NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

**BAB 17: MALAM YANG SEMPURNA NAMUN RAPUH**

#

Alara pulang sore itu dengan hati yang terasa ringan—ringan seperti ada sayap yang mengangkatnya. Sepanjang hari di kantor, ia tidak bisa berhenti tersenyum. Setiap kali teringat genggaman tangan Nathan di pagi hari, setiap kali teringat senyum Nathan sebelum masuk lift, jantungnya berdebar seperti remaja yang jatuh cinta untuk pertama kali.

Dan mungkin memang begitu.

Karena walau ia sudah menikah dua bulan dengan Nathan, baru sekarang—baru sekarang—ia merasakan seperti sedang jatuh cinta sungguhan.

Sesampainya di mansion, ia langsung naik ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Tapi berbeda dari biasanya, kali ini ia meluangkan waktu lebih lama di depan cermin. Memakai dress selutut warna krem yang jarang ia pakai—dress yang ayahnya belikan untuk ulang tahunnya dua tahun lalu. Melepas ikatan rambutnya, membiarkannya tergerai dengan ombak natural. Make up tipis—bedak, blush on, dan lipstik nude.

Ia menatap pantulannya di cermin—dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia melihat wanita yang... hidup. Tidak pucat. Tidak kosong. Tapi... bersinar.

*Aku cantik nggak ya?* pikir Alara sambil menyentuh pipinya sendiri. *Apa Nathan akan suka?*

Pertanyaan itu terasa konyol—tapi juga membuat jantungnya berdebar.

---

**JAM 7 MALAM**

Alara turun ke ruang makan dengan langkah yang sedikit nervous. Bi Sari sudah menyiapkan makan malam—sup jagung, ayam goreng mentega, tumis brokoli, dan nasi hangat. Meja tertata rapi dengan lilin kecil di tengah—Bi Sari yang inisiatif, melihat perubahan hubungan Tuan dan Nyonya.

"Nona cantik sekali malam ini," puji Bi Sari dengan senyum tulus.

Alara tersenyum malu-malu. "Lebay, Bi."

"Beneran! Tuan Nathan pasti senang lihat Nona." Bi Sari mengedipkan mata—gesture yang membuat Alara tertawa kecil.

"Bi Sari, jangan gitu dong..." Alara menutup wajahnya yang memerah.

Suara pintu depan terbuka. Jantung Alara langsung berdetak dua kali lebih cepat.

Nathan masuk—jas sudah dilepas, hanya kemeja putih dengan lengan yang digulung sampai siku. Rambut sedikit berantakan—tanda hari yang panjang. Tapi begitu matanya bertemu dengan Alara, langkahnya terhenti.

Ia menatap Alara—menatap dengan tatapan yang membuat Alara merasa seluruh dunia berhenti berputar.

"Kamu... kamu pakai dress," kata Nathan—pernyataan yang obvious tapi terdengar... kagum.

Alara menunduk, pipinya memanas. "Iya... aku... aku cuma pengen... ya, pengen cantik dikit..."

Nathan melangkah mendekat—perlahan, seperti tidak ingin menakuti Alara. Ia berhenti tepat di hadapan Alara, menatapnya dari dekat.

"Kamu selalu cantik," bisiknya. Suara yang pelan tapi tulus. "Tapi malam ini... kamu bersinar."

Alara mengangkat wajah—air matanya memanas tapi ia tahan. Tidak mau menangis lagi. Tidak mau merusak momen ini.

"Terima kasih," bisiknya—suara yang hampir tidak terdengar.

Nathan tersenyum—senyum yang lembut, yang membuat wajahnya terlihat sepuluh tahun lebih muda. "Ayo makan. Aku lapar."

---

**MEJA MAKAN**

Mereka duduk berhadapan—tidak seperti biasanya yang berjauhan. Kali ini Nathan duduk di kursi yang lebih dekat, hanya terpisah sudut meja.

Bi Sari menyajikan makanan dengan senyum lebar—senang melihat Tuan dan Nyonya akhirnya seperti pasangan sungguhan. Setelah selesai, ia pamit pulang lebih awal—memberi privasi untuk mereka berdua.

Nathan menyendok sup, meniup perlahan sebelum memakannya. Alara memerhatikan gerakan itu—gerakan sederhana yang entah kenapa terlihat... menarik.

"Kenapa lihat aku terus?" tanya Nathan tiba-tiba—ada senyum main di sudut bibirnya.

Alara tersentak, cepat mengalihkan pandangan. "Aku... aku nggak lihat..."

"Bohong." Nathan tertawa kecil—tawa yang hangat, yang membuat dada Alara bergetar. "Dari tadi kamu lihat aku."

"Habis... habis kamu..." Alara tidak bisa melanjutkan—terlalu malu.

"Aku kenapa?" Nathan berhenti makan, menatap Alara dengan tatapan menggoda.

Alara menunduk, memainkan sendoknya. "Nggak ada..."

Nathan meraih tangan Alara yang ada di meja—menggenggamnya lembut. "Alara, lihat aku."

Alara mengangkat wajah—wajahnya memerah total.

"Aku suka kalau kamu lihat aku," kata Nathan tulus. "Jadi lihat aja. Nggak usah malu."

Kata-kata itu membuat jantung Alara hampir meledak.

Mereka makan dalam suasana yang... hangat. Untuk pertama kalinya, tidak ada hening canggung. Tidak ada ketegangan. Hanya... kehangatan.

Nathan bercerita tentang harinya di kantor—meeting yang melelahkan, klien yang rewel, dokumen yang nggak ada habisnya. Alara mendengarkan dengan seksama, sesekali tertawa ketika Nathan menceritakan tingkah konyol rekan bisnisnya.

"Terus dia bilang, 'Nathan, kamu harus lebih santai. Kerja terus nanti cepet tua.' Padahal dia sendiri workaholic parah," cerita Nathan sambil tertawa.

Alara tertawa—tawa yang lepas, yang genuine. "Kayak kamu dong. Kamu juga workaholic."

"Iya sih," Nathan mengakui sambil tersenyum. "Tapi aku lagi berusaha... berubah. Biar punya waktu untuk... untuk hal-hal yang penting."

Tatapannya bertemu dengan Alara—tatapan yang penuh makna.

"Untuk hal-hal seperti... makan malam sama istri," lanjut Nathan pelan.

Alara merasakan air matanya memanas lagi. *Jangan nangis jangan nangis jangan nangis...*

"Kamu kenapa? Kok kayak mau nangis?" Nathan langsung khawatir.

"Nggak... aku cuma..." Alara mengusap matanya cepat. "Aku cuma bahagia. Sangat bahagia."

Nathan berdiri dari kursinya, berpindah ke kursi di samping Alara—duduk tepat di sebelahnya. Tangannya meraih wajah Alara, memaksanya menatap.

"Jangan nangis lagi," bisik Nathan sambil mengusap air mata yang jatuh dengan ibu jarinya. "Aku nggak suka lihat kamu nangis."

"Tapi ini air mata bahagia," Alara tertawa di tengah tangisnya—kombinasi aneh yang indah.

Nathan tersenyum—senyum yang lembut, yang penuh perasaan. "Tetap aja. Aku lebih suka lihat kamu tersenyum."

Lalu ia mencubit pipi Alara pelan—gesture yang playful, yang membuat Alara tertawa.

"Aduh! Sakit!" protes Alara sambil memukul lengan Nathan pelan.

"Bohong. Aku cubitnya pelan kok." Nathan tertawa—tawa yang membuat seluruh mansion yang biasanya dingin ini terasa hangat.

Mereka bercanda seperti pasangan sungguhan—seperti orang yang jatuh cinta sungguhan.

Dan di saat itulah—di tengah tawa, di tengah kehangatan, di tengah momen yang sempurna ini—Alara menyadari sesuatu yang membuatnya takut sekaligus bahagia.

Ia jatuh cinta.

Jatuh cinta sungguhan pada Nathan.

Bukan karena Nathan tampan atau kaya. Bukan karena Nathan CEO atau punya segalanya.

Tapi karena Nathan—Nathan yang akhirnya membuka diri, yang akhirnya tersenyum tulus, yang akhirnya ada untuknya.

Dan kesadaran itu membuat dadanya sesak—sesak karena bahagia tapi juga takut.

Takut kalau ini hanya sementara.

Takut kalau Nathan akan kembali dingin.

Takut kalau... kalau ia jatuh terlalu dalam dan tidak ada yang menangkap.

---

**SETELAH MAKAN MALAM**

Mereka pindah ke sofa ruang tamu—duduk berdampingan sambil menyalakan TV. Tapi tidak benar-benar menonton—hanya background noise sementara mereka mengobrol.

Nathan bercerita tentang masa kecilnya—tentang ayahnya yang strict tapi sayang, tentang ibunya yang meninggal saat ia masih kecil, tentang bagaimana ia membangun Erlangga Corp dari nol bersama ayahnya.

Alara mendengarkan dengan seksama—baru kali ini Nathan membuka diri seperti ini. Baru kali ini Nathan membiarkan Alara melihat sisi lembutnya.

"Aku nggak pernah punya masa kecil yang normal," kata Nathan pelan. "Sejak umur 12 tahun, aku sudah diajarin bisnis sama Papa. Nggak boleh nangis, nggak boleh lemah, harus kuat terus. Sampai aku... aku lupa cara ngerasain."

Alara menatapnya—menatap dengan tatapan penuh empati. "Pasti berat ya..."

"Iya. Sangat berat." Nathan menunduk, tangannya terkepal di pangkuan. "Sampai aku ketemu... seseorang yang bikin aku merasa... boleh lemah. Boleh jadi diriku sendiri."

Alara tahu Nathan bicara tentang Kiara—wanita di foto itu. Dadanya sedikit nyeri mendengarnya, tapi ia tidak protes. Ia hanya mendengarkan.

"Tapi dia pergi," lanjut Nathan—suaranya bergetar sedikit. "Dan aku kembali jadi... robot. Kerja terus, nggak ngerasain apa-apa, nggak peduli apa-apa."

Ia mengangkat wajah, menatap Alara dengan tatapan yang... lembut tapi juga sedih.

"Sampai kamu datang," bisiknya. "Dan perlahan... perlahan kamu bikin aku ngerasa lagi. Bikin aku sadar kalau aku... aku masih bisa peduli."

Air mata Alara jatuh—tidak bisa ditahan lagi.

Nathan langsung panik. "Kenapa nangis lagi?"

"Karena aku..." Alara terisak. "Karena aku takut kehilangan ini. Takut kehilangan kamu. Takut suatu hari nanti kamu akan... akan ingat dia lagi dan aku kembali jadi... jadi nggak ada."

Nathan menarik Alara ke pelukannya—pelukan yang erat, yang membuat Alara merasa aman.

"Kamu nggak akan kehilangan aku," bisik Nathan di telinga Alara. "Aku di sini. Aku ada. Dan aku... aku nggak akan pergi."

Alara memeluk Nathan erat—seolah takut kalau ia lepas, Nathan akan menghilang.

Mereka berpelukan lama—sangat lama—sampai air mata Alara berhenti, sampai napas Alara tenang.

"Nathan," bisik Alara pelan.

"Hm?"

"Aku... aku jatuh cinta sama kamu."

Kata-kata itu keluar begitu saja—tanpa filter, tanpa rencana. Hanya... jujur.

Nathan membeku. Pelukannya mengendur sedikit.

Alara panik—takut ia salah bicara. Tapi sebelum ia bisa menarik kata-katanya kembali, Nathan berbisik:

"Aku tahu."

Alara mengangkat wajah dari dada Nathan, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kamu... kamu tahu?"

Nathan tersenyum tipis—senyum yang sedih tapi juga lembut. "Dari cara kamu lihat aku. Dari cara kamu bertahan walau aku terus sakitin kamu. Dari cara kamu... masih ada walau aku terus dorong kamu menjauh."

Ia mengusap pipi Alara dengan lembut.

"Dan aku..." Nathan berhenti—seperti mencari kata yang tepat. "Aku belum bisa bilang aku cinta. Karena aku... aku masih belajar ngerasain lagi. Tapi aku peduli. Sangat peduli. Dan aku mau coba... coba jatuh cinta sama kamu."

Kata-kata itu—walau tidak sempurna, walau tidak seperti "aku cinta kamu" yang Alara inginkan—tapi cukup.

Cukup untuk membuat Alara menangis lagi sambil tersenyum.

"Itu udah cukup," bisiknya. "Selama kamu di sini... itu udah cukup."

Nathan mencium puncak kepala Alara—ciuman pertama mereka. Ciuman yang lembut, yang innocent, yang penuh perasaan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, mereka tertidur di sofa—Alara di pelukan Nathan, Nathan memeluk Alara dengan erat—seolah takut kehilangan.

Malam yang sempurna.

Malam yang membuat Alara jatuh cinta lebih dalam—terlalu dalam sampai tidak ada jalan kembali.

Tapi Alara tidak tahu—tidak bisa tahu—bahwa kehangatan ini rapuh.

Bahwa di luar sana, Kiara sedang merencanakan sesuatu.

Sesuatu yang akan menghancurkan semua kebahagiaan ini.

Dan ketika kehancuran itu datang, Alara akan tahu—cinta yang datang terlambat, cinta yang baru mulai tumbuh, adalah cinta yang paling menyakitkan untuk kehilangan.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 18]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!