu adalah miliknya. Dia milikku...
"Nanti siang aku jemput ya,"
Wajahnya langsung merona merah kala mendapatkan perlakuan seperti itu. Setelah menganggukkan kepala sebagai jawaban iya, Aini segera berjalan dengan sedikit terburu-buru ke arah Hana yang memang sengaja menunggunya di depan pintu gerbang.
"Haduh yang diantar sama paksu... senangnya..." Hana kembali melirik ke arah Daffa sebelum pria itu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Ganteng ya Ai suami kamu, ada duplikatannya nggak satu buat aku?"
Aini melingkarkan tangan kanannya di lengan Hana, membawanya melangkah bersama masuk ke dalam halaman pabrik. "Sayangnya cuma ada satu, dan sudah dikirimkan Tuhan hanya untuk aku,"
"Duh bisaan banget kamu jawabnya, Ai. Nanti siang mau nyobain menu baru nggak dikantin? Enak loh..."
"Ehmmm..." Aini berfikir keras, "Kayaknya nggak bisa, Han. Siang ini mas Daffa mau jemput aku dan ngajakin buat milih cincin pernikahan,"
Hana segera menghentikan langkahnya, kedua matanya melebar seakan tak percaya dengan apa yang baru dia dengar.
"Cincin pernikahan?" Hana mengulum senyum nakal, "Sudah sejauh mana nih hubungan kalian? Sudah itukah...?"
"Nggak. Mas Daffa baik sama aku, dan untuk saat ini itu saja sudah cukup, Han."
Nyatanya, perlakuan lembut dan perhatian Daffa yang mulai ditunjukkan sejak kemarin sudah membuat Aini merasa bahagia dan merasa dihargai sebagai istri. Untuk cinta, Aini akan sabar menunggu. Sama seperti dirinya yang juga akan belajar untuk mencintai Daffa sebagai suaminya, dia juga tidak ingin memaksa Daffa untuk buru-buru mencintainya.
-
-
-
Daffa memasukkan barang-barang miliknya ke dalam kardus, itu adalah barang-barang yang selalu mengingatkan dirinya pada Celine. Mulai sekarang dia sudah tidak membutuhkan semua itu lagi. Dengan Aini dia akan memulai lembaran baru, dan melupakan masa lalunya bersama dengan Celine.
"Kamu yakin akan melupakan dan menguburnya dalam-dalam, Daf?" tanya Dion yang kebetulan memang sengaja berkunjung ke kantor Daffa untuk melanjutkan obrolan mereka yang kemarin.
Daffa mengangguk yakin, "Dia hanya bagian dari masa lalu, dan tidak akan pernah aku biarkan masuk lagi ke dalam hidupku dan Aini."
Mengingat bagaimana cintanya Daffa pada Celine dulu, Dion justru merasa sebaliknya. Dia tidak yakin jika Daffa akan bisa menghindari Celine ketika nanti wanita itu masuk kembali ke dalam hidupnya.
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧