Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam menggantung lebih berat dari sebelumnya, seakan langit sendiri menahan napas.
Di paviliun Selir Xu, lentera tidak pernah dipadamkan.
Cahaya berlapis-lapis mendarat di tirai tipis yang bergoyang pelan oleh angin malam, menampakkan bayangan tubuh kurus yang duduk bersandar di kepala ranjang seperti seseorang yang terlalu lelah untuk sekadar berbaring—atau terlalu takut untuk menutup mata.
Selir Xu menggenggam selimutnya sampai buku-buku jarinya memutih.
“Pergi… aku sudah bilang pergi…” desisnya lirih.
Keringat dingin masih membasahi tengkuk dan pelipisnya. Rambutnya yang biasa disanggul rapi kini terurai berantakan seperti jerami basah. Tatapannya kosong menembus dinding, seakan ia masih melihat bayangan gadis kecil bermata hitam yang tadi siang berdiri di ujung ranjangnya.
Suara itu masih terngiang di telinganya. "Aku tidak mati… tapi kau ingin aku mati."
Selir Xu menggigit bibir sampai terasa darahnya sendiri. “Tidak… tidak…” ia menggeleng cepat, seperti ingin mematahkan ingatan itu dengan kekuatan lehernya sendiri. “Kau seharusnya mati. Kau… seharusnya mati waktu itu…”
Ia memejamkan mata rapat-rapat dan seperti hukuman dari langit, dunia gelap di balik kelopak matanya menyala dengan api.
Flashback
Belasan tahun lalu, hujan turun tanpa suara.
Di luar paviliun permaisuri muda Lang, lentera-lentera berpendar redup seperti cahaya yang tak berani terang. Di dalam kamar, bau darah dan jamu pahit bercampur, menyesakkan udara yang sudah penuh oleh isak tertahan.
Seorang bayi perempuan lahir.
Tidak menangis, tapi bernapas.
Permaisuri Lang, pucat namun tersenyum lemah, mengulurkan tangan gemetar. “Anakku…”
Di balik tirai, seorang perempuan berdiri dengan mata menyala oleh iri.
Ia adalah Lady Shin saat itu masih bernama Xu Shin, jie jie pertama Selir Xu Ruying.
Tidak ada yang tahu hatinya seperti tanah yang sudah lama kering.
Ia menginginkan anak.
Ia menginginkan posisi.
Ia menginginkan tatapan Kaisar Lang yang tak pernah hinggap lama padanya seperti pada permaisuri.
Dalam diam, ia menunggu.
Kesempatan datang tidak dengan bunyi, tapi dengan kelengahan.
Malam ketika hujan semakin lebat, ketika dayang tertidur, ketika tabib mendorong pintu dengan tangan lelah…
Xu Shin melangkah masuk.
Ia memandang bayi itu.
Begitu kecil.
Begitu hangat.
Begitu hidup.
Tangannya gemetar entah oleh rencana, entah oleh ketakutan. “Maaf…” bisiknya, tetapi bukan pada bayi itu. Ia memohon pada takdir yang tidak pernah menjawab.
Ia menggendong tubuh kecil itu, menutupinya dengan kain, dan keluar lewat pintu belakang. Hujan menampar wajahnya, membasahi pakaian dan niatnya sekaligus.
Ia berjalan lebih cepat.
Lebih cepat.
Ke gerbang luar.
Ke hutan.
Suara tangis kecil akhirnya keluar, lirih seperti kucing yang kelaparan.
Xu Shin berhenti karena tarikan dari sang adik Xu Ruying, "Jie jie jangan kau lakukan itu biar dia yang melakukan nya karena jika kau pergi semua akan kacau"
Xu Shin terdiam, ia memandangi bayi itu lalu memberikannya pada dayang itu lalu ia menarik adiknya, "Xu Ruying, kau sudah masuk dalam permainan ini, jadi kau harus masuk kedalamnya menikahlah dengan pangeran Kedua Lang adik dari kaisar Lang, kau harus jadi kaki tanganku"
Sedangkan datang itu pergi kesebuah hutan, Ia mengangkat bayi itu lebih tinggi, menatap mata kecil yang baru terbuka.
Dan di sanalah, di bawah hujan dan cahaya pucat bulan, hati dayang itu pecah.
Ia tidak bisa membunuh, tapi ia juga tidak bisa kembali.
Tangannya gemetar kembali, kali ini oleh kemunafikan.
Ia meletakkan bayi itu di bawah pohon besar yang terlindung dari hujan.
Menyelimutinya.
Berdoa tanpa suara.
Lalu berlari pulang… dengan tangan kosong dan jiwa koyak.
Keesokan paginya, istana berteriak.
Putri Lang menghilang.
Dan sejak hari itu, Xu Ruying tidak pernah tidur nyenyak.
Flashback off
...****************...
Kembali ke malam ini, Selir Xu membuka mata dengan napas tersengal.
Ia menutup wajahnya.
“Bukan salahku… aku tidak membunuhmu… aku tidak…” bisiknya.
Ketukan terdengar di pintu.
Pelan. Teratur. Mengusik.
Selir Xu membeku.
“Siapa…” suaranya nyaris tak terdengar.
Pintu terbuka tanpa menunggu jawaban.
Seorang perempuan masuk.
Wajahnya setengah tertutup bayangan tudung gelap, namun ketika ia melipatnya… Selir Xu tahu.
“Ka… kakak?” napasnya tercekat.
Kakak keduanya Xu Yan berdiri tegak, wajahnya tenang seperti danau beku.
“Kau terlihat buruk,” katanya datar.
Selir Xu gemetar. “Kakak… aku bermimpi… anak itu… dia—”
Xu Yan mengangkat tangan, memotong. “Jangan bicara tentang itu di ruang dengan dinding.”
Ia melangkah mendekat, duduk di tepi ranjang Selir Xu dan menatap adiknya dengan mata yang tak menyisakan ruang bagi kelemahan.
“Waktumu sedikit.” ujar xu Yan
“Sedikit…?”tanya Selir Xu
“Jiji tidak sabar.” ujar Xu Yan
Dada Selir Xu terasa diremas.
“Jiji… masih ingat itu?”
Xu Yan terkekeh kecil, tanpa humor. “Ia tidak pernah lupa. Ia mencatat seperti pedagang menghitung koin. Dan sekarang… ia menagih.”
Ia mencondongkan tubuhnya. “Kau punya dua tugas.”
“Dua…?” Selir Xu menelan ludah.
“Bunuh Permaisuri Lang.” Tubuh Selir Xu tersentak.
“Dan bunuh Putri Lang.” Dunia seperti retak.
“A-aku…” Selir Xu terisak. “Aku tidak sanggup… aku… aku sudah—”
“Sudah mengkhianati?” sentak Xu Yan “Atau sudah berkhianat?”
Selir Xu tersedu.
Xu Yan berdiri, menatap adiknya dari atas seperti hakim terakhir. “Kau memilih. Jiji… atau Kaisar Lang. Tidak ada jalan ketiga.”
Ia menyelipkan sebotol kecil ke tangan adiknya. “Racun ini tidak berbau. Tidak berwarna. Permaisuri akan mati perlahan. Orang akan mengira itu sakit lama.”
“Dan… Putri?”
xu Yan mengangkat sudut bibirnya. “Dia tidak perlu sakit lama.”
Pintu tertutup pelan dan Selir Xu merosot di atas ranjang seperti bangkai yang masih bernapas.
Di sisi lain istana, Yun Sia tidak tenang, Ia duduk di depan meja kecilnya, memegang arang, menatap rusa kayu yang sekali bergerak itu.
“Aneh…” gumamnya.
Ia meraba dadanya.
Rasa itu kembali.
Bukan sakit.
Tapi berdenyut seperti ingatan yang ingin bangkit.
Ia bangkit, membuka pintu ayang yang kebetulan lewat pun bertanya
“Kau terlihat aneh” katanya lembut.
Yun Sia menggeleng.
“Ayang… boleh aku bertanya?”
“Boleh.”
“Kalau… seseorang dulu melakukan sesuatu yang jahat… tetapi ia menyesal… apakah ia masih jahat?”
A-yang terdiam.
“Menyesal tidak menghapus perbuatan. Tapi bisa mengubah akhir.”
Yun Sia mengangguk pelan.
“Ada orang yang ingin membunuhku,” katanya tiba-tiba.
A-yang membeku.
“Apa?”
Yun Sia mengangkat kepala, menatapnya lurus.
“Bukan hanya aku. Tapi juga ibu.”
Napas A-yang berhenti sejenak.
“Apa yang kau bicarakan, Yun Sia?”
Gadis itu memejamkan mata.
“Aku… tidak tahu dari mana aku tahu. Tapi saat siang… aku merasa… seseorang sedang menangis sambil membawa pisau.”
A-yang menahan napas.
“Siapa?”
Yun Sia menggeleng.
“Tapi… orang itu berbau melati dan obat.”
A-yang menegang.
Itu bau paviliun Selir Xu.
“Yun Sia,” katanya pelan, “kau tidak boleh mengatakan ini pada siapa pun dulu.”
“Kenapa?”
“Karena kadang… kebenaran tidak aman sebelum ia kuat.”
Yun Sia berpikir.
Lalu mengangguk.
“Aku akan menunggu sampai kuat.”
Malam semakin tenggelam.
Dan di paviliun Selir Xu, racun itu kini berada di cangkir teh.
Tangannya gemetar.
Ia menangis.
Dan untuk pertama kalinya, ia berdoa.
“Dewa… jika kau masih mendengar… selamatkan anak itu…”
Cangkir itu terangkat.
Lalu terhenti.
Air mata jatuh ke dalamnya.
Selir Xu menjerit tertahan.
“Aku tidak bisa…”
Dan di saat itulah, bayangan gadis kecil itu muncul lagi.
Tapi kini… matanya tidak hitam.
Mata itu… seperti mata Yun Sia.
“Aku masih hidup,” katanya lembut.
Selir Xu menjatuhkan cangkir itu.
Pecah.
Air racun mengalir seperti dosa.
Di taman, Yun Sia terbangun dengan napas terengah.
A-yang langsung memeluknya.
“Aku… aku lihat dia menangis,” bisik Yun Sia.
“Siapa?”
“Perempuan yang bau melati.”
A-yang memejamkan mata.
Kebenaran telah mengetuk.
Dan akhirnya… membuka.
----
Pagi berikutnya, jejak retak istana semakin nyata.
Karena Selir Xu menghilang.
Dan yang tertinggal hanyalah… sebuah botol kosong.
Bersambung.