Lima tahun lalu, malam hujan hampir merenggut nyawa Kapten Shaka Wirantara.
Seorang wanita misterius berhelm hitam menyelamatkannya, lalu menghilang tanpa jejak. Sejak malam itu, Shaka tak pernah berhenti mencari sosok tanpa nama yang ia sebut penjaga takdirnya.
Sebulan kemudian, Shaka dijodohkan dengan Amara, wanita yang ternyata adalah penyelamatnya malam itu. Namun Amara menyembunyikan identitasnya, tak ingin Shaka menikah karena rasa balas budi.
Lima tahun pernikahan mereka berjalan dingin dan penuh jarak.
Ketika cinta mulai tumbuh perlahan, kehadiran Karina, gadis adopsi keluarga wirantara, yang mirip dengan sosok penyelamat di masa lalu, kembali mengguncang perasaan Shaka.
Dan Amara pun sadar, cinta yang dipertahankannya mungkin tak pernah benar-benar ada.
“Mas Kapten,” ucap Amara pelan.
“Ayo kita bercerai.”
Akankah, Shaka dan Amara bercerai? atau Shaka memilih Amara untuk mempertahankan pernikahannya, di mana cinta mungkin mulai tumbuh.
Yuk, simak kisah ini di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Dalam dua hari itu tidak mudah memutuskan hubungan tanpa cinta
Pagi itu udara Jakarta terasa berat. Langit mendung, seolah ikut menahan sesuatu yang akan pecah kapan saja. Amara sudah memantapkan hatinya sejak fajar, hari ini, ia tak ingin mengundurkannya lagi. Surat cerai baru sudah disiapkan, dan kali ini ia yang akan menandatangani duluan.
Bukan karena marah, tapi karena ingin berhenti menyakiti dirinya sendiri. Shaka baru saja turun dari kokpit usai penerbangan ketika melihat Amara di lobi maskapai, berdiri dengan map di tangan. Wajahnya tegas, dingin, tapi ada sorot lelah yang tak bisa disembunyikan.
“Mas,” panggil Amara pelan.
“Aku sudah mengurus semuanya. Pengacara keluarga sudah menyiapkan dokumen. Aku hanya butuh tanda tanganmu.”
Shaka menatapnya lama, seperti menimbang sesuatu.
“Amara, kau tidak perlu tergesa..."
“Aku tidak tergesa, Mas." Potong Amara, suaranya datar. “Aku hanya ingin selesai.”
Kata selesai itu terasa seperti pisau yang perlahan menusuk dada Shaka. Sebelum ia sempat menjawab, ponselnya berdering. Nama di layar membuatnya menghela napas berat, panggilan masuk dari Tuan Wirantara.
[Shaka, Amara. Kalian berdua pulang sekarang,] suara sang ayah terdengar dalam dan tajam.
[Ada yang ingin Ayah bicarakan. Siang ini juga.] Lanjutnya, sejak dua hari lalu, Tuan Wirantara telah menerima pemberitahuan perceraian dari keluarga Marvionne.
Keduanya saling pandang seakan tak ada pilihan lain, untuk menghindarinya.
Amara mengganti seragam pramugarinya dengan gaun panjang berwarna pastel lembut. Rambutnya terurai indah, sedikit bergelombang. Makeup-nya sederhana, tapi cukup untuk membuat siapa pun terdiam melihatnya. Ketika Shaka menunggu di depan mobil, ia sempat kehilangan kata-kata begitu melihat istrinya keluar dari ruang ganti.
Amara tampak berbeda, dia cantik dan berkelas, seakan selama ini aura Amara tersembunyi di baliknya. Shaka menelan ludah, lalu membuka pintu mobil. Amara masuk tanpa sepatah kata pun.
Suasana di dalam mobil sunyi, hanya diisi suara mesin dan detak jam digital di dashboard. Shaka ingin bicara, tapi setiap kali menatap wajah Amara yang begitu tenang, lidahnya kelu.
Setibanya di kediaman keluarga Wirantara rumah megah bergaya kolonial di kawasan elit Jakarta Selatan, mereka disambut oleh pelayan-pelayan yang berbaris rapi. Namun belum sempat langkah Shaka menapak ke ruang tamu, suara riang terdengar dari arah taman depan.
“Mas Shaka!” Karina berlari kecil, mengenakan dress putih sederhana. Ia tersenyum lebar, lalu tanpa ragu meraih tangan Shaka dengan ekspresi penuh rindu.
“Mas nggak kasih kabar mau pulang. Aku kangen banget!” Shaka refleks menarik tangannya pelan, menjaga jarak. Namun mata Amara sudah lebih dulu menangkap momen itu. Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
Dia tahu Karina memang menganggap Shaka sebagai kakak. Tapi entah kenapa, setiap sentuhan kecil dari gadis itu terasa seperti duri di dadanya sendiri. Tak lama, pelayan datang mempersilakan mereka ke ruang makan besar. Tuan Wirantara sudah duduk di ujung meja, mengenakan setelan rapi, wajahnya serius.
Di sisi lain, Nyonya Merlin, ibu Shaka tersenyum lembut, menyambut menantu kesayangannya dengan penuh hangat.
“Amara, sayang, kau makin cantik saja,” ucap Nyonya Merlin sembari menepuk punggung tangan Amara dengan lembut.
“Ibu tadi mampir ke butik langgananmu, ini ada beberapa gaun baru, ibu bawakan untukmu.”
Amara menunduk sopan. “Terima kasih, Bu.”
Shaka memperhatikan semua itu dalam diam. Ia tahu betapa ibunya menyayangi Amara mungkin lebih dari dirinya sendiri. Dan semakin disayang, semakin ia merasa bersalah.
Makan siang berlangsung dalam ketegangan halus. Sendok dan garpu beradu, tapi tak ada percakapan berarti antara Shaka dan Amara. Tuan Wirantara menatap keduanya lama sebelum akhirnya bersuara.
“Ayah dengar kabar yang tidak mengenakkan,” ujarnya perlahan, suaranya dalam.
“Kalian mengurus perceraian?” lanjutnya dan seketika ruangan menjadi hening. Karina yang duduk di ujung meja menoleh kaget.
Shaka terdiam, Amara pun demikian.Tuan Wirantara menatap anaknya tajam.
“Shaka, Ayah sudah lelah mendengar keluarga ini jadi bahan pembicaraan. Apa kau sadar apa yang akan terjadi jika ini bocor ke publik?”
Shaka menunduk. “Saya bertanggung jawab penuh, Ayah.”
Namun sebelum ayahnya bicara lagi, Amara angkat suara, tenang tapi tegas.
“Semua ini bukan salah Mas Shaka, Ayah. Ini keputusan saya sendiri.”
Tuan Wirantara menatapnya tajam, tapi Nyonya Merlin segera memegang tangan suaminya, memberi isyarat untuk tenang.
“Amara, Sayang, mungkin Ibu tak mengerti semuanya,” ucapnya lembut.
“Tapi apa benar tidak ada jalan lain? Kau tahu Ibu sangat menyayangimu.”
Amara tersenyum kecil, senyum yang tak sampai ke mata.
“Terima kasih, Bu. Tapi kadang cinta saja tidak cukup untuk membuat dua orang tetap bertahan.”
Shaka menatap Amara, dan saat itu juga, Shaka sadar, Amara bukan lagi sosok yang bisa ia tahan hanya dengan alasan keluarga. Ia sudah berubah menjadi seseorang yang bebas. Dan mungkin terlalu kuat untuk ia ikat kembali.
Suara sendok dan garpu kembali terdengar, meski suasananya masih berat. Tuan Wirantara sesekali menatap Shaka dan Amara, seolah mencari celah untuk berbicara lagi, namun sebelum sempat, sesuatu terjadi.
Amara tiba-tiba meletakkan sendoknya dengan perlahan. Wajahnya pucat, napasnya tersengal, lalu tangannya meraih dada seperti menahan sesuatu.
“Amara?” Shaka langsung menatapnya cemas. Amara menggeleng cepat, menahan rasa tak nyaman di tenggorokan. Namun detik berikutnya, ia menunduk, menutup mulut, lalu bangkit dari kursinya dan berlari ke arah wastafel di ujung ruang makan.
“Amara!” seru Shaka, berdiri dari kursinya dan segera menyusul. Dia sempat menahan pundak istrinya ketika wanita itu muntah di wastafel, tubuhnya gemetar, keringat dingin mengalir di pelipis. Karina menatap panik dari kursinya, sementara Tuan Wirantara berusaha tetap tenang meski dahinya berkerut khawatir.
Nyonya Merlin sudah lebih dulu berdiri, menghampiri menantunya dengan langkah cepat namun teratur.
“Shaka, ambilkan air,” perintahnya lembut tapi tegas. Shaka segera mengambil gelas air mineral di meja dan menyerahkannya pada Amara.
Namun wanita itu menolak halus dengan tangan bergetar.
“Tidak usah, Mas ... aku hanya ... pusing sedikit,” ujarnya pelan. Shaka tak percaya, ia tahu Amara terlalu kuat untuk sekadar menyebut pusing. Raut wajahnya penuh kepanikan yang tak bisa disembunyikan.
“Amara, kau pucat sekali. Duduk dulu,” bisiknya, menuntun Amara kembali ke kursi. Namun sebelum Shaka sempat menariknya duduk, suara lembut tapi menusuk keluar dari bibir Nyonya Merlin.
“Amara...” Semua mata menoleh padanya.
“Apakah kamu ... hamil?” Waktu seolah berhenti, Shaka terpaku di tempat. Amara mendongak dengan mata membesar, nyaris tak percaya mendengar pertanyaan itu.
“A ... apa?” suaranya lirih. Nyonya Merlin menatap dengan tatapan penuh keyakinan dan keibuan, seperti seorang ibu yang tahu sesuatu tanpa perlu dijelaskan.
“Tadi saat tiba Ibu melihatmu menahan perutmu beberapa kali, dan sekarang kau muntah tanpa sebab. Naluri seorang wanita tidak akan salah.”
Shaka menatap istrinya lama, jantungnya berdetak cepat. Bayangan semalam ketika ia memeluk Amara, pertengkaran mereka, dan kebisuan panjang setelahnya, semuanya seolah berputar ulang di kepalanya.
“Amara…” ucapnya perlahan, suaranya nyaris bergetar.
“Kau … hamil?”
Amara terdiam, kedua tangannya saling menggenggam, matanya menatap meja makan yang kini terasa terlalu sunyi. Semua orang menunggu jawaban, Shaka, Nyonya Merlin, bahkan Tuan Wirantara yang kini menatapnya dengan alis berkerut. Karina menatap Amara seakan menyimpan rasa tak suka yang mendalam pada wanita itu. Namun Amara hanya menarik napas panjang, menahan gemetar di dadanya.
“Aku … tidak tahu,” ujarnya akhirnya. “Aku belum sempat periksa.”
Nyonya Merlin menatap penuh arti. Sementara Shaka menelan ludah, campuran perasaan cemas, tak percaya, dan harapan mulai berputar di matanya. Ia ingin bertanya banyak hal, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Tuan Wirantara akhirnya memecah keheningan.
“Kalau begitu, setelah ini kalian ke dokter,” katanya datar tapi tegas.
“Jika benar Amara mengandung, maka pembicaraan tentang perceraian ... selesai sampai di sini.”
Shaka menatap ayahnya, lalu Amara. Namun Amara tak menatap siapa pun. Ia hanya menunduk, menyembunyikan pandangan mata yang mulai berkaca.
bagaimana rasanya Shaka, bertemu dengan anak sendiri dan Amara ?
silahkan bangkit, bangun kejayaan lagi. jadi pria peka & bertanggung jawab. pantaskan dirimu dlu, baru kejar Amara.
ingat, buang si licik dr hidupmu !!
jangan sampai si ulet bulu itu masih berkeliaran dan menganggu Shaka
Semakin menyesal Shaka setelah tahu kenyataan yang sebenarnya