"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Dimas Mulai Berubah
Nyi Laras tersenyum tipis ke arah pot bunga, kemudian perlahan menoleh ke belakang, ke arah ranjang di mana cermin retak itu tersembunyi, lalu berkata, "Anakku, ada banyak hal di rumah ini yang mulai berubah, termasuk suamimu."
Nyi Laras tidak menunggu Kirana memproses ancaman terselubung itu. Ia melangkah keluar dari kamar, meninggalkan pintu terbuka. Kirana bergegas menguncinya kembali. Jantungnya berdebar kencang. Ibu tahu. Ibu tahu ia tidak meminum jamu itu. Ibu tahu ia berbohong tentang daging mentah. Dan yang paling mengganggunya, tatapan Nyi Laras terhenti tepat di ranjang, tempat ia menyembunyikan cermin Kakak Sulungnya.
Kirana segera mengambil cermin itu dari bawah bantal, lalu buru buru menyembunyikannya di dalam lipatan selimut kotor di koper yang belum dibongkar.
Ia kembali ke belakang lemari. Piring porselen berisi daging mentah itu masih ada di sana. Darah di piring mulai mengering dan menghitam. Rasa jijik dan takut memaksanya bertindak. Ia tidak bisa menyimpan bukti sejelas ini.
Ia mencari cara untuk membuangnya, tetapi jendela terkunci dan ia tidak berani keluar. Kirana akhirnya menggunakan saputangan untuk mengambil potongan daging mentah itu dan membuangnya ke dalam kloset kamar mandi, lalu menyiramnya berulang kali. Ia membersihkan piring itu hingga bersih.
Saat ia selesai, ia mendengar langkah kaki Dimas yang kembali ke kamar.
Dimas masuk, matanya tajam dan penuh perhitungan. Ia melihat ke meja samping. Teko jamu masih ada, tetapi cangkir sudah bersih.
"Ibu bilang kau sudah menghabiskan jamunya," kata Dimas.
"Aku sudah minum. Dan aku sudah bilang, aku tidak suka jamu itu," jawab Kirana, suaranya berusaha tegas, meskipun kakinya gemetar.
Dimas maju selangkah. Ia tidak melihat Kirana. Matanya menatap ke bawah, ke lantai, di mana potongan kain batik tadi ia jatuhkan.
"Apa itu?" Dimas menunjuk ke lantai, dekat ranjang.
Kirana merasa teperdaya. Ia pikir sudah menyembunyikannya. Dimas berjongkok dan mengambil salah satu potongan kain kotor itu. Ia membaliknya, melihat noda merah tua yang mengering.
Wajah Dimas, yang tadi dingin, kini menunjukkan ekspresi panik yang tidak bisa disembunyikan. Matanya melebar, dan ia segera memasukkan kain itu ke saku celananya.
"Kau tidak boleh menyentuh barang barang di kamar ini," Dimas berkata, suaranya rendah dan penuh peringatan. "Ini kamar Kakak Sulung. Ada aturannya."
"Aturan apa, Mas? Aturan untuk tidak tahu kenapa ia meninggal?" Kirana menuntut. "Kau yang menaruh daging mentah di sini, kan? Itu bukan makanan manusia. Untuk apa?"
Dimas menghindar. Ia berdiri, menghadap Kirana, dan kini ia menatap matanya lurus. "Dengarkan aku, Kirana. Kita sedang membayar utang. Itu saja yang perlu kau tahu. Tetaplah di kamar ini, patuhi Ibu, minum semua yang ia berikan, dan jangan mencari masalah. Jangan buat rencana bodoh untuk kabur. Kau mengerti?"
"Aku tidak akan membiarkan anakku dijadikan tumbal!" teriak Kirana.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Kirana. Tamparan itu tidak berasal dari tangan Dimas. Sebuah kekuatan tak terlihat yang menamparnya, membuat Kirana terhuyung ke belakang dan jatuh ke ranjang. Pipi Kirana seketika terasa panas dan nyeri.
Dimas tidak terkejut. Ia hanya menghela napas lelah.
"Sudah kubilang, jangan sebut kata itu," bisik Dimas, nadanya lebih kepada peringatan putus asa daripada marah. "Kau lihat? Kau menyakiti dirimu sendiri. Kami tidak akan menyakitimu, selama kau patuh."
Dimas berbalik, mengambil ponselnya yang berdering samar. Ia berbicara dengan suara berbisik, lalu berjalan ke pintu.
"Aku harus pergi sebentar. Jangan coba coba keluar," katanya. Ia keluar, tetapi kali ini, Dimas mengunci pintu dari luar, dan terdengar suara kunci diputar dua kali.
Kirana meraba pipinya yang perih. Ia sendirian dan terkunci. Dimas telah berubah sepenuhnya. Ia bukan lagi suami Kirana, tetapi penjaga penjara.
Ia bangkit, mengambil kunci emas kecil yang ia temukan di mobil yang ia sembunyikan di bawah koper. Itu adalah kunci cadangan Dimas. Ia harus mencobanya di pintu.
Kirana berjongkok di depan pintu, memasukkan kunci emas itu ke lubang kunci. Kunci itu pas, tetapi macet. Ia tidak bisa memutarnya. Ia mendorongnya lebih keras, dan kunci itu tidak bergerak, malah melukai ujung jarinya. Ia mencoba lagi, tetapi kunci itu seperti mati di dalam lubang.
Tiba tiba, ia mendengar suara lain di balik pintu, suara yang bukan suara langkah kaki. Suara itu adalah bisikan halus yang terdengar seperti angin musim gugur, sangat dekat dengan telinganya.
"Jangan sia siakan tenagamu, Kirana."
Suara itu lembut, tetapi asing. Itu bukan suara Dimas, dan bukan suara Nyi Laras. Itu terdengar seperti suara wanita muda.