Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Luluh kembali"
Malam itu Halden pulang larut. Ia masuk ke rumah, melepaskan jaketnya, lalu melangkah menuju kamar. Di sana Luna terbaring di ranjang, matanya terbuka, jelas belum terlelap.
Dengan langkah hati-hati, Halden menghampirinya.
“Kamu belum tidur, sayang?” tanya Halden sambil duduk di tepi ranjang dan menyentuh bahu Luna dengan lembut.
Luna tidak menjawab. Ia justru menggeser tubuhnya, membelakangi Halden. Halden menghela napas panjang, lalu ikut berbaring di samping Luna dan memeluknya dari belakang.
“Jangan begini, Na… kamu benar-benar nyiksa aku,” ucapnya lirih sambil mengusap lengan Luna perlahan.
“Aku minta maaf…” Halden kemudian menggeser tubuh Luna agar menghadapnya. Nada suaranya terdengar putus asa. “Ayo, Na, tampar aku… pukul aku kalau itu bisa bikin kamu puas dan mau maafin aku.”
Luna menatapnya lama, diam sejenak sebelum akhirnya berbicara. “Kamu berubah… kamu benar-benar berubah, Halden.”
“Berubah bagaimana, Na? Aku harus seperti apa?” Halden mulai frustasi. “Dari sisi mana kamu melihatku sampai kamu bilang aku berubah?”
“Kamu nggak seperti dulu,” suara Luna bergetar. “Kamu jadi kasar… kamu mulai kasar, Halden.” Air mata perlahan mengalir di pipinya.
Halden langsung mendekap Luna erat. “Na, maafin aku… aku benar-benar minta maaf. Aku capek banget sama pekerjaan akhir-akhir ini…” ucapnya pelan—alasan yang sebenarnya hanyalah kebohongan. Bukan pekerjaan yang melelahkannya, melainkan Karina.
Luna terisak di dada Halden. Tangannya memeluk Halden erat, seolah mulai luluh oleh kata-katanya. “Aku… aku takut kamu berpaling dariku—”
“Na, dengerin aku,” potong Halden. Ia sedikit menjauh lalu menangkup wajah Luna dengan kedua tangannya. “Cuma kamu yang aku sayang. Cuma kamu yang ada di hatiku. Aku nggak akan pernah berpaling darimu. I love you more…”
Halden mengecup kening Luna dengan lembut.
•----------------------------------------•
POV HALDEN
Aku menunggu sampai napas Luna teratur. Tangannya masih mencengkeram kausku, seolah takut aku menghilang begitu saja. Aku menatap wajahnya yang akhirnya terlelap, matanya sembap karena tangis, dan ada rasa bersalah yang menekan dadaku—sebentar saja. Perasaan itu tidak pernah benar-benar bertahan lama.
Aku melepaskan pelukannya perlahan, sangat hati-hati, seolah gerakan kecil bisa membangunkannya dan merobohkan semua kebohongan yang baru saja kutanamkan. Luna bergumam pelan, lalu kembali diam.
Aku bangkit, meraih ponsel di meja samping ranjang. Layarnya menyala, dan satu nama langsung muncul di notifikasi.
*Karina:* *“Kamu jadi ke sini atau nggak?”*
Aku menghela napas, lalu mengetik singkat.
*“Sebentar. Tunggu aku.”*
Aku mengenakan jaket kembali dan menoleh sekali lagi ke arah Luna. Ada bagian diriku yang berharap ia membuka mata, memanggil namaku, menghentikanku. Tapi malam tetap sunyi. Dan aku melangkah pergi.
•~----------------------------------------•~
Karina tinggal di apartemen kecil tak jauh dari kantorku. Tempat itu selalu terasa seperti dunia lain—tidak ada tangisan, tidak ada tuntutan, tidak ada tatapan penuh harap seperti yang Luna miliki. Di sana, aku tidak perlu berpura-pura menjadi pria baik.
Begitu pintu terbuka, Karina sudah berdiri di depanku. Rambutnya masih sedikit basah, kaus longgar membingkai tubuhnya dengan cara yang membuat pikiranku kosong seketika.
“Kamu lama,” katanya, setengah kesal, setengah manja.
“Ada urusan,” jawabku singkat.
Ia tersenyum kecil, menarik tanganku masuk, lalu menutup pintu. Tidak ada pertanyaan lanjutan. Karina tidak pernah benar-benar ingin tahu kehidupanku di luar dirinya—dan justru itu yang membuatku nyaman.
Kami duduk berdampingan di sofa. Awalnya hanya berbincang ringan tentang pekerjaan, tentang hal-hal sepele. Tapi jarak di antara kami menyempit dengan sendirinya. Bahuku bersentuhan dengan bahunya. Tangannya menyentuh lenganku, seolah tanpa sengaja.
Aku tahu ini salah. Aku selalu tahu. Tapi setiap kali bersama Karina, kesalahan itu terasa… tidak berat.
“Capek?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk. “Kamu nggak tahu seberapa.”
Karina tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku. “Di sini kamu bisa istirahat.”
Kalimat sederhana itu menembus pertahananku lebih dari yang seharusnya.
~•-----------------------------------------•~
Waktu berjalan tanpa kami sadari. Musik pelan mengalun dari speaker kecil di sudut ruangan. Lampu temaram membuat segalanya terasa lebih lembut, lebih mudah dilupakan. Aku menatap Karina—cara ia tertawa, cara ia menatapku tanpa menuntut apa pun selain kehadiranku saat itu.
Tidak seperti Luna.
Pikiran itu muncul begitu saja, dan aku tidak langsung menepisnya.
Bersama Luna, aku harus menjelaskan. Aku harus meyakinkan. Aku harus menjadi seseorang. Bersama Karina, aku hanya… ada.
Karina menoleh ke arahku, mata kami bertemu. Tidak ada kata-kata. Tidak perlu. Aku tahu apa yang ia inginkan, dan ia tahu aku juga menginginkannya.
Aku menutup jarak itu.
Segalanya terjadi dengan cepat namun terasa lama, penuh kehangatan yang membuatku lupa waktu. Dunia di luar apartemen itu seolah tidak pernah ada. Tidak ada Luna, tidak ada rumah, tidak ada janji-janji yang pernah kuucapkan.
Hanya aku dan Karina, tenggelam dalam kebersamaan yang seharusnya tidak kumiliki.
~•---------------------------------------------•~
Aku terbaring menatap langit-langit, napasku perlahan kembali normal. Karina berada di sampingku, punggungnya menghadapku. Ia tampak tenang, nyaman, seolah inilah tempatnya.
Dan mungkin memang begitu.
“Kamu akan pulang?” tanyanya tanpa menoleh.
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu selalu muncul, dan jawabannya selalu sama.
“Iya. Sebentar lagi.”
Karina tersenyum kecil—senyum yang tidak sepenuhnya bahagia, tapi juga tidak protes. “Kamu selalu bilang gitu.”
Aku tidak membalas. Karena aku tidak punya pembelaan.
---
Di perjalanan pulang, aku kembali menatap layar ponsel. Tidak ada pesan dari Luna. Entah karena ia masih tidur, atau karena ia memilih diam. Aku tidak tahu mana yang lebih baik.
Saat kunci berputar di pintu rumah, perasaan bersalah kembali muncul, lebih kuat dari sebelumnya. Rumah terasa sunyi. Aku masuk ke kamar dan melihat Luna masih terlelap di posisi yang sama.
Aku berbaring di sisinya, menjaga jarak tipis. Luna bergerak sedikit, lalu mendekat, memeluk lenganku dalam tidurnya.
Dan di kegelapan kamar itu, aku menatap langit-langit, pikiranku masih tertinggal di tempat lain.
Aku mencintai Luna. Setidaknya, aku percaya begitu.
Tapi aku juga tidak berhenti mendatangi Karina.
Dan malam itu, aku sadar satu hal yang paling menakutkan:
aku tidak tahu lagi mana yang ingin kuhentikan.
Aku mencintai Luna... sangat, dan aku tak ingin kehilangannya. Namun aku juga tak bisa melepaskan Karina. Kenapa semua menjadi begitu rumit, Aku yang memulai semua ini...tapi aku juga yang tak bisa menyelesaikannya.
Aku tak bisa melepaskan mereka berdua, aku sama-sama mencintainya. Luna dan Karina... dua wanita yang ingin aku ajak hidup bersama tapi itu salah. Aku ingin menyelesaikan ini disini tapi aku masih bingung dengan siapa aku harus bertahan.
Aku.....yang berharap pada hal yang salah